5 - Wejangan Om Fakhri

10.2K 1K 35
                                    

Malam ini adalah taraweh kedua. Akhirnya setelah meyakinkan hati, atas saran dari Bila, Caca lebih ringan melangkahkan kaki.

Kalau nanti dapat tempat sampingan lagi, anggap aja dia makhluk tak kasat mata!

Caca tertawa, otaknya sudah jatah tingkat dewa. Ternyata patah hati itu memang sangat tidak baik. Otaknya yang dulu putih bersih, sekarang mulai tercemar, nyaris seperti sungai di ibukota. Ah, mungkin nanti bisa minta di ruqyah, pikirnya ngawur.

"Dek Caca sehat, Dek? Tadi nggak salah makan waktu takjil, kan?" tanya Ken ketika Caca keluar kamar sambil tersenyum sendiri.

Caca langsung manyun. Kakaknya tidak bisa membiarkan dia senang meski pun cuma satu menit.

"Apaan, sih! Caca ngambek sama Kak Ken. Kalau boleh jual orang ni, Caca udah jualin Kak Ken di bukalapak."

Ken langsung tertawa mendengar adiknya merajuk, ternyata masih kesal karena keisengannya tadi siang.

"Yang ada itu kamu yang udah kakak jual duluan. Punya adik satu bawel, manja, cengeng lagi!"

"Aku nggak cengeng."

"Sekarang aja bilang gitu. Dulu, ditinggal pergi bentar aja udah nangis kejer."

"Namanya juga masih kecil," protes Caca tidak terima. Namanya anak kecil, menangis itu wajar.

"Sekarang juga masih kecil!"

Ken menjawab sambil menarik Caca mendekat. Tanpa dosa, dia meletakkan kepala Caca tepat di ketiak. Caca langsung meronta, tetapi tidak bisa lepas karena kalah kuat.

"Ini masih kecil, bisa diumpetin di sini."

"ALKEN PRA__"

Teriakan Caca terhenti karena Ken langsung membungkam mulutnya. Kalimat protes yang hendak disampaikan terpaksa berhenti di ujung lidah.

"Siapa, Dek Caca? Alken siapa? Siapa yang namanya Alken? Kakaknya ilang ke mana?"

Caca langsung diam, tidak lagi bergerak minta dibebaskan. Tuh, kan, beginilah kalau dia sudah kelewatan kesal dengan Ken. Sopan santunnya akan hilang dan dia tahu benar kalau Ken tidak suka jika Caca sudah memanggilnya tanpa embel-embel 'Kak'. Namanya juga kelepasan, dia pasrah jika Ken akan ceramah panjang.

Suara adzan yang berkumandang menyelamatkan Caca kali ini. Ken langsung melepaskannya dan duduk tenang. Hal yang sama diikuti Caca. Satu hal yang pasti, mereka sedang perang laser mata. Saat suara adzan berhenti, Ken baru akan membuka mulut ketika suara lain menginterupsi.

"Berantemnya bersambung, kalian buruan ambil wudhu. Nanti telat lho," tegur Alvin yang sudah memakai baju koko dengan sajadah di tangan. Di sampingnya ada Karen yang sudah siap dengan mukena di kepala.

"Ah, Papa gantengnya Caca emang paling keren! Tungguin bentar, Pa, Ma! Caca nggak mau jalan sama dia!" ujar Caca sambil menunjuk Ken. Ken menggelengkan kepala geli dengan sikap adiknya, biasanya saja ke mana-mana juga udah ikut seperti ekor yang tidak pernah lepas.

"Tinggal aja, Pa! Biar jalan sendiri," Ken berkata sambil berjalan santai menuju kamar untuk berganti pakaian.

Caca menghela napas, orangtuanya sudah tidak terlihat ketika dia keluar rumah. Nasib rumah di ujung tuh begini, tidak ada yang bisa diajak pergi bersama. Belum lagi dia harus melewati satu petak rumah kosong. Horor! Pulang setiap dari mushola saja dia minta diantar atau paling jeleknya minta dijemput. Anak papa!

Baiklah, sepertinya hari ini dia harus mengibarkan bendera putih kepada Ken. Lebih baik mengalah daripada berangkat sendiri. Begitu Ken keluar rumah dan akan mengunci pintu, Caca langsung memasang senyum lebar. Ken berdecak, sudah sangat hafal jika Caca ada maunya. Namun bukan Ken namanya jika berhenti iseng, dia langsung berlari kabur, membuat Caca berteriak heboh sambil mengejarnya.

Diary Ramadhan CacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang