37

1.2K 171 15
                                    

Chapter 37:
Begins Again

Apa yang ada di hadapan Harry ini adalah sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh Harry. Apa-apaan ini? Kenapa...kenapa aku dapat melihat...diriku sendiri?

Harry hanya dapat diam, tercengang mendapati dirinya sendiri, duduk di hadapannya dan tampak berkumpul bersama kerumunan pemuda dan salah satu dari pemuda itu adalah Jacob. Sungguh itu Jacob.

"Mudah saja. Kau dekati dia. Sebisa mungkin, dekati dia. Kudengar, dia pemilik IP tertinggi diangkatan kami, semester yang lalu. Jadi, sepertinya tak sulit untuk meminta bantuannya menyusun skripsimu." Harry dapat mendengar dirinya sendiri berbicara pada kerumunan itu. Siapa yang aku maksud?

Jacob mengernyit. "Siapa maksudmu?"

Harry yang bergabung dengan kerumunan memutar bola matanya. "Tentu saja si curly, Swift. Dia mengirimiku pesan berulang kali. Sungguh, siapapun yang memberitahu nomorku kepadanya, kau tak akan selamat."

Harry tercengang mendengar ucapannya sendiri. Dia bukan aku. Sungguh, mana mungkin aku seperti itu.

"Kau ingin aku cepat-cepat lulus sehingga kau menjadi yang paling berkuasa di sini, Styles? Oh, aku dapat melihatnya." Jacob menyalakan korek api dan menyulut rokok yang menyelip di sela-sela bibirnya.

Harry di sana tersenyum tipis sebelum turut mengambil rokok dan menyelipkan di sela-sela bibirnya. "Terserah, Jack. Sebenarnya, tujuan utamaku adalah untuk membuatnya berpaling dariku. Dia tak masuk tipe-ku sama sekali. Aku tak menyukainya."

"Tapi dia cukup manis, Styles. Pintar pula. Hanya butuh sedikit ulasan make up, aku jamin dia bisa jauh lebih cantik dari pacarmu Jack." Salah satu pemuda dengan tattoo yang memenuhi lengan kanan dan kirinya berkata dan langsung membuat dua Harry menoleh kepadanya.

Harry yang tengah merokok tersenyum. "Just go and date her, Willy. I will never ever like a girl like her. She is so damn boring."

Ingin rasanya Harry menonjok dirinya yang tengah merokok itu. Sial. Apa maksudnya ini? Kenapa dia berada di sini, bertemu dengan dirinya sendiri yang sangat terlihat berbeda dari dirinya yang sekarang?

Pertama, Harry tidak merokok. Kedua, Harry tidak berteman dengan pria-pria yang terlihat sangat bajingan itu. Ketiga, Harry mana mungkin tidak menyukai Taylor jika Harry tidak menangis berhari-hari hanya karena mencemaskan gadis itu.

Bukan aku, pria itu bukan aku.

Harry memejamkan mata dan menggelengkan kepala. Saat dia kembali membuka mata, Harry sudah mendapati dirinya di tempat yang lain, masih dengan dirinya yang lain, yang tampak tengah bersandar pada tembok, sementara di balik tembok ada Jacob yang berbicara pada Taylor.

"Aku ingin kau menjadi pacarku." Suara Jacob terdengar.

"Kau bercanda? Kau bahkan masih bersama dengan Mila! Kita juga tak pernah bicara sebelumnya!" Suara lembut Taylor terdengar melengking. Harry bisa melihat dirinya yang tengah bersembunyi, tersenyum miring penuh arti.

"Aku sudah memutuskan Mila. Aku ingin kau menjadi pacarku, Taylor. Kumohon." Jacob berkata, nadanya terdengar sangat meyakinkan, penuh pengharapan.

Taylor memejamkan mata. Dia tak pernah dekat dengan Jacob, bahkan jika harus memilih, Taylor memilih untuk menjauh dari pria seperti Jacob.

Tapi setelah gadis itu membuka mata, jawaban tak terduga malah di dengar oleh Harry, yang membuat Harry yang tengah bersembunyi melambungkan pukulan ke udara, tanda jika dia sangat senang.

"Baiklah. Aku bersedia menjadi pacarmu."

Setelah itu, Harry seakan merasa tertarik ke dunia nyata dan mendapati dirinya di atas ranjang, nafas tersengal-sengal. Harry menatap jam yang berada di dinding kamar, yang sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Harry baru tidur selama kurang dari 3 jam dan...hei, apa-apaan mimpi tadi?

Harry bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk bersandar. Pemuda itu menatap sekeliling sebelum matanya terfokus pada buku tebal yang semula dia kira berada di dalam mimpinya.

Lagi, Harry meraih buku itu dan membukanya dengan cepat. Di halaman pertama buku itu, sama persis dengan apa yang ada di dalam mimpinya. Sebuah kutipan disertai dengan inisial T. S.

"Tay, come on. Jika kau juga penasaran denganku dan ingin bersamaku, jangan seperti ini. Sadarlah dan kita bisa memulai semua dengan nyata. Kau membuatku takut dan...bingung." Harry bergumam sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke luar dari kamar.

Harry berjalan menuruni tangga, menuju ke dapur. Pemuda itu cukup terkejut saat mendapati sang kakak Gemma yang tengah duduk di meja makan, dengan segelas susu di hadapannya.

Menyadari kedatangan Harry, Gemma menoleh dan tersenyum tipis.

"Tak bisa tidur juga, eh?"

Harry menarik kursi di dekat Gemma dan duduk di sana. "Pikiranku terganggu oleh sesuatu, di tambah aku belum menyelesaikan skripsiku."

Gemma menghela nafas. "Aku juga punya banyak masalah dan membuatku sulit untuk tidur. Kau sudah tahu? Mom akan menikah dengan Robin sebulan lagi."

Harry diam. Harry tahu hal ini akan terjadi dan percuma Harry menentang. Bukanlah Ayahnya sendiri yang mengatakan jika ini salahnya, kenapa Anne berpaling dam memilih pria lain? Semuanya tentang waktu dan prioritas.

"Aku sudah jarang melihatmu berkumpul dengan Zayn dan yang lain. Kalian masih bersama, kan?" Gemma tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, membuat Harry mengangkat satu alisnya.

"Kau pikir, aku dan teman-temanku anak kecil, yang hanya karena masalah kecil lalu bermusuhan dan saling menjauh? Bukankah sudah kukatakan? Aku ingin segera bebas dari kampus jadi, aku harus menyelesaikan skripsiku." Harry menjawab panjang lebar.

Gemma terkekeh geli. "Bagus. Aku suka semangatmu. Jika kau terus seperti ini, aku tak akan meragukanmu untuk menggantikan posisi Dad di Styles Enterprise." Gemma menyengir lebar sementara Harry memutar bola matanya.

Harry bangkit dari kursi dengan cepat. "Aku akan kembali ke kamar. Selamat menikmati malam kejombloanmu, Sister. Lupakan dia yang tak pasti. Cari seseorang yang pasti." Harry menyeringai sebelum berjalan meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamarnya.

Baru berada di depan pintu kamarnya, tubuh Harry mendadak membeku. Jantungnya kembali berdegup tak karuan dan nafasnya sangat menggebu-gebu. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya.

Harry memejamkan mata. Kepalanya mendadak terasa pening lagi. Tangan kanan Harry menyentuh kepala dan tangan kiri dia gunakan untuk membuka pintu.

Pintu terbuka, Harry berjalan masuk, terengah-engah. Tatapannya mulai kabur dan Harry tahu apa yang akn terjadi selanjutnya.

"Babe, you don't have to do this to me. It hurts, so much."

Harry terus berusaha menguatkan diri. Pemuda itu duduk di tepi ranjang, wajahnya memucat. Dalam hitungan detik dan beberapa kali detak jantung, Harry sudah melemparkan tubuhnya di atas ranjang dengan mata yang terpejam.

It begins, again.


---
Happy Eid Mubarak, everyone!
Minal aidin wal faidzin! Mohon maaf lahir & batin!

A.M.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang