Gloom

3.6K 368 22
                                    

Malang benar nasibku. Hari ini aku membawa pulang beberapa pekerjaan yang dilimpahkan padaku karena manajer cabang harus pergi ke luar kota, besok mantan pacarku menikah dan besok aku pun harus membayar sisa hutangku karena sudah jatuh tempo.

"Kapan ya hujan duit?" Aku menggaruk leherku kesal lalu menutup laptopku kasar.
Americano yang ada di dekat tumpukan berkas juga sudah habis benar-benar waktunya pulang, tapi entah setan apa yang meracuni pikiranku sampai-sampai aku berpikir untuk pergi karaoke saja. Bangun, besok harus bayar hutang dan kondangan! Jangan foya-foya!

"AAAKKKK! KAPAN SIH HUJAN DUIT?!!!"

Bletak!

Park jimin lagi. Lelaki sok baik uang baru kukenal beberapa hari lalu kini sudah berani memukul kepalaku dengan gulungan kertas.

"Rese ah!"

Jimin melemparkan pandangan 'apa yang terjadi padamu?' Ke arahku. Ia menatapku lekat-lekat sambil bernapas santai. Mungkin hanya dia yang merasa terganggu dengan tingkahku hari ini. Dan mungkin itulah kenapa ia menatapku seperti itu.

"Memecahkan gelas, salah bikin laporan, rok yang robek karena nyangkut di rak sepatu, bikin bos marah dan salah nganter flashdisk." Dia mengeksekusiku. "Apa yang terjadi padamu? Siapa yang sebenarnya anak baru disini?"

Damn.
Kukira ia akan menenangkanku.

"Berisik sekali kau, Park Jimin. Jangan campuri urusanku. Know your place." Benar-benar, ia membuatku semakin kesal dan uring-uringan. Aku membereskan meja kerjaku dan pergi meninggalkannya. Kali ini aku benar-benar ingin pulang.

Aku menekan tombol lift dan menunggu. Lalu, aku memperhatikan kembali rokku yang robek siang tadi. Rok kesayanganku kini jadi rok mini dan aku tidak beranjak dari kursiku sama sekali seharian. What a day.

Tap tap tap

Park Jimin lagi.
Ia menyelipkan sesuatu di tanganku. Dan saat aku membukanya, choki-choki.

Plung!

Aku membuangnya.
"Harusnya kau mengucapkan terimakasih. Bukan membuangnya." Ucapnya dengan nada datar yang cukup seram untuk didengar. Jimin menarikku ke pantry dengan tangan kekarnya. Wajahnya merah padam dan otot-otot di tangannya membuatku semakin merinding.

"Ceritakan saja padaku. Hanya kau satu-satunya temanku disini. Kalau kau stress begini semua jadi tidak seru." Ucapnya sambil mengerutkan jidatnya menungguku untuk buka mulut.
Jimin bangkit dari kursinya dan mengambil segelas air putih, untukku katanya.

"Besok mantanku menikah dan aku harus bayar hutang keluarga."

Oops... reflek. setelah meneguk habis segelas air putih, kalimat terjujur itulah yang tanpa sadar aku ucapkan.

"Pekerjaanku juga semakin banyak karena manajer cabang harus keluar kota." Lanjutku.

"Kau ini bodoh ya. Mengapa tidak membagi pekerjaannya denganku? Kita satu divisi! Dan masih ada beberapa anggota lain!" Jimin muntab.

Aku terdiam. Sebenarnya memang hanya jimin yang tidak diberi kerjaan tambahan hanya karena ia anak baru. Apa yang harus kukatakan?

"Tiga hari kedepan aku akan menginap di rumahmu sampai kerjaan selesai." Jimin menggenggam tanganku lembut. "Lalu hari sabtu kita bisa kencan!"

Bletak!

Aku menyentil dahinya. "Kencan gundulmu! Kau gila? Mengajak kencan orang yang membencimu seperti ini benar-benar nonsense."

Lagi, aku meninggalkannya. Kali ini di pantry.

"Kita pulang bareng!" Teriaknya.
Aku mendengar langkah kakinya mengejarku, namun aku mencoba untuk tidak menoleh sedikitpun.

_

Kami naik bis berdua, benar-benar hanya berdua. Aku merasa kami hanya berdua. Aku benci rasa nyaman dan hangat yang ia pancarkan saat aku dekat dengannya. Rasanya seperti sudah mengenalnya sejak lama, seperti bukan orang asing, dan dia selalu membantuku meskipun terkadang aku kasar padanya. Well, semua itu karena wajah tampannya yang tidak rasional, sulit diterima oleh akal sehat. Aku tidak ingin tergoda!

"Ayo turun! Sudah sampai." Ucapnya.
Saat aku tersadar dari lamunanku, jimin sudah menarik tanganku. Mengajakku untuk turun dan segera pulang.

"Jangan pegang-pegang sembarangan! Kau ini tidak sopan!" Aku menarik tanganku kasar.

Jimin, si pipi gembul itu berjalan di depanku. Ia menyeret kakinya malas, mungkin terlalu lelah seharian.
"Apa aku boleh memegang tanganmu?" Tanyanya saat tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. "Ibuku meninggal. Aku tidak bisa pulang sampai bulan depan." Kalimatnya bergetar. Rupanya bukan aku saja yang tengah mengalami masa sulit hari ini. Aku yakin, ia sudah mendengar kabar itu sejak siang tadi dan seharian ini dia benar-benar hiper tak bisa mengontrol tawanya.

"Kau tidak bohong?" Bodoh, pertanyaan macam apa ini.

Jimin membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. Lalu, ia menaruh kepalanya di bahuku dan memelukku erat, sangat erat hingga aku hampir tidak bisa bernapas.

"Kau menangis ya?" Sekali lagi, ini pertanyaan yang bodoh.

Jimin menghentikan isakannya dan bahuku sudah sangat basah.

"Baumu wangi. Nanti jangan lupa pakai baju seksi ya kalau aku ke rumahmu"

Lalu aku menjambaknya.

========
Masuh prolog nih yeorobun(?)
Doanya aja mas jimin bisa jadian kedepannya. Udah mulai buka-bukaan(?) nih!

VOMMENT YACH! ♡♡

Jimin X YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang