(4) - Empat

2.8K 252 33
                                    

            Alena menggigil dan menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang ia pakai sambil memerhatikan hujan yang turun dengan derasnya. Suasana koridor utama juga mendadak menjadi tempat paling ramai seantero sekolah, karena hampir sebagian besar siswa-siswi sibuk mengurusi baju seragam dan sepatunya yang basah kuyup.

Tidak terkecuali Alena, berkat celana olahraga bekas SMP, jaket anti air, dan juga sandal jepit yang dipakainya, ia jadi merasa tidak perlu khawatir baju seragam dan sepatunya akan kebahasan. Semua aman terkendali di dalam tasnya yang juga anti air. Hebat, 'kan?

Namun sialnya, karena koridor utama yang juga ikut-ikutan terkena tampias air hujan, Alena harus rela menanggung malu saat dirinya jatuh terpeleset. Kontan, semua orang yang melihat kejadian itu langsung tertawa terbahak-bahak. Bagi mereka, melihat jelmaan dari kata sempurna untuk kategori siswi sekolah jatuh seperti itu adalah hal yang paling langka. Benar-benar langka.

Mungkin, kalau Arka tidak bangun kesiangan dan tidak menyuruh Alena untuk berangkat sekolah duluan, ia akan mengomeli orang-orang yang berani menertawai Alena. Pasti. Sayangnya Alena cuma bisa menggerutu dalam hati sambil menahan malu.

"Eh-eh, ada apaan nih?!"

Suara yang tiba-tiba terdengar kencang dari arah belakang, membuat semua orang yang berada di koridor utama menghentikan tawanya dan terdiam seperti patung. Tidak ada lagi yang berani membuka suara, apalagi tertawa. Hening. Alena yang juga ikut merasakan atmosfer itu pun mendongakkan wajahnya. Penasaran.

Ternyata Putra, anak kelas 12 IPA-3 yang mungkin juga baru saja tiba di sekolah. Namun, tidak berhenti di situ, pandangannya kembali terfokus pada seseorang yang juga sedang menatap dirinya tidak jauh dari Putra. Alena melengos, enggan menatapnya lagi.

"Len, lo ngapain duduk di situ?" tanya Putra polos karena dirinya tidak melihat kejadian dimana Alena terjatuh beberapa saat yang lalu.

"Emang gue keliatan kaya orang yang lagi duduk?!" Putra mengangguk-anggukan kepalanya, Alena mendesis. "Gue abis kepeleset tau! Gak liat nih celana gue jadi basah gini?"

"Lo kepeleset, Len?!" Andre–salah satu teman se-gengnya Putra–yang entah muncul dari mana setelah mendengar jawaban yang membuatnya cemas bukan main, langsung muncul di tengah-tengah kerumunan dan membantu Alena berdiri. "Ada yang sakit gak? Mau gue bawa ke uks? Atau ke dokter aja sekalian?" Andre terlihat khawatir, ia memegangi bahu Alena dan mengamatinya dari atas sampai bawah. "Takutnya tulang lo ada yang patah!"

Alena memutar bola matanya. "Nilai ipa lo berapa sih?" tanyanya sarkas. "Kepeleset kecil kaya gini gak mungkin bikin tulang gue patah."

"Lo serius?" Alena mengangguk. "Syukur deh kalo gitu."

Andre menghela napas lega melihat jawaban Alena. Ia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai cewek itu kenapa-napa. Ya, walaupun bukan karena kesalahannya, tetapi tetap saja ia khawatir. Baginya, Alena sudah bagaikan adik sendiri. Maklum, di kalangan anak-anak kelas 12, Alena itu terkenal banget. Terlepas dari apa yang pernah terjadi satu tahun yang lalu.

Alena bahkan mendapat julukan 'Adik Bersama' di sekolahnya. Entah dari siapa julukan itu berasal, tapi sejak masuk ke SMA Bakti Mulia, Alena memang selalu gabung dengan anak-anak kelas 12. Mungkin karena dirinya yang selalu bersama dengan Arka, makanya jadi kebiasaan.

Awalnya Arka kesal bukan main dengan julukan 'Adik Bersama' itu, karena menurutnya Alena hanyalah adiknya seorang, tidak boleh dibagi-bagi. Tapi, lama-kelamaan ia sadar bahwa itu artinya, banyak yang sayang dengan Alena di sekolah. Jadi seiring berjalannya waktu, ia menjadi terbiasa.

"Celana gue kotor banget, ya?" Alena menepuk-nepuk celana olahraganya, berharap bahwa bercak-bercak kotor yang menempel akan langsung hilang. Sayangnya tidak, bukannya hilang, justru malah merembet kemana-mana.

wherever you may be | on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang