DC[L]--13

95 11 5
                                    


[ SATU RUMAH ]


Di ruang tamu, sudah ada Kevyn dan Kennedy, serta Mamanya juga. Papa sedang ada di luar kota dengan urusan pekerjaannya yang tidak Kevyn dan Ken pahami. Mereka bertiga duduk di sofa yang sama. Sedang dihadapannya juga berhadir kedua orang tua Lorna Minnelli dan anak cewek satu-satunya di keluarga mereka.

Tunggu, ini bukanlah pertemuan resmi menjelang pernikahan.

"Saya sama suami lagi dikejar deadline di kantor. Jadi gak akan pulang, kali ini bukan cuma sehari-dua hari, tapi hampir satu minggu." Akhirnya Mama Lorna bicara ke inti setelah tadi mengobrol ini-itu.

Kennedy sudah mencium sesuatu yang tidak beres. Oke, dia berlebihan.

"Oh. Iya gapapa. Lorna bisa tinggal disini. Saya dengan senang hati menerima Lorna di rumah ini." Mama dari si cogan kembar menjawab dengan mata berbinar senang.

Kennedy melotot, sedangkan Kevyn manggut-manggut sambil tersenyum.

"Maaf ngerepotin. Soalnya saya enggak tega ninggalin Lorna sendirian di rumah." Ujar Mama Lorna.

"Iya, ide bagus tante!! Aku juga gak setuju kalo anak tante sendirian di rumah." Suara Kevyn menyahut, Ken disebelahnya mendesah tidak percaya. Kalau saja tidak ada para orang tua, sudah digantungnya si Kevyn di tiang listrik.

Kevyn menatap Lorna dengan cara seperti biasa. Teduh dan hangat. Cewek itu tampak tegang dari tadi, entah karena apa. Dan saat mata Kennedy juga ikut menatapnya, Lorna hanya melemparkan tatapan maaf nya.

Tentu Lorna belum bisa lupa dengan insiden ngambek seminggu Kennedy, dan bisa jadi cowok itu masih marah padanya.

"Gapapa. Sama sekali gak ngerepotin." Mata Mama Kevyn beralih pada Lorna, "Saya suka kalau ada anak perempuan di rumah ini. Kan tau lah, anak saya dua-duanya laki." Lanjutnya dengan senyum.

Mama dan Papa Lorna mengucapkan terima kasih sekaligus permohonan maaf mereka karena sudah merepotkan tetangga sebelah. Tapi beruntung, Mama Kevyn adalah wanita yang sangat baik, dia bersedia menjaga anak manis itu di rumahnya.

Beberapa menit setelahnya, Mama dan Papa Lorna pamit pulang. Sedangkan Lorna masih berkutat dengan pemikirannya sendiri, sepanjang mengobrol tadi matanya selalu menangkap gestur tidak suka dari Kennedy. Dan itu yang membuatnya setidaknyaman ini.

"Ken." Panggil Lorna pelan.

Setelah lama tidak bertegur sapa dengan cowok itu, akhirnya hari ini mulutnya kembali mengucapkan tiga huruf itu.

Sekarang hanya ada mereka berdua di teras, semuanya sudah kembali ke singgasana masing-masing.

Cowok yang merasa memiliki nama Ken itu menoleh.

"Kalo lo gak suka sama ide Mama, silakan bilang ke gue. Gue gak akan tinggal kalo lo gak mau gue tinggal. Ini rumah lo, lo berhak bilang enggak untuk ide itu. Gue gak akan memaksa kalo lo gak mau ada orang seperti gue di rumah lo."

Kennedy disana mengerutkan keningnya. Tumben seorang Lorna memikirkan keadaannya. Toh biasanya cewek itu tetap akan mengganggunya meskipun Ken menyuruhnya pergi.

Tapi sekarang Lorna menunggu jawabannya.

"Tinggal aja." Singkat padat, dan hanya itu. Ken meneruskan langkahnya yang sempat terhenti karena Lorna.

Lorna menatap punggung Ken dengan bingung.

"Apa alasannya Ken?"

"Alasannya?" Beo Ken sambil memutar tubuh tegapnya hingga kini mereka berhadapan.

"Karena Mama suka sama lo. Dan gue bisa apa. Lagi pula gue engga mau denger teriakan lo pas tengah malam."

Lorna memutar ingatannya ke hari-hari sebelum ini. Teriak? Tengah malam? Oke, Lorna ingat yang satu itu.

"Lo denger gue teriak malam itu?"

Ken mengangguk. "Bayangkan kalo lo sendirian di rumah hampir seminggu. Apa gue harus kebangun tiap malam karena teriakan lo?"

Lorna tersenyum, langkanya Ken juga tersenyum. Yah meskipun hanya sebentar.

"Makasih." Ucap Lorna. "Lo udah gak marah sama gue?" Tanyanya dengan nada getir.

"Entahlah. Gue belum bisa memutuskan yang satu itu." Tanpa ba-bi-bu lagi Ken berbalik dan benar-benar meninggalkannya.

"Ken. Nyebelin."

***

Lorna masih berbaring di kamarnya. Kamar tamu di rumah Kevyn dan Kennedy. Matanya menjelajah tiap sudut kamar, dan semuanya menakjubkan.

Sampai kemudian sebuah ketukan di pintu kamar membuatnya beranjak dari ranjang.

"Kevyn?"

"Hai. Lo sibuk?" Tanya Kevyn. Lorna menggeleng.

"Kalo gitu, temenin gue nonton tv ya." Pintanya ramah.

Mata Kevyn Austin mengamati Lorna yang sedang berdiri didepannya. Dari puncak kepala sampai ujung kaki, overall Lorna menggemaskan. Bahkan dari pertama kali melihat cewek itu, kepala tampan Kevyn sudah mencap Lorna sebagai cewek imut yang menarik.

"Santai aja. Anggap rumah sendiri. Kita kan temen, gak usah sok canggung ah." Tangan Kevyn tiba-tiba menarik lengannya lembut.

Sangat lembut namun Lorna tidak bisa menolak. Mereka duduk di ruang tengah menghadap ke arah tv. Kevyn mengambil tempat disamping Lorna, cowok itu mengutak-atik remote sebelum memutuskan saluran tv apa yang enak dilihat.

Semuanya menjadi mudah berkat Kevyn. Mereka mengobrol dari A sampai Z, dan gelak tawa juga terdengar cukup heboh di ruangan itu. Kevyn benar-benar mengasyikan.

Dan di detik itu, bahkan jauh sebelum hari itu Lorna tahu jelas dengan perasaannya. Lorna suka Kevyn.

"Lorn, misalnya gue nembak lo, bakal diterima gak?"

Astaga.. Kevyn Austin. Mendadak lidah Lorna kelu seketika. Matanya melirik layar datar yang masih menyala, tidak ada adegan romance atau apapun itu di tv. Jadi, kenapa Kevyn tiba-tiba menanyakan hal tabu seperti itu?

"Kenapa emang? Lo mau nembak gue?" Sahut Lorna mencoba sesantai mungkin menanggapi Kevyn.

Cowok disampingnya itu terkekeh. "Bisa jadi itu. Soalnya lo imut banget."

Lorna tahu kali ini pipinya benar-benar bersemu merah.

"Gue tau gue ini imut. Fans gue di sekolah udah keseringan bilang itu." Lorna membuang muka, pura-pura fokus pada tv.

Tapi jantungnya yang berdetak cepat ini bukanlah pura-pura.

"Duh adek jangan imut terus gitu." Tangan Kevyn terulur dan mengacak-acak poninya. Lorna cemberut dan Kevyn tertawa lagi.

"Gue ke dapur dulu ya."

Lorna beranjak dari sofa tanpa menunggu persetujuan Kevyn, lalu berjalan menuju dapur. Lorna ingin berhenti membuat jantungnya berdegup liar karena spesies bernama Kevyn Austin itu.

Di dapur sudah ada si Tante cantik, Lorna mendekatinya dan menyapanya ramah. Mereka mengobrol cukup lama di dapur, hingga berakhir dengan masak-masak untuk makan siang bersama.

Setidaknya saat itu Lorna bisa menetralkan perasaannya lagi. Tanpa Lorna dan Kevyn tahu, Kennedy mendengarkan percakapan mereka dari awal hingga akhir.

Double Chocolate | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang