27

5.1K 727 198
                                    

Catatan Penulis: Bab ini memang relatif pendek, aku akui itu. Namun aku tetap berusaha memasukkan sebanyak mungkin hal yang kuperlukan ada di bab ini dari sejak rancangan awal, dan ternyata kuota word count satu bab masih bisa tercapai. Bab ini juga yang membuatku sadar bahwa ilustrasi pedang di muka Part 3: The Warrior masih kurang tepat. Aku akan ganti logo itu nanti.

Update: sudah kuganti dengan yang benar yay!

Seperti yang kujanjikan, yang terutama berusaha jadi fokusku di Part 3 adalah emosi (walaupun aku sengaja secara ironis mengatakan di Bab 24 bahwa Luke tidak boleh sampai emosional, apa ada yang menangkap itu?), jadi ya, aku buka dari sekarang saja: bab ini bukan bab aksi. Bab ini adalah pengantar menuju aksi.

Bagaimanapun juga, seperti semua bab pengantar aksiku sebelum ini, bab ini mengandung plot point yang cukup penting: plot point yang akan berpengaruh ke seluruh seri Ragnarok Cycle nanti.

Oleh karena itu, setelah menyadari bahwa Catatan Penulisku di sini sangat panjang dibandingkan dengan Catatan Penulisku yang lain di sepanjang Part 3 ini, aku ucapkan selamat menikmati, dan selamat berpuasa bagi yang menjalankan.

***

[DELAPAN HARI SETELAH ISOLASI.]


"ITU TADI GILA."

Will adalah yang pertama bersuara ketika kami tiba di Himinbjörg. Aku masih memandang ke arah belakangku—untuk pertama kalinya, aku melihat pintu besi Bifröst di Himimbjörg yang bundar (terdiri dari setengah lingkaran di kanan dan setengah lingkaran di kiri) saat menutup selagi dengung mesinnya semakin melemah—dengan tatapan kosong.

Rasanya seperti ada yang tertinggal di sana.

"Aku tidak bisa lihat," kata Heimdall, dan begitu aku menoleh, aku melihat bahwa ternyata dia sedang duduk di sebelah sebuah kapsul berwarna kekuningan yang dibaringkan di sisi gubuk ini—jasad Laura terbaring di dalamnya. Aku ternyata belum siap untuk pemandangan itu, karena jantungku langsung terasa seperti sehabis dipuntir berkali-kali hingga pedihnya membuatku ingin menjerit.

Paling tidak Asaland jauh lebih hangat daripada Everest.

Di sisi lain, aku tetap tidak mau melepas jaketku, walaupun sekarang hanya tinggal ada satu lapis karena yang satu lagi masih memerban luka di bahu James. Aku tidak yakin separah apa luka kami saat jatuh dari tembakan bola api Kur ke Kreta (sebagai pembanding dengan luka James sekarang), tetapi aku juga cukup yakin luka James bisa jadi makan waktu penyembuhan nyaris selama itu. Bahkan mungkin lebih.

Sumpah, bahkan di tengah kegelapan Anomali Himalaya, ditusuk sebuah anak panah raksasa menembus bahu tidak tampak seperti hal yang sehat untuk dilakukan.

"Kami berhasil melihat penyebab Fimbulwinter," kata Shafira. "Bentuknya seperti semacam sebuah guci, atau vas. Warnanya cokelat tua, dan banyak gambar-gambar antik di sekelilingnya, tetapi bagian atasnya—"

"Biar kutebak," sela Heimdall. "Ada antarmuka holografisnya?"

Shafira menelan ludah, lalu mengangguk. "Ya."

Heimdall mengerang. "Sial. Aku kira benda itu sudah hilang semenjak Banjir Besar."

"Memangnya itu apa?" tanya Shafira.

Heimdall menatap Shafira, kemudian pada kami semua, sebelum menarik napas berat. "Guci Pandora. Kalian mungkin lebih mengenalnya dengan nama Kotak Pandora. Senjata meteorologis. Aslinya dulu digunakan sebagai alat penstabil untuk cuaca di Olympus yang kacau setelah Perang Titan, tetapi lalu diserahkan oleh Zeus kepada Pandora. Wanita itu mengaktifkannya tanpa tahu itu apa, dan mengakibatkan Banjir Besar dengan menghujani seluruh dunia tanpa henti hingga level air di Bumi benar-benar tidak stabil. Semua Leluhur sampai harus turun tangan menanggulangi bencana itu."

Ragnarökr Cycle: Myth JumpersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang