Matahari yang hampir di telan bumi membuat langit menggelap dan aku masih duduk bersebelahan dengannya di sofa yang empuk ini. Di ruangan ini terdengar suara nafas saling bergantian diantara kami. Belum ada yang memulai pembicaraan diantara aku dan Adam sejak kedatangannya kemari.
"Aku haus." di memulai pembicaraannya.
"Akan aku ambilkan minum"
"Tidak perlu."
"Kau bilang kau haus." balasku.
"Ya. Tapi aku haus akan cahaya dari wajahmu yang selalu menghujani hatiku. Aku haus akan tatapan lembutmu yang menbelai jiwaku. Aku haus akan senyumanmu yang tak pernah menyembunyikan ketulusannya. Dan aku haus akan setiap hembusan nafasmu yang membuai rindu pada diriku." sahutnya dengan nada yang serius dan suaranya yang lembut.
Aku diam tak bisa berkata-kata. Aku gugup saat dia mengatakannya, aku gugup karna dia menatapku penuh arti seperti orang yang sedang meminta sesuatu padaku. Ya Tuhan apa maksud dari ini semua? Tuhan berikan aku kekuatan untuk bisa mengontrol perasaanku. Jangan sampai aku terbuai dan terbawa suasana. Aku harus lebih mengerti dan memahami diri Adam yang memang sedikit prontal.
"Emely ku rasa kau sudah saatnya untuk membuka hatimu pada pria. Kau butuh pasangan hidup, kau tidak seharusnya sendirian terus." lanjutnya lagi.
"Aku bersama Jane, berarti aku tidak sendirian." jawabku gugup. Dia membuatku tak mengerti dengan segala tingkah dan ucapannya.
"Tapi hatimu sendirian. Kau butuh orang yang bisa melindungimu, sedangkan Jane harus kau lindungi. Kau butuh teman hidup yang bisa meredakan kelelahan hatimu. Kau butuh orang yang bisa menghentikan air matamu sebelum terjatuh. Kau butuh seseorang yang siap menyediakan bahunya untuk menjadi sandaranmu." kata-katanya semakin menyentuh sanubariku yang rapuh.
"Mungkin kau benar." jawabku lembut.
"Aku siap melakukannya untukmu Em. Cobalah buka hatimu. Dan biarkan aku mengisinya." wajahnya seperti sedang memelas.
"Tentu akan aku coba" balasku. Adam benar aku butuh sosok pelindung di hidupku. Dan aku juga memang seharusnya membuka kembali pintu hatiku yang sudah lama tertutup akibat luka yang James tabur saat itu.
"Kau serius?" tanyanya kegirangan. Aku hanya menganggukan kepalaku memberikan jawaban ya padanya. "Harus kau ketahui aku sangat mengagumimu saat pertama kali melihatmu. Saat kau baru pindah kesini aku melihatmu dari balkon kamarku, saat itu kau sedang berbicang dengan tukang pengantar barang di depan rumahmu. Keesokan harinya melihatmu berjalan bersama anakmu ke arah selatan. Lalu keesokan harinya lagi aku melihatmu dan anakmu yang sepertinya akan berorahraga. Dan yang membuatku tertarik padamu, saat sore harinya kau keluar dari rumahmu dan mendekati rumahku dengan penasaran karna saat itu aku sedang bertengkar dengan ibuku." lanjutnya.
"Jadi kau sering memperhatikanku?" tanyaku dengan sedikit menggoda.
"Ya. Karena kau mencuri perhatianku." dia menyempitkan pandangan matanya padaku.
"Kau ada-ada saja." balasku sambil terkekeh. "Kau tetangga yang cukup baik dan mudah besosialisasi."
"Sebenarnya aku sulit dan tidak suka bersosialisasi seperti ibuku. Tapi mana mungkin aku bisa menahan untuk tidak bersosialisasi jika memiliki tetangga sepertimu." lagi-lagi rayuannya seperti jarum suntik yang tajam menusuk hatiku.
"Tapi kurasa bukan hanya ibumu yang sulit bersosialisasi, nyatanya tetangga yang lainpun sama saja."
"Ya memang warga komplek disini sangat individualistis. Terkadang jika salah satu anggota keluarga dari tetangga kita meninggalpun kita bisa saja baru akan mengetahuinya saat mayatnya sudah lama dikuburkan." balasnya seperti nada yang menakut nakutiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cambuk Iblis
Mystery / ThrillerEmely hanya tinggal berdua dengan anak gadisnya yang berumur 13 tahun di rumah baru mereka. Sejak awal kepindahannya ke perumahan itu Emely menyadari ada beberapa hal yang janggal mengganggu Emely di lingkungan perumahan barunya. Dimulai dari para...