Page 7

5.1K 317 0
                                    

A U T H O R

"Siapa."

Aruna terpaku begitu melihat mata seorang pria dihadapannya ini.

Hazel. Aku memiliki mata itu.

"Begini om, Aira nya kemana ya? Soalnya dia tadi gak masuk." Ucap Revan sembari tersenyum sopan.

Haris, ayah Aira memandang tajam satu persatu orang dihadapannya kini. Beliau mempunyai sifat yang kurang bersahabat. Sifat dingin dan datar seolah mendarah daging di tubuhnya.

"Kenapa memangnya." Ucap Haris datar.

Rafa serta Adrian saling menunduk tak berani bertatap mata dengan orang yang sedang bersedekap dada dengan mata elang dihadapannya.

Aruna masih menatap mata hazel itu. Seolah ia mengingatnya agar selalu terpatri diingatannya.

"Emm.." Revan menunduk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,"gimana ya om.. kita kepengen mastiin aja sih, kalo Aira baik-baik aja."

Haris mengangguk mengerti masih dengan wajah datar tanpa senyuman. Lalu ia melirik Aruna,

"Hai nona kecil, bisakah kau tidak menatap ku seperti itu."

Aruna tersentak lalu tersenyum dan menunduk meminta maaf. Haris menggelengkan kepalanya.

"Aira terkena demam tadi malam," Ucap Haris lalu mempersilahkan Revan, Rafa, Adrian serta Aruna memasuki rumahnya.

"Dingin banget gila," celetuk Adrian.

Rafa membekap mulut Adrian.

"Aira ada didalam, kalau dia sedang tidur lebih baiknya jangan diganggu." Ucap Harris sembari membukan pintu kamar Aira.

Revan mengangguk mewakili teman-temannya. Haris menutup pintu kamar Aira lalu berlalu.

Begitu Revan memasuki kamar bernuansa biru muda itu, ia melihat Aira yang sedang duduk dikasur dan ia sedang menulis sesuatu pada selembar kertas di pangkuannya.

"Aira,"

Panggilan itu sontak membuat Aira terkejut lalu dengan segera ia menyembunyikan selembar kertas yang tadi berada dipangkuannya ke bawah bantal disampingnya.

"Re-revan, Raa-fa, Adrian, Runa. Hai." Aira melambai dan tersenyum walau sisa-sisa keterkejutannya masih tampak terlihat.

Revan lalu duduk dipinggir Aira, diikuti Rafa, Adrian serta Aruna.

"Kamu kenapa? Sakit kok gak bilang-bilang?" Ucap Revan dengan khawatir.

Aira tersenyum manis,"aku gak papa kok." Lalu senyumnya terganti dengan wajah bersalah.

"Maaf ya aku gak kabarin kamu, hp aku diambil sama Papah soalnya."

Revan tersenyum lalu mengangguk mengerti.

Aruna berjalan mendekat kearah Aira dengan senyum terpatri diwajahnya Aruna mengusap rambut Aira seraya berkata,"cepet sembuh ya, jangan lama-lama sakit nya. Sakit itu gak enak."

Aira terkekeh seraya mengangguk,"makasih yah."

Adrian menyentil kening Aira,"GWS ye Aira jelek,"

"Cepet sembuh ya Ra. Gue kepengen banget godaiin lo." Ucapan Rafa barusan mendapat lirikan maut dari Revan yang berada di sebelahnya.

Dengan sekuat tenaga Revan memiting leher Rafa, Rafa meronta dan mencoba melepaskan pitingan Revan.

"Tai. lepasin tangan lo, Van. Ketek lo bau banget sumpah."

Mendengar ejekan dari Rafa malah mempererat pitingannya,"ngomong apaan lo barusan, bocah tengil?"

Dengan meringis Rafa berucap,"Revan ganteng banget kayak Bopak."

Lelah melihat kedua sohibnya Adrian memisahkan mereka,

"Udah, kalo mau berantem nanti di kamar aja."

Aruna menggeplak bahu Adrian,"sialan lo."

Aira terkekeh melihat pemandangan didepannya saat kini.

°°

"Assalamualaikum, Aruna datang." Ucap Aruna ketika ia sudah menutup kembali pintu rumah kediaman Frans.

"Walaikumsallam." Alva serta Varo menjawab dari arah tengah.

Aruna duduk di tengah-tengah Varo serta Alva yang sedang asyik menonton.

"Ganggu aja lo kak." Ucap Varo.

Aruna mengabaikan Varo lalu mencomot pop corn yang ada dipangkuan Alva.

"Malem banget lu dek kesininya. Abis dari mana sih emang?"

"Kevo."

Alva mendelik, lalu menghembuskan nafasnya kasar,"Keruangan papa dek. Dari tadi papa udah nungguin."

"Iya," Aruna mengangguk tetapi ia tidak beranjak.

"Cepet dek." Ucap Alva tak sabar.

"Runa mau pipis dulu." Ucap Aruna sembari beranjak lalu berlari menuju kamar mandi dengan berlari.

"JANGAN LARI-LARI, RUN!"

"Gue mau kedapur dulu deh, bang."

"Yaudah sana!"

"Huft.. lega banget" Ucap Aruna setelah ia menyelesaikan panggilan alamnya.

Aruna membuka pintu. Lalu dahinya berkerut ketika pintu nya tak kunjung berayun.

Aruna mencoba nya terus-menerus hingga menimbulkan suara gaduh. Aruna tiba-tiba saja jatuh terduduk. Aruna kaget dengan apa yang diberikan reaksi tubuhnya.

Gue kenapa? Batin Aruna.

Ia benar-benar lemas sekarang. Dengan sisa tenanga nya ia menggedor pintu kamar mandi.

"Dad, to-tolong." Ucap Aruna dengan suara serak. Ia menangis. Takut.

Ketika ia mendengar suara kaki mendekat ia semakin menggedor pintunya. Lalu pintu terbuka lalu sosok abangnya langsung terlihat.

"Lo kenapa dek?!"

Aruna menggeleng,"gak tau. kaki gue, bang, kaki gue gak bisa digerakkin." Ucap Aruna masih dengan menangis.

Dengan wajah yang super duper khawatir Alva menggendong Aruna dengan gaya briddle style.

"Kak Runa kenapa bang?"
Tanya Varo yang kaget melihat Aruna dibopong oleh Alva. Serta terdengar isakan Aruna yang kini menempelkan kepalanya pada dada bidang milik Alva.

"DIEM LO!"

Alva sedang dalam mood marah pada adiknya laki-lakinya itu. Ia tahu siapa yang melakukan hal seperti tadi.

Alva merebahkan Aruna di kasur yang selalu Aruna tempati ketika menginap dirumahnya. Lalu Alva memanggil Frans serta Della yang berada di ruang kerja papa nya itu.

Ketika kembali dengan Frans serta Della yang berwajah khawatir ternyata Varo sudah menunggu diambang pintu.

"Kak Runa kenapa sih bang?" Tanya Varo yang di jawab gelengan Alva.

Frans memasuki kamar dan memeriksa Aruna. Sementara itu Alva, Vari serta Della menunggu di luar.

Frans keluar dengan wajah yang sulit diartikan.

"kenapa Runa pah?! Runa baik-baik aja kan?." Della mengguncang bahu suaminya itu.

Alva denga wajah khawatirnya serta Varo yang bingung. Whats wrong? Batin Varo.

Frans menunduk dan menggelengkan kepalanya. Dengan menyesal ia berkata,"Dia semakin menyebar."

••••

31, Juli 2016.

Dear TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang