11

2.1K 242 35
                                    

Chapter 11:
Let's Talk

"Harry!"

Harry Styles tersadar dari mimpi panjangnya saat mendengar suara melengking yang mengalun indah di telinganya. Masih berusaha mengumpulkan tenaga, Harry mengangkat kepala dan mencoba  membuka mata secara penuh. Yang pertama pemuda itu lihat saat matanya terbuka adalah wajah sang kakak, yang sudah hampir satu bulan tak ditemuinya.

"Hei, Gemma."​

Sapa Harry dengan lemas, sebelum mencoba merubah posisi tidurnya namun, sesaat kemudian pemuda itu menyadari sesuatu. Harry tercengang dan menatap sekelilingnya. Shit. Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah seharusnya aku...bukankah seharusnya aku..bersama...

Mata Harry beralih dan menemukan apa yang dicarinya. Mannequin itu ada di sana. Berdiri dengan kokoh, dengan gaun yang sama persis semalam. Harry terdiam sejenak sebelum menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, tidak lagi.

"Kau kenapa dan hei, apa yang kau lakukan di sini? Kau menginap di butik?" Suara melengking Gemma menarik Harry kembali ke dunia nyata. Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum menatap sang Kakak yang masih berdiri, menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Harry mencoba untuk tersenyum, namun Gemma sangat mengenal sang adik. Gemma menarik kursi yang berada tepat di hadapan meja tempat Harry tertidur. Gemma menatap Harry dengan penuh intimidasi.

"Kudengar, kau putus dengan Casey."

Perkataan Gemma membuat Harry mengangkat satu alis. "Lalu?"

Perlahan namun pasti, senyuman mengembang di wajah Gemma. Gemma memukul meja pelan sebelum berkata, "Akhirnya! Kau tahu? Aku benar-benar tak menyukai gadis itu! Dia tak punya sopan santun!"

Harry memutar bola matanya. Memang bukan rahasia lagi jika Gemma tak menyukai Casey. Tidak, Harry belum pernah memperkenalkan Casey secara langsung ke keluarganya. Hanya melalui mulut saja.  Tapi, Gemma tahu siapa itu Casey dari omongan teman-teman Harry yang memang juga dekat dengan Gemma. Terlebih lagi Louis. Louis tak pernah suka dengan tingkah Casey, walaupun Louis tak akan mengelak akan kecantikan gadis itu.

"Aku baik, terima kasih. Putus dengannya, bukanlah masalah besar untukku." Harry berkata santai, sesekali melirik mannequin yang masih menjadi teka-teki dalam pikirannya.

Gemma menyeringai. "Tapi kau masih terlihat patah hati, Adikku yang malang. Dia pasti menelantarkanmu untuk pria yang jauh lebih tampan dan kaya." Gemma menaik-turunkan alisnya.

Harry berdecak. "Mana ada pria yang jauh lebih tampan dan kaya dariku, Gem. Sudahlah. Aku harus pulang dan mengganti pakaianku. Katakan pada Mom, malam ini aku menginap di rumah Zayn." Harry bangkit berdiri dari kursi yang digunakannya untuk tidur dan menghela nafas, berusaha menghilangkan bayang-bayang kejadian semalam yang masih menghantuinya.

Pemuda itu hendak melangkah meninggalkan ruangan, namun dengan cepat Gemma menahan langkah pemuda itu dengan memanggil namanya dan sukses membuat Harry berhenti. Harry menoleh dan Gemma mengerucutkan bibir kepada adik kesayangannya tersebut.

"Mom mencarimu. Temui dia dulu jika kau ingin menginap di rumah Zayn." Pesan Gemma.

Harry memejamkan mata dan kembali menghela nafas. "Apa Robin ada?"

Gemma mengangguk pelan dan saat itu pula, Harry berbalik. Sebelum melangkah pergi, Harry sempat berkata, "Aku tak mau bertemu pria itu. Aku akan menghubunginya nanti."

Gemma hanya dapat menghela nafas, sudah dapat menerka seperti apa sikap yang akan Harry tunjukan saat mengetahui jika Robin—selingkuhan sang Ibu—berada di dekat Ibunya. Tanpa mau menerima jika sang Ayah—Des Styles—dan sang Ibu akan berpisah secara baik-baik, tanpa mempersalahkan kehadiran orang lain di hidup masing-masing.


*****


"Aku benar-benar bersamanya semalam. Kau pikir, bagaimana mungkin aku berada di butik itu, tanpa ada orang yang mengantarku ke sana? Lagipula, lokasi kelab semalam juga tak begitu jauh dari butik Ibuku. Jadi, menurutku, semuanya sangat mungkin."

Mata Harry menatap keempat temannya secara bergantian. Keempat temannya tampak menatap Harry dengan wajah bingung. Antara ingin percaya namun mustahil atau tak percaya namun takut menyakiti perasaan Harry.

Niall memasukkan lima potong kentang goring ke dalam mulutnya sebelum berkata santai, "Kau yakin? Ceritamu terdengar sangat aneh dan kurang masuk akal."

Ketiga sahabatnya yang lain menatap Niall tajam, hendak memprotes namun, Niall hanya mengedikkan bahu, santai. Harry memicingkan mata kepada Niall. "Niall, semua orang tahu jika aku adalah pemuda paling jujur. Aku tak pernah berbohong kepada kalian. Aku serius."

"Aku juga serius. Ceritamu sangat fiktif." Niall menjawab, tanpa wajah bersalah sedikitpun.

Zayn si empunya rumah mulai memalingkan wajah, tahu apa yang akan terjadi. Louis dan Liam juga melakukan hal yang sama. Niall juga sahabat mereka yang paling jujur. Saking jujurnya, itulah alasan kenapa status jomblo-nya belum tergantikan sampai detik ini. Di saat pemuda lain akan menggombal untuk mendapatkan perhatian gadis yang diinginkannya, yang Niall lakukan adalah terus mengatakan kejujuran. Well, memang jujur itu baik tapi, lebih baik diam daripada jujur namun menyakitkan hati orang lain.

Harry memejamkan mata dan menghela nafas sebelum menatap kembali Niall, tatapannya kali ini sangat berbeda. Datar, tak seperti Harry yang biasanya.

Pemuda berambut keriting itu bangkit dari sofa dan membuat semua perhatian teralih padanya, tapi perhatian Harry hanya tertuju pada Niall seorang.

"Sebut aku gila atau apapun itu. Satu hal yang harus kau ketahui, aku paling terbuka dengan kalian. Semua yang kukatakan itu adalah apa yang ada di dalam pikiranku. Aku tak pernah memintamu untuk mempercayai. Cukup mendengarkan, tanpa berkomentar, bisakah?"

Zayn, Liam dan Louis menarik nafas saat mendapati wajah Niall yang memucat. Niall baru memahami, maksud ucapannya sendiri.

"Harry, maksudku—,"

"Aku pergi. Permisi."

Tak mengizinkan Niall melanjutkan perkataannya, Harry melangkah menjauh dari kamar Zayn.


*****


Di sinilah Harry saat ini. Berada di dalam mobil, mengintai dari jauh, kehidupan di dalam Styles Boutique. Sungguh, Harry akan membuktikan kepada teman-temannya jika dia tidak gila. Gadis itu benar adanya. Mannequin baru milik sang Ibu memang benar-benar hidup.

Pengintaian Harry terus berlanjut sampai sore hari. Pemuda itu terus menunggu dengan rasa penasaran tingkat tinggi. Semua karyawan tampak meninggalkan butik dengan bersemangat dan yang terakhir ke luar adalah sang Ibu dan sang Kakak sebelum akhirnya, satpam mematikan semua lampu di dalam butik tersebut.

Setelah benar-benar kosong di dalam butik, sekitar pukul 7 malam, barulah Harry melangkah ke luar dari dalam mobil dan mengendap-endap menuju ke butik, melalui pintu belakang. Tak banyak orang yang tahu jika Harry memegang kunci pintu belakang butik, yang ia curi dari sang Ibu. Anne memiliki banyak kunci akses menuju butiknya. Mencuri satu, sepertinya tak akan mencurigakan.

Harry melangkah cepat memasuki butik dan langsung menuju ke ruang kerja sang Ibu, tempat di mana mannequin itu berada. Harry juga sudah membuat duplikat kunci menuju ruangan sang Ibu. Mata hijau pemuda itu tampak berkilat, berkeliling mencari apa yang dicari dengan penerangan yang sangat minim.

Pemuda itu mengernyit. Ia menarik nafas sebelum berjalan, mencari steeker dan menekan steeker tersebut sehingga lampu menyala dan ruangan tampak jauh lebih terang.

Jantung Harry berdegup. Mannequin itu tak ada di tempatnya semula, di samping meja kerja sang Ibu. Harry menahan nafas, memejamkan mata. Mulai merasakan keanehan di sekelilingnya.

"Harry?"

Harry tercengang mendengar suara tersebut. Secara perlahan, pemuda itu memutar posisi tubuhnya saat ini dan benar saja.

Apa yang dicarinya, tepat berada di hadapannya.

Masih menggunakan gaun yang sama. Masih cantik. Masih...terlihat sangat nyata.

Harry menggigit bibir bawah dan setengah mati untuk buka suara. "Ba..be?"

Gadis itu tersenyum lebar mendengar suara Harry. "Ya?"

Rasa curiga, takut, kecewa dan semua firasat buruk yang ada di dalam benak Harry lenyap saat mendengar suara manis gadis itu. Harry ingin bertanya banyak, tapi...dia terlihat sangat polos dan manis.

"Aku ingin bicara denganmu, bisa?" Tanya Harry.

Gadis itu mengangguk cepat dengan senyuman yang tak kunjung lenyap dari bibir merah penuh yang selalu berhasil membuat Harry harus menahan diri untuk tidak melahapnya.



-----
Thanks udah baca sejauh ini.
Maap makin ngaco. Idk but maybe I'm not gonna continue this one.
But tak tahulah. Got a lil bit disappointed by myself.

All the love. A x

A.M.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang