Page 2

9K 376 3
                                    

Author POV

"Astaga, lo mimisan!"

Rafa dengan suara khas nya mengagetkan semua orang yang ada disekitar nya. Lalu mengikuti arah pandang Rafa dan terlihatlah Aira yang sedang memegang hidung tempat darah itu mengalir. Revan dengan sigap membantu Aira membersihkan darahnya. Sedangkan disisi lain Runa bengong melihat aira yang mimisan.

Kok aira yang mimisan kan gue yang sakit. Apa dia sakit juga kayak gue?, Pikir runa.

Ia belum sadar saja sekarang hidungnya juga mengeluarkan darah bahkan lebih banyak, Rafa dan Revan tidak mengetahui hal itu karena fokus dengan Aira. Sedangkan Adrian yang berada didepan Runa, menatap Runa datar tetapi tatapan nya tajam.

"Run.." panggil Adrian dingin. Ia memang selalu begitu jika mengetahui hal yang sedikit berbeda pada diri teman terutama sahabatnya. Aura dingin dan wajah datar sekaligus tatapan yang tajam akan dikeluarkan adrian. Runa tak menyahut perkataan Adrian karena ia sedang asik berkelana dengan dunia nya sendiri bahkan tak sadar kini darah dari hidungnya mulai menetes pada kaos berwarna putih yang di pakai nya.

"Saudara dari kembaran bisa saja merasakan apa yang dirasakan saudaranya bahkan efeknya pun dapat ia terima. Insting dari satu sama lain bahkan sangat kuat."

Perkataan Frans melewat begitu saja dari pikiran Runa. Runa berjengit, dan langsung memegang hidunya. Terlihatlah tangannya yang berlumuran darah. Runa melihat Adrian yang sedang menatap runa datar. Lalu suara dingin nya keluar,

"Kenapa lo?"

"G-gu-gue gak papa kok" kata Runa. Ia berlari meninggalkan teman-teman nya yang menatapnya bingung. Runa langsung berlari kerumahnya. Tanpa membersihkan darahnya terlebih dahulu.

"Abang..." Runa berucap dengan suara yang bergetar setelah ia memasuki rumahnya.

Alva yang sedang menonton tv langsung beranjak dari tempat nya lalu pergi menemui runa.

"Astagaa lo kenapa run?!" Alva kaget sekaligus khawatir setelah melihat kondisi runa yang.... menyeramkan? Kaos putih yang dipakai runa sudah berubah menjadi merah. Jika dilihat sekilas, Runa seperti seorang psikopat yang baru saja membunuh mangsanya.
Alva menuntun runa menuju kursi.

"Lo kenapa bisa kayak gini?" Tanya Alva lembut, kini ia sedang membersihkan darah yang menempel di wajahnya. Tak bisa dipungkiri alva kini benar-benar khawatir kepada Runa. Runa menggeleng dengan air mata yang mengalir diwajahnya. Ia sedih karena apa yang ia rasakan bisa dirasakan juga oleh orang lain. Terutama oleh orang yang ia sayangi.

"Kok nangis?" Tanya Alva. Seperti tadi runa hanya menggeleng. Runa tipe orang yang suka menyembunyikan perasaan sedih nya sendirian. Ia tidak ingin menyusahkan orang lain dengan kesedihannya. Ia hanya butuh bahu untuk sandaran ketika ia ingin menangis.

Runa memeluk Alva dan menangis dipelukan nya.

"Abang... gue capek."

Alva mengelus rambut Runa sayang dan menempelkan dagunya diatas kepala Runa.

"Ssst.. lo jangan ngomong kayak gitu. Gue gak suka!" Ucap Alva datar.

Alva melepaskan pelukan Runa lalu menatap runa.

"Udah jangan nangis lagi, lo jelek kalo nangis. Gak malu sama dandanan?" Ucapan alva membuat runa kesal lalu dengan wajah cemberut Runa menjawab,

"Gue kan juga manusia. Bisa nangis. Gak! Gue gak malu tuh. Wlee." Runa mengejek Alva. Alva mendengus.

"Dasar. Tadi aja nangis-nangis. Sekarang udah ngeselin banget. Udah deh gih ganti baju, terus minum obatnya. Gue udah taro di nakas deket tempat tidur lo." Ujar alva sedikit kesal. Emang ya cewek susah ditebak. Runa berjalan menuju kamarnya. Dan diikuti Alva dari belakang. Runa membuka pintu yang terdapat lambang 'A' yang berarti itu kamar runa. Dan Alva masuk kepintu sebelah runa.

Dear TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang