8 - Perahu Lagi!

8.6K 947 44
                                    

Caca menulis nilai B pada kartu evaluasi milik Satria. Anak kelas tiga yang baru selesai dia simak untuk membaca iqra jilid enam. Waktu menunjukkan jam lima sore dan tersisa satu lembar lagi.

Dinda Fitriyani

Ah, sepertinya dia memang baru berjodoh dengan Dinda. Sejak kemarin dapat kartunya terus.

"Dinda!" panggilnya sambil mencari-cari keberadaan Dinda.

Anaknya ada di pojok ikut mengelilingi Sofi yang hari ini kebagian jadwal bercerita untuk anak-anak yang menunggu antrian mengaji. Begitu mendengar namanya dipanggil, Dinda langsung berjalan ke arah Caca sambil membawa iqra berwarna merah. Dia langsung duduk bersila dan membaca basmalah dengan lancar. Namun, setelah itu, dia langsung diam.

Caca nyaris terbahak, dia langsung membuka lembar sama seperti kemarin lusa.

"Nah, kemarin Dinda baca ini. Sekarang dibaca lagi, ya? Kak Caca yang nunjuk, Dinda tinggal baca."

Dinda mengangguk-angguk, terlihat serius.

Wah, pasti udah jago, nih!

"Ini?"

"Tongkat!"

Harapan palsu.

"Kalau kayak tongkat dibacanya kemarin apa, Din?"

"A."

Caca tersenyum, harapannya kembali tumbuh. "Pintar, kalau ini?"

"Perahu!"

"Kalau perahu kemarin dibacanya apa?"

Dinda bungkam, tampak seperti sedang berpikir keras. Caca pun sama bungkamnya, dia sedang harap-harap cemas. Sampai akhirnya Dinda menggeleng, menyerah untuk mengingat. Caca tersenyum dipaksakan. Namanya juga masih anak-anak, mungkin dia dulu juga seperti ini, pikirnya positif.

"Gambar perahu dibaca 'Ba'. Dibaca apa?"

"Ba."

"Betul. Diulang dari awal, ya."

Caca menggunakan pulpen menunjuk ke alif yang ada di depan.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lima detik.

"Tongkat dibaca apa tadi, Din?" tanya Caca ketika Dinda belum membuka mulut.

Dinda menggeleng pelan. Caca mulai pasrah.

"Tongkat dibaca 'A'. Apa coba diulang?"

"A."

"Betul. Sekarang baca yang kakak tunjuk, ya."

Caca pun menunjuk pada huruf yang sama tiga kali.

"A-a-a!" Dinda berkata lancar, membuat Caca tersenyum senang dan mengalihkan pada huruf berikutnya.

"Perahu."

Lagi?

Caca terpaksa kembali menulis kata ulang pada kartu evaluasi. Dinda masih belum mampu menghafal kedua huruf tersebut dan harus diingatkan berkali-kali. Ingat satu, lalu lupa yang lain. Minimal sudah lebih baik dari kemarin, dia bisa menyebut tongkat dan perahu daripada diam saja. Nanti juga terbiasa dan akan hafal dengan sendirinya, yakinnya dalam hati.

Selesai menyimak Dinda, Caca berjalan keluar dan melihat Sofi yang sedang serius menghitung takjil.

"Kenapa, Sof?" tanyanya heran.

"Ca, coba kamu hitungin lagi deh di dalam ada berapa orang?" perintah Sofi, mengabaikan pertanyaan yang ada.

Caca langsung membuka pintu dan mulai menghitung.

"Ada empat puluh tiga di dalam."

"Empat lima sama kita, ya?"

"Iya."

Sofi langsung terdiam mendengar jawaban Caca.

"Kenapa? Kurang?" tebak Caca.

"Iya, biasa kan buat empat puluh udah ada sisa. Ini tumben kurang. Gimana, ya? Mau minta nambah nggak enak, ya kalau di rumah Bu Romlan masih ada serep. Kalau nggak kan kasihan."

"Kurang berapa memangnya?"

"Lima."

Caca terdiam, setuju atas pendapat Sofi. Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Katanya, kalau pintu satu tertutup masih ada pintu yang lain. Ini pun pasti sama. Ahaa, dia menemukan solusinya.

"Kita yang penting buka aja, Sof! Nanti biar aku bilangin sama yang lain. Pas kan kita yang ngajar hari ini berlima, jadi biar anak-anak aja yang makan. Kita bisa buka di rumah abis beres di sini."

"Nggak papa? Yang lain setuju nggak?"

Caca tertawa mendengar pertanyaan Sofi. "InsyaAllah setuju, lagian kita kan ke mushola bukan buat nyari takjil, tapi berbagi ilmu."

Sofi pun tersenyum, benar kata Caca. Seharusnya takjil bukanlah masalah di sini, terutama buat anak menjelang dewasa seperti mereka. Kecuali jika ada anak yang tidak dapat, baru dia boleh pusing.

"Siplah!" ujarnya senang.

Begitu sampai rumah dan mengucapkan salam, Caca langsung berjalan cepat menuju dapur. Hal itu membuat Karen yang sedang mencuci piring heran. Terlebih lagi ketika Caca mengambil nasi.

"Tumben makan lagi, Dek?"

"Takjilnya kurang, Ma. Jadi tadi nggak kebagian. Ini udah laper," jawab Caca dengan tangan sibuk memilih lauk.

"Wihh, emang jodoh ini mah. Kebetulan ada masakan favorit Caca. Pepes ikan, yummmiiii!" tambah Caca semangat. Dia mengambil piring lagi untuk meletakkan pepes agar mudah menikmatinya.

"Makanan kesukaan sih, iya. Tapi, jangan lupa berhenti sebelum kenyang. Nanti kamu nggak bisa berdiri buat taraweh," kata Karen sambil meninggalkan dapur.

"Siap, Ma!"

**

"Caca mana, Pa, Ma? Kok nggak kelihatan?" tanya Ken ketika bersiap ke mushola untuk taraweh.

"Iya, tumben. Coba kamu lihat di kamar, jangan-jangan ketiduran," jawab Alvin menebak.

"DEK! KAMU NGGAK KE MUSHOLA?" teriak Ken yang langsung mendapat pukulan ringan dari Alvin dengan peci.

"Lihat, Ken! Bukan teriak," tegur Alvin mengingatkan.

"Males naiknya, Pa! Aku habis dari atas tadi," protes Ken dengan sedikit malas.

Karen yang dari tadi diam akhirnya membuka mulut, ikut menegur. "Ken."

Ken akhirnya pasrah dan naik ke lantai dua dengan malas. Dia langsung membuka pintu kamar Caca tanpa mengetuk.

"Kamu nggak pergi, Dek?"

"Caca tadi makannya khilaf, Kak. Sekarang kekenyangan, nanti taraweh di rumah aja. " ujar Caca sambil duduk bersandar dengan tangan memegang perut.

Ken langsung menggelengkan kepala tidak percaya. Alasan yang sangat tidak keren.

"Oke, kalau gitu tunggu ceramah dari Papa, ya!" kata Ken sambil menutup pintu. Caca langsung manyun.

"Gimana?" tanya Alvin saat Ken masih sibuk menuruni tangga.

"Katanya mau taraweh di rumah, kekenyangan."

Alvin langsung berdecak. "Itulah kenapa Nabi mengajarkan kita untuk berhenti makan sebelum kenyang. Soal__"

Ken dengan cepat langsung meletakkan lima jari di depan papanya. "Oke, bersambung ceramahnya, Pa! Nanti dilanjut habis taraweh buat Caca aja. Sekarang kita berangkat, nunggu Papa kelar ceramahnya keburu selesai jamaah."

Karen langsung terkekeh. Benar kata Ken, kalau urusan memberi ceramah untuk anak-anak, Alvin memang ahlinya. Waktu satu jam juga dianggap kurang.

Apapun itu, jika berlebihan akan menjadi kurang baik.

♥♡♥

Ini sehari update 2x buat ganti kemarin lusa yang absen, ya ^^
Semoga suka :*

Diary Ramadhan CacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang