File #1.3

353 13 0
                                    

File #1.3

Saat paruh waktu permainan bola yang ditonton Gabriel. Dia berbalik kepadaku.

"Argh. Sial, Raf, seandainya tendangan Ryan Giggs tidak membentur tiang gawang. Well, apa kau telah mendapatkan maksud tulisan itu, Kawan?" tanya Gabriel.

"Aku masih tidak pahan, G," kataku jujur.

"Apa? Dalam waktu epatpuluhlima menit, kau tak dapat memecahkannya?" teriak Gabriel, "Ayolah Mr. Rafael Milanov, perhatikan setiap hurufnya!"

Aku menuruti apa yang Gabriel sarankan. Namun tetap saja otakku yang pas-pasan tidak dapat menangkap maksud tulisan tersebut.

"Aku menyerah, G." Kuletakan kembali kertas itu di meja.

"Temanku yang baik, jika kau jeli 'sedikit' saja, aku yakin kau dapat mengetahuinya. Nah, sekarang kau eja setiap huruf besar yang ada di tulisan itu," kata Gabriel lagi.

Aku pun terperanjat dan merutuki diriku sendiri.

"Betapa bodohnya aku," sesalku, "William?!"

"Ya, begitulah yang ingin Mr. Carvent sampaikan kepada klien kita."

"Kenapa kau tidak memberi tahu Miss Lissa tentang ini, G?"

"Terlambat, Kawan, terlambat," balas Gabriel berulang-ulang, "dia ingin menyampaikan kepada Miss Lissa kalau dia ingin pergi ke Hotel William. Yang jadi pertanyaan sekarang, adalah, kenapa harus berupa tulisan begini?"

"Jadi, apa selanjutnya?" tanyaku.

"Kita mulai penyelidikan ke rumah Mr. Carvent. Well, tentu sesudah pertandingan Manchester United melawan Arsenal selesai."

"Kalau begitu, aku boleh ikut?"

"Tentu saja aku berniat mengajakmu." Seru Gabriel.

"Selagi kau menonton, aku mau bersiap-siap dulu, 'kan enggak lucu kalau rekan seorang penyidik hanya mengenakan kaos putih dan celana pendek," kelakarku.

Gabriel tergelak mendengar perkataanku, "Benar juga," katanya.

Aku pun beranjak dari rumah tetangga baruku ini dan pulang ke rumah untuk sekedar berganti pakaian.

Tak perlu waktu lama, aku telah berada kembali di rumah Gabriel, setelah sebelumnya aku menceritakan semuanya kepada kakakku Yelena Milanov. Awalnya dia tidak percaya akan ceritaku, aku pun tidak terlalu peduli mau dia percaya atau tidak, yang pasti aku telah menceritakan yang sesungguhnya.

Saat aku kembali ke rumah Gabriel, aku melihat dia telah berubah dalam segi penampilan. Yang tadinya berpakaian santai, kini ia mengenakan pakaian semi resmi. Di mana ia menggenakan jas hitam pekat yang membungkus kemeja putih; dua kancing bagian atasnya ia tidak tautkan. Celana yang hitam senada dengan jas Gabriel yang ia pakai terlihat halus, dan sepatu hitam mengkilap menambah elegansi si pria kurus di hapadanku ini.

"Wow, kau keren sekali, G," seruku kala melihat penampilan Gabriel.

"Jelas aku keren," canda Gabriel sembari membusungkan dada dan menepuknya. "Ayo kita berangkat," katanya lagi.

"Tontonanmu?"

"Sudah selesai. Nah, itu ada taksi, ayo kita berpetualang, Teman," seru Gabriel sambil mengepalkan tangannya ke atas.

Kami beranjak dari rumah Gabriel, dan melaju ke Carvent House dengan Taksi yang kami tumpangi.

Selagi di dalam Taksi yang kami tumpangi, mata Gabriel melihat ke balik jendela mobil. Mata kelabunya berbinar-binar seakan tengah eksaltasi.

"Wah, Raf," katanya, "wanita di London ini pada cantik-cantik, ya?" gumam Gabriel.

"Tentu saja, Teman," kataku.

Mr. G [The Case-Book of Gabriel Ferenc]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang