Usaha

893 29 0
                                    

Tok! Tok! Tok!

Duh itu siapa ya? Masih pagi juga. Apalagi ini hari minggu. Ganggu aja deh ya.

Dengan langkah malas aku pun membuka pintu. And look at! Bajingan mana yang berani mengganggu aku pagi ini?

"Ngapain lo disini?"tanya gua datar.

"Minta maaf? Btw,gue gak disuruh masuk?"

Anak itu malah balik bertanya. Aku menghela napas panjang. Gak tau diri. Dasar. Kurang apa bogem mentah kemarinan,huh?

Dengan langkah cepat aku menutup pintu dan menghasilkan bunyi yang lumayan keras.

"Siapa yang datang?"tanya Mama saat aku kembali ke meja makan dan memakan sereal-ku yang tadi sempat kutinggalkan.

"Manusia gak penting yang jelas-jelas pintu di rumah ini aja udah nolak."

Mama dan Papa menghentikan aktivitas sarapannya dan melirik kearahku dengan tatapan yang mengartikan 'maksudnya?'.

"Faqih Isyalvin. Manusia yang udah bikin aku lupa ingatan beberapa waktu lalu,Ma. Hahahaha."

"Buka pintunya. Dengar apa yang mau dia bicarakan. Buat dirimu lebih bersinar didepannya. Dan buatlah ia malu karena pernah menyakitimu,nak,"nasihat Papa.

Aku diam.

Dengan satu senyuman. Aku mulai berdiri mantap menuju pintu. Memasang senyum semanis mungkin untuk Faqih.

Well,aku akan bersikap baik. Bersikap seakan aku menyukainya dan seakan aku percaya semua kata katanya. Tapi jangan harap. Apapun yang ia bicarakan nanti,tidak akan pernah aku dengarkan apalagi sampai memikirkannya.

"Hai,"sapanya saat aku membukakan pintu untuk nya.

Bersikaplah manis,Fira. Untuk kali ini saja.

"Hai,masuk aja ke dalam."

Nih orang kenapa ga pulang sih. Kirain udah di tutupin pintu dianya marah balik. Tapi ternyata salah besar. Dia masih aja setia di depan pintu. Duh,ngobrol ae sono ama pintu!

"Mau minum apa kak?"tanya ku berusaha sopan menahan amarah yang sudah meletup letup.

"Teh boleh? Atau jus mungkin? Terserah kamu,"jawabnya manis.

Ingat Fira! Kau tidak boleh jatuh dalam pesonanya. Dia itu telah mencelakaimu. Ya walaupun mungkin dia tak berniat seperti itu. Tapi tetap saja!

"Okey,tunggu sini kak. Gue mau ke dalam."

Aku berjalan menuju dapur. Huh rasanya aku ingin lama-lama di dapur dan tidak ingin kembali sebelum itu curut pulang. Tapi... Kepo juga sih sama usahanya dia.

"Hm... Jadi ada sesuatu yang bakal kita omongin?"tanyaku membuka obrolan.

Faqih mengangguk.

"Kalau ga ada. Ga mungkin kan gue kesini? Hehe,"jawabnya bertele-tele.

"Cepetan deh. Waktu gue ga banyak buat orang kayak lo."

"Jadi gua ga sengaja waktu itu. Gue kira lo cowok taunya ternyata itu lo,"jelasnya.

"Oh ya? Terus kenapa kalo gua cowok? Tetep aja kan niat awal lu udah jahat. Jangan karena ini gua temen lu jadinya lu takut buat nyakitin gua. Gitu? Terus gimana nasib mereka yang bukan temen lu? Bakal lu siksa? Gila ga nyangka gua."

Aku diam. Dia diam. Kita sama-sama tenggelam dalam keheningan.

"Ga gitu juga,kan--"

"Ga gitu gimana? Kan tadi lu yang bilang astaga. Jangan jangan lu lupa ya?"potongku sebelum dia melanjutkan ucapannya.

"Hhh... Ribet,"gumamnya yang masih bisa ku dengar.

"Yaudah kalo ribet gausah ngomong sama gua. Pulang aja sih sana,"ucapku dan mendorongnya kepintu.

Lalu menutup pintunya.

Sadis ya? Tapi biarlah. Akhirnya ada cara agar si curut itu pulang. Sebenarnya aku masih mendengar suara diluar sana. Dia mengetuk-ngetuk pintu dan mengucapkan namaku. Tapi daripada aku terus terusan mendengar suara astral begitu. Lebih baik aku masuk ke dalam.

***
Bersambung.

Cewek Tomboy vs Cowok PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang