3 - Caca vs Ken

11.2K 1.1K 50
                                    

"Kak, habis ke mana aja? Oleh-oleh mana?" tanya Caca kepada Ken, kakak keduanya.

Begitulah sifat Caca sebagai anak terakhir dan satu-satunya anak yang berjenis kelamin perempuan, manja. Apa lagi dengan jarak usia yang cukup jauh dengan Ave dan Ken, jangan ditanya manjanya seperti apa. Ah, satu lagi, dia anak kesayangan yang ditunggu oleh papanya selama belasan tahun.

"Kerja bukan main. Oleh-oleh? Emangnya kamu ngasih kakak uang saku, Dek?" tanya Ken sambil memicingkan mata.

Caca berdecak. "Uang saku dari Korea? Yang ada itu kakak kasih uang saku ke Caca."

"Kemarin kan udah?"

"Habis buat beli buku."

Ken memandang curiga. "Yakin buku?"

Caca tertawa, tahu betul kalau satu hal ini sudah tidak bisa disembunyikan.

"Hehehe, beli novel, Kak!"

Ken langsung geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak jika dari banyaknya tumpukan buku di kamar Caca, hampir semuanya adalah novel. Koleksi itu kebanyakan didominasi oleh teenlit. Ada literatur, tetapi sedikit.

"Ca, beli bukunya yang kerenan dikit kenapa, sih? Novel boleh, tapi coba diimbangi buku religi atau pelajaran. Jadi, duit kamu nggak sia-sia, bermanfaat."

Caca menganggukkan kepala dengan bibir manyun. Masih pagi sudah dapat ceramah.

"Dek, mau ikut pergi nggak?" tanya Ken.

"Mau, mau, mau! Ke mana?"

"Rumah teman."

"Cowok apa cewek? Pasti cowok sih, ya? Ganteng nggak, Kak? Mau deh, siapa tahu jodohnya Caca," ujar Caca semangat. Di sampingnya Ken tersenyum geli sekaligus misterius.

"Iya, ganteng. Kamu siap-siap gih, jam sepuluh jalan, ya?"

"Oke, siap!"

Caca bangkit dari duduknya dengan semangat. Setelah beberapa minggu, akhirnya Ken pulang dan itu artinya dia punya teman jalan.

**

Caca sekali lagi memastikan penampilannya di cermin. Sempurna, tidak ada yang kurang. Dia mengambil tas kecil di nakas dan memasukkan dompet serta ponsel.

Sayangnya, Ken belum kelihatan di ruang tamu dan itu tandanya masih bersiap-siap. Lima menit kemudian, barulah Ken muncul dengan kaos polo dan celana panjang. Caca mengernyitkan kening ketika melihat penampilan santai kakaknya, tanpa tas pula.

"Nggak bawa tas? Tumben?"

"Nggak, malas. Udah bawa ponsel ini. Yuk, jalan."

Caca berdiri dan mengikuti kakaknya keluar. Namun, lagi dan lagi dia dibuat heran dengan Ken yang langsung berjalan menuju pagar rumah dan membukanya. Dia langsung berlari kecil mengikuti.

"Kok jalan, Kak?"

"Iya, kan cuma dekat."

"Dekat? Emang mau ke rumah teman yang mana, sih?"

Ken tersenyum lebar. "Rumah Mas Hafi."

Caca mematung.

Sial! Dia dikerjain sama kakaknya sendiri!

Di samping Caca, Ken sudah tidak bisa menahan tawa. Dia memang hobi kalau urusan membuat Caca kesal.

"Udah! Sana buruan pergi, mendingan Caca tidur yang katanya ibadah daripada bikin dosa kalau ikut kakak!" ujar Caca sambil mendorong punggung Ken. Lalu, dia berjalan sambil menghentakkan kaki dengan kesal.

Rugi parfum, eyeliner, bedak dan peralatan make up! Arghhhhh.

Sudah jatuh tertimpa tangga, saat Caca belum kembali mood-nya, satu jam kemudian Ken pulang bersama Hafi. Duh, risiko suka sama tetangga, guru ngaji, sahabat kakak itu memang banyak. Ada saja kesempatan untuk menyakiti hati jika kasusnya kisah tak sampai seperti Caca ini. Beruntung dia mengenali suara tidak asing itu saat masih di luar rumah. Jadi, dia sekarang sudah mengunci diri di kamar.

**

"Kakak pergi lagi aja sana! Nggak usah pulang! Caca sebel sama kakak!" teriak Caca sambil memukuli Ken. Tepat setelah dia mendengar Hafi pamit pulang.

"Apaan sih, Dek. Sakit tahu, kamu pikir kamu itu Masha yang pukulannya kayak pijatan?" tanya Ken sambil mengurung kedua tangan Caca ke dalam genggaman.

"Kakak rese, sih! Bohongin Caca! Nggak bilang kalau perginya ke Mas Hafi. Terus pakai acara bawa dia ke sini segala."

"Bohong dari mana? Hafi beneran temen kakak, kan? Terus tadi dia ke sini buat pinjem buku. Begitu lho Dek Caca."

Caca cemberut, sambil meronta minta dilepaskan tangannya.

"Kakak!"

Ken setengah menyeret Caca agar duduk di sofa. "Kamu masih suka Hafi? Cinta monyetmu itu belum selesai juga? Lagian dia udah nikah."

Justru itu masalahnya, karena dia sudah menikah.

"Iya! Dia cinta benerannya Caca, Kak! Bukan cinta monyet."

"Kamu punya cermin?" tanya Ken, mengabaikan penjelasan Caca sebelumnya.

"Punyalah. Mau buat apa?"

"Kamu tahu nggak, Dek? Jodoh itu katanya cerminan diri kita. Kalau kamu kayak gini ya sama aja mimpi di siang hari bisa jadi istri Hafi. Jadi, kamu perbaiki dulu sikap, sifat, sama ibadahmu. Kalau kamu urakan kayak gini ya paling jodohnya juga sama. Logikanya gini, anak masjid kemungkinannya sangat kecil berjodoh dengan wanita yang suka ke klub malam. Kenapa? Karena mereka akan sulit untuk bertemu."

"Ah, kakak mah gitu! Bikin Caca makin nge-drop aja karena ditinggal nikah Mas Hafi."

Ken tersenyum geli. "Lagian kamu, bocah SMA bau kencur mimpi nikah sama Hafi yang udah mapan dan dewasa kayak gitu. Dia mana ngelirik kamu kecuali karena kamu murid ngajinya, Ca."

Oh, sial! Kenapa perkataan Ken seperti makin membuatnya berdarah-darah. Miris dengan nasibnya sendiri.

"Paaaaaa! Kak Ken jahat sama Caca!" teriak Caca mengadukan kekesalan kepada papanya yang ada di ruang keluarga.

"Alken!" tegur Alvin dengan panggilan mengingatkan.

Caca langsung tersenyum senang karena mendapat dukungan.

"Maaaaa! Dek Caca ni dinasihatin nggak mau denger, malah aku disalahin."

"Caca!" tegur Karen yang berasa di tempat sama dengan Alvin.

Ken mengangkat alis, membuat Caca semakin geram. Faktanya, kalau Caca mempunyai suara dari papa, maka dia punya satu suara dari mama. Impas, mengadu tidak akan ada gunanya.

"Arghhhh! Besok Caca mau ke rumah Kak Bila aja! Tinggal di sana sampai lebaran. Caca malas ketemu Kakak," ujar Caca dengan kesal.

"Kenapa harus ke Kak Bila?"

"Kami sama-sama perempuan, Kak Bila udah Caca anggap kakak sendiri. Dia nggak sama kayak Kak Ken, nggak nyebelin."

"Ya udah sana pergi sendiri. Kami besok mau ke rumah Tante Key di Malang sekalian ke tempat Kak Ave. Yakin kamu bisa ke Jogja sendiri?"

Caca kembali manyun, sementara Ken tertawa puas. Di ruangan lain kedua orangtua mereka tersenyum mendengarkan perdebatan keduanya.

Begitulah hubungan antara kakak adik ini. Ketika tidak bertemu rindu, tetapi saat bertemu justru beradu mulut. Sulit untuk dimengerti.

Jodoh itu seperti kita bercermin. Kalau cermin yang kita gunakan itu retak, jodoh pun akan terlihat retak juga.

End

Diary Ramadhan CacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang