DC[L]- Pembukaan

411 28 7
                                    

hai, semua. terima kasih karena kamu ada di halaman pertama ini. tapi sebelum kamu baca, aku mau ngasih tahu aja ya...

cerita ini adalah novel pertama yang aku tulis. ada banyak kesalahan penulisan karena aku yang 15 tahun emang masih enggak tahu banyak tentang cara nulis yang baik dan benar wkwk. sorry.

dan aku malas ngedit.

ok. selamat membaca :)




[LORNA MINNELLI]

Dipencetnya layar ponsel itu. Lalu alunan musik yang manis segera terdengar mengisi seluruh udara di dalam ruangan. Tapi suasana hati Lorna sedang tidak mood untuk mendengarkan lagu galau. Jadi dia memutuskan untuk menggulir layar ponsel dan memilih lagu yang lebih bersemangat.

Lagu barat milik Shawn Mendes, pacar gue, judulnya Strings.

Dengan volume tinggi.

Namanya Lorna, cewek imut dengan rambut sepunggung yang selalu diikat satu, lengkap dengan poni yang menjuntai menutupi dahinya. Lorna Minnelli lengkapnya. Anak sematawayangnya Papi dan Maminya dia. Cewek yang enggak pernah suka kalau ada secuil make up yang bertengger diwajahnya, selain bedak bayi tentunya. Matanya bulat sempurna, kalaunya sudah melotot kesal atau marah, beh, bola matanya kayak mau meloncat keluar.

Lorna membuka mulutnya mengikuti lirik-lirik lagu yang sedang didengarnya. Sesekali terpejam dan berjoget asal. Keasikan sendiri, bahagia luar biasa saat memasukkan satu persatu bajunya plus barang-barang kesayangannya ke dalam tas besar.

Besok dia akan pindah.

Ke sebuah kota yang cukup jauh.

Dan asing.

Tapi Lorna bersyukur karena dia akan terbebas dari--

"YA AMPUN ANAK MUDA JAMAN SEKARANG SUKA BANGET DENGER LAGU BAHASA ALIEN!! KECILIN SUARANYA, LORNA!! KAMU ENGGAK BUDEK DENGERIN MUSIK SENYARING ITU?!"

--seorang nenek di rumah sebelah yang kamarnya tepat bersampingan dengan kamar Lorna.

Pemarah. Oh Goshhh.

"Iya Nek. Maaf." Sahut Lorna. Bahasa alien? Duh, Nek, sejak kapan bahasa Internasional jadi bahasa alien. Sambungnya dalam hati.

"Panas telinga denger lagu aneh gitu." Ketus Nenek itu lagi sambil berjalan menjauh dari jendelanya. "Ohok!"

Dan dia batuk-batuk lagi. Sebenarnya kasihan sih, tapi siapa suruh ngomelin anak orang.

Lorna hanya menurunkan volumenya sedikit. Dan kembali menyanyi seolah tidak peduli.

Kurang lebih empat atau lima tahun sudah dia tinggal disana. Bertetangga dengan rumah yang hanya diisi oleh seorang wanita karir dan seorang nenek yang sering memarahi Lorna. Banyak hal yang Lorna suka tidak disukai wanita lanjut usia itu. Entah karena faktor usia dan selera masa dulu dan jaman sekarang yang jauh beda, tapi Lorna sudah kuat lahir batin kalau tiba-tiba suara nenek itu berteriak kepadanya dari jendela rumah sebelah.

Tiada hari tanpa omelanmu, Nek. Berasa nenek sendiri jadinya.

Bakal kangen enggak ya kalau udah pindah nanti? Lorna sempat memikirkan itu. Tapi, ah sudahlah, nanti dia akan minta maaf pada si Nenek sebelum pergi. Itung-itung ngurangin beban karena merasa bersalah sering bikin si Nenek naik darah.

Dan dibenak Lorna, wanita lansia itu pasti akan tertawa senang dan sujud syukur karena tahu kalau sosok iblis cantik disebelah rumahnya akan pindah sejauh-jauhnya. Walaupun sementara saja, tapi setidaknya ada 60 hari yang tenang tanpa gangguan musik-musik bervolume tinggi dengan bahasa alien yang entah apa maknanya.

Ponselnya berdering. Lorna melirik benda persegi panjang itu, lalu segera mengangkat panggilan itu.

"Halo? Ada apa, Lussss?" Lorna menambahkan banyak sekali huruf S diakhir katanya.

Membuat Lusy, lawan bicaranya diseberang mendengus. Dan Lorna menarik senyum simpul.

"Lo jadi berangkat, Na?"

"Iya. Besok sih kayaknya. Kenapa, lo mau meluk gue sambil nangis bombay?"

"Cih. Gue enggak sealay itu. Kapan balik?"

Lorna tertawa. "Gue belum pergi udah ditanyain kapan balik. Kamu lucuk deh."

"Serius Lornah."

Mendengar itu ia tergelak. Lornah? Aneh banget. Balas dendam pasti.

"Kata Mama sih cuma dua bulan." Jawabku dengan sisa tawa.

"Oke. Kelamaan sih. Gapapa lo kalau enggak sekolah? Bangku disebelah gue kosong deng dua bulan. We-o-we."

"Iyalah. Biarin aja jadi bangku kosong. Kesian deh lo."

Hm. Bangku kosong. Kok gue bergidik ngeri ya?

Dan entah apa lagi yang diobrolin setelahnya. Lusy menutup telpon itu. Dan Lorna kembali melanjutkan aktifitasnya; beres-beres, mengepak barang-barangnya yang enggak sedikit.

By the way, Lusy itu sahabatnya Lorna. Satu kelas. Sebangku.

Dirasa beberapa barang sudah beres dan aman, Lorna melenggang keluar kamar. Di ruang keluarga, Mama dan Papanya sedang duduk bersebelahan dengan teh hangat mereka. Lorna dengan senang hati menginterupsi.

"Sekolah aku gimana ya?" Lorna dengan kebiasaannya yang lebih suka to the point itu cukup mengagetkan kedua orang tuanya yang tengah bersantai.

"Aku enggak mungkin pindah sekolah cuma dua bulan, kan?" Tanyanya lagi.

"Iya. Memang enggak." Jawab Mama kemudian.

"Terus?"

"Kamu homeschooling, Lorn." Kali ini Papa yang bersuara. Membuat Lorna mengernyit.

Ayolah, sekolah itu asik karena banyak temen-temen, dan sekarang harus sekolah tanpa satu temenpun?

"Tapi," Lorna ingin menolak ide buruk itu. Tapi tatapan tajam Papa membuatnya berubah pikiran. "Okelah."

Mama dan Papa tersenyum. Mereka senang dan Lorna tidak.

"Pilihin guru yang cakep!" Katanya asal sambil beranjak entah mau kemana lagi.

Dasar.

Double Chocolate | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang