1. Cafe

77 7 2
                                    

Feli POV

Suasana cafe tempat ku bekerja sangat sepi. Pastinya semua orang sedang bekerja pada jam sibuk seperti ini, mengerjakan aktivitas yang biasa mereka lakukan. Di sini aku, dibelakang meja kasir. Dengan sedikit bersandar pada dinding mode santai sambil membaca sebuah novel yang sedikit usang. Novel yang menceritakan tentang kisah percintaan romantis. Sebenarnya aku bukanlah tipe orang yang tertarik dengan hal-hal seperti itu. Walaupun terkadang, aku juga mengharapkan punya cerita cinta seperti yang sering terjadi dalam novel-novel. Tapi, aku terlalu takut untuk jatuh ke dalamnya.

Inilah aku, Felicia Lorraine Beverly. Orang-orang memanggil ku Feli, 25 tahun, single. Bekerja sebagai pegawai di sebuah cafe sederhana bernuansa vintage. Alasan mengapa aku bekerja di sini karena tersedia banyak buku untuk dibaca, dan juga karena di kota ini sangat sulit mencari pekerjaan.

"Mbak ... Mbak ... Mbak," panggil seorang pelanggan yang entah dari mana membuyarkan lamunanku.

"Oh iya Pak, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau pesan Greentea Latte satu, Mbak."

"Tunggu sebentar ya, Pak."

Setelah melayani pelanggan, aku melanjutkan membaca novel yang terhenti tadi. Tiba-tiba dari balik pintu datanglah seseorang wanita yang telah ku tahu lewat aroma amber yang aku ingat di luar nalar itu.

"Feliiiii!! Si kutu buku tercintanya gue," kata Pamela -sahabatku- sambil mengambil novel yang kubaca.

"Ah lo, gangguin gue aja sih." Ku rebut kembali buku yang dia ambil paksa tadi sambil mencubit pinggang rampingnya.

"Eh Fel, lo lagi sakit ya?"

"Enggak tuh. Emang ada yang aneh sama gue?"

"Ya iyalah sejak kapan lo tertarik sama cinta-cintaan begini? Hahahaha," kata Pamela sambil tertawa terbahak-bahak.

"Diem deh, La. Mending lo pesen terus lo pulang sana ke kandang."

"Setdaah! Emangnya gue kambing," cibir Pamela sambil menatap sinis kearah ku.

"Lo mau pesen apa?"

"Kopi pahit, sepahit muka lo deh Fel. Hahaha kiding buk. Gue pesen-" ucap Pamela sembari berpikir. "Strawberry milkshake aja deh." Pamela menunjuk board menu di samping meja kasir.

Setelah pesanannya selesai, kami sedikit bercakap-cakap dan Pamela pamit untuk kembali bekerja, karena jam istirahat kantor sudah berakhir.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, pertanda jam kerjaku sudah berakhir. Kubereskan barang-barang dan pamit pada pengganti shift malam. Bus yang telah ku tunggu dekat halte di samping cafe akhirnya datang dengan deruman khas nya. Aku pun turun pada perhentian ke empat, dengan berjalan kaki sekitar 5 menit sampailah aku di kontrakan kecil ku yang manis.

Dengan menyisihkan sebagian gaji, aku membeli sendiri perabotan dan segala isinya tanpa bantuan dana sedikit pun dari sahabat ku, Pamela. Aku selalu menolak kerap kali ia menawarkan bantuan.

"Gak usah, La. Selagi gue masih bisa membiayai kehidupan sendiri, buat apa ngemis-ngemis ke sahabat gue, ya 'kan? " ucap ku kepadanya dengan tolakan halus.

Pamela adalah sahabatku dari kecil, sahabat dari ketika orangtua ku masih menghirup napas kehidupannya. Bagiku, Pamela adalah sahabat sekaligus keluarga. Dia selalu ada untukku disaat aku terpuruk sekalipun. Dia juga satu-satunya orang yang paling mengerti aku.

Rumah kami dulu berdekatan. Saat sore kami keluar untuk bermain bersama. Indahnya masa kecilku membuat aku ingin kembali ke masa-masa itu, di mana tiada rasa kesedihan, kekecewaan, dan kekhawatiran.

Connecting to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang