(2) - Dua

3.5K 296 23
                                    

"Ke kantin, yuk!" seru Naufal nyaring. "Mumpung belum bel istirahat nih, nanti keburu rame."

"Yuk, laper banget gue," sahut Fijar sambil memegangi perutnya dengan mimik wajah dramatis.

Kelas memang sudah selesai 15 menit lebih cepat, karena ternyata guru Bahasa Indonesia mereka ada urusan mendadak. Tentu saja hal itu membuat seluruh murid di dalam kelas senang bukan main. Soalnya, kalau kelas selesai seperti biasa, suasana di kantin sudah pasti sangat ramai, sumpek, dan parahnya lagi bau badan. Geli banget.

"Lebay lo. Cowok bukan?" Arka ikut menyahut dan tanpa sadar menjitak pelan kepala Fijar sambil menyamai langkah teman-temannya di depan.

Fijar menoleh, ditatapnya Arka dengan raut wajah jengkel. "Lo kenapa sih, Ar, demen banget jitak kepala gue?"

"Abis kepala lo menggoda buat dijitak," balas Arka tanpa beban.

"Kampret!"

Arka terbahak, kemudian mulai sadar bahwa ia dan teman-temannya sudah sampai di pintu kantin. Buru-buru ia menghampiri Warung Umi, pedagang nasi goreng paling top di sekolahnya. Murah, enak, dan bersih. Makanya cepat sekali habis. Untung Umi sudah ce-es dengan Arka, jadi Umi selalu menyisakan satu porsi nasi goreng untuk cowok itu.

Kalau ditanya apakah Arka bosan makan nasi goreng tersebut hampir setiap hari, jawabannya sudah pasti tidak. Ya walaupun dalam satu minggu sekolah tidak melulu yang dimakannya itu terus sih.

"Umi, biasa ya!" Arka duduk di meja paling pojok kantin, dekat pintu masuk yang merupakan tempat paling nyaman seantero sekolah. Basecamp anak-anak cowok kelas dua belas kalau lagi berada di kawasan kantin. Memang sebagian besar adalah teman-teman satu jurusan Arka, tapi bukan berarti anak-anak IPA tidak ikut gabung dengan mereka. Ada sih, tapi tidak banyak.

"Alena mana, Ar?" tanya Fijar sambil melirik Arka di tengah-tengah kegiatannya menyantap kenikmatan surga dunia yang berwujud semangkuk bakso.

"Ngapain lo nanya-nanya?"

Fijar mendecak sebal. "Yailah, apa salahnya sih nanyain calon pacar?"

"Salah, karena lo bukan calon pacarnya!" Arka membuka jaket jeans-nya dengan cepat. Tiba-tiba hawa di kantin terasa sangat panas. Mungkin karena efek sambal Umi yang hari ini kadar pedasnya naik beberapa persen.

"Gue jadi curiga nih." Edvan tiba-tiba menyahut, padahal lima menit yang lalu itu cowok baru izin ke toilet karena harus menerima panggilan alam.

"Dateng-dateng udah curiga aja lo!" tegur Naufal. "Jangan suudzon jadi orang, gak baik ah. Dosa. Inget ya, kalau kita berbuat dosa, Tuhan gak sayang sama ki-"

"Kan-kan, gini nih contohnya kalau mau jadi ustadz gak jadi gara-gara baca Iqra satu aja gak khatam," ledek Edvan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ke arah Naufal. "Orang mah dengerin dulu omongan sampe selesai, baru boleh komentar. Melanggar Hak Asasi Manusia nih namanya!"

"Ah udah-udah, sama aja lo berdua!" Fijar akhirnya menengahi perdebatan kecil di antara Edvan dan Naufal. "Monggo, Saudara Edvan, dilanjutkan kalimatnya," lanjutnya sambil memamerkan senyuman.

Arka memijat pelipisnya perlahan, pusing karena melihat tingkah laku teman-temannya tidak ada satupun yang benar.

"Iya, gue jadi curiga kalau Arka naksir sama Alena."

"NGACO LO!"

"Eh-eh monyet terbang, mati lo!" Fijar menepuk-nepuk dadanya karena kaget. Suara Arka benar-benar lantang dan nyaring terdengar.

"Lo kenapa, Ar?" Edvan menatap Arka dengan tatapan penuh selidik. respon Arka yang begitu cepat dan di luar batas wajar seakan memunculkan sebuah pertanyaan baru untuknya. "Lo ngga beneran naksir sama Alena, 'kan?" tanyanya lagi.

wherever you may be | on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang