1 - The News

61.5K 1.7K 10
                                    

Sore itu cahaya temaram menandakan bahwa sang tata surya pamit tuk menghilang. Perempuan muda yang baru saja pulang ke rumahnya, merenggangkan kaki di sofa. Tubuhnya terasa lelah sekali setelah seharian menghabiskan waktu bersama teman-temannya bermain di dunia fantasi. Sania berpikir bahwa ia tak boleh menyia-nyiakan waktu mudanya.

Apalagi orang tuanya tidak pernah mendesaknya untuk mencari pendamping hidup meskipun usianya sudah seperempat abad. Dirinya merasa bebas tanpa tuntutan.

Seminggu yang lalu Sania baru saja mengirim lamaran pekerjaan ke sebuah perusahaan majalah ternama di Indonesia. Tapi sampai sekarang Sania belum mendapatkan jawaban. Sudah tiga bulan lamanya ia menganggur setelah ia dipecat dari pekerjaan sebelumnya dikarenakan sering terlambat. Sania dan keluarganya paham betul dengan kebiasaan buruknya.

Sania mulai cemas, ia merasa seperti sedang mengalami crisis life quarter, di mana sebuah periode kehidupan membuat kita menjadi ragu, cemas, bingung dengan tujuan hidup. Padahal kalau Sania perhatikan, sebagian temannya sudah bahagia dengan pekerjaan yang mereka jalani. Sebagian lagi, teman-temannya sudah memiliki kehidupan baru dengan pasangan mereka

"San! bantu Ibu di dapur tuh. Bantuin masak!" Seru kakaknya, Seno. Seno memilih duduk di samping Sania.

"Capek kak, baru pulang nih..." Ujar Sania lemas. "lagian juga udah ada Sherin di dapur yang bantuin Ibu masak."

"Kamu tuh jadi cewek males banget, gimana mau dapet pacar." Ejek Seno kepada adiknya.

Sania hanya bisa membalas, "Kak Seno perlu aku ambilin cermin? supaya Kak Seno ngaca, kalau Kak Seno juga belom dapet jodoh wekk."

Sebelum Seno membalas adiknya, Sania sudah beranjak pergi terlebih dahulu. Ia tahu kalau Kakaknya akan menarik rambut panjangnya. Di dapur sudah ada ibu dan adiknya, Sherin, yang sedang menyiapkan makan malam. Tangan Sania yang cepat dapat mengacak rambut adik perempuannya. Sherin menatapnya tak suka.

"Untung ibu masih punya anak perempuan seperti aku, yang bisa bantuin ibu masak, beberes rumah, emangnya Kak Sania yang bisanya cuma makan doang!" Sania tak kaget dengan ucapan adiknya itu. Menurutnya pertikaian seperti ini sudah terbiasa ia lakukan dengan saudaranya itu.

"Asalkan kamu tau ya aku tuh sibuk, Rin. Jadi yaa mau gimana lagi.." Ucap Sania sambil mengambil sepotong tempe goreng yang sudah matang di atas meja makan.

"Huss! Cuci tangan dulu, Sania! Kamu kan belum mandi." Sang ibu, Mauren, tak ada lelahnya menghadapi anak perempuan tertuanya itu.

Sang ayah, Tio, yang sedari tadi memainkan poselnya kini menatap Sania, "San, kamu udah dapat jawaban belum dari perusahaan itu?"

"Belum, Yah." Sania duduk di salah satu bangku dengan lemas.

"Coba kirim lamaran ke kantor kakakmu, Seno, mungkin akan ada jawaban." Tio mencoba memberi saran. Namun, Sania hanya mengangkat bahu, "Kantornya bukan selera aku, Yah. Apalagi kalau aku diterima, aku akan ditempatin di kantor cabang yang ada di luar Jakarta."

Seketika notifikasi dari ponsel Sania berdenting menandakan ada sebuah e-mail masuk. Sania membaca pesan tersebut dengan teliti dan berulang-ulang tak percaya bahwa ia baru saja mendapatkan jawaban atas lamaran pekerjaannya.

Mood Sania langsung berubah seratus delapan puluh derajat karena ia resmi telah diterima di perusahaan majalah ternama di negeri ini. Keluarganya yang melihat perubahan sikap dibuat penasaran olehnya.

"Ada apa, sih?" Seno yang ikut penasaran pun masuk ke ruang dapur.

"Aku baru aja dapat panggilan kerja, besok aku udah boleh masuk ngantor, yeayy!!" Perempuan itu mengguncang tubuh kakaknya, Seno. Bagaimana tidak, Sania senang sekali sekaligus semangat untuk melakukan pekerjaan keduanya ini. Semuanya mengangguk-angguk melihat kelakuan Sania yang masih terlihat seperti bocah.

"Bagus, dong. Jadi kan Kak Seno gak perlu nambahin uang belanja skincare kamu lagi." Seno menahan tawanya saat melirik wajah Sania yang ditekuk.

"Tapi ingat, San. Besok adalah hari pertama kamu masuk bekerja. Jangan sampai kebiasaan buruk kamu terulang terus. Bangun pagi, biar gak telat. Padahal perempuan tapi bangun pagi aja susah sekali." Sania hanya menyengir dan mengeluarkan kedua jarinya memebentuk tanda peace saat mendengar nasihat ayah.

Tio memang selalu yang terbaik dalam memimpin keluarga. Sifatnya selalu tenang dan bijaksana. Jarang sekali ia marah pada anak-anaknya. Dulu ketika Sania berusia lima tahun dan Seno berumur tujuh tahun. Mereka sering sekali berebut ayahnya saat menjelang tidur. Karena sebagai ayah, Tio, akan memberikan mereka sebuah dongeng karangan dia sendiri.

Sania dan Seno berbaring berada di antara ayah. Ayah mengusap rambut kedua anaknya agar mereka cepat tertidur.

"Pada suatu hari ada nenek sama kakek. Punya anak. Anaknya disekolahin. Pas di sekolah. Gurunya bercerita, pada suatu hari ada nenek sama kakek. Punya anak. Anaknya disekolahin.." Seperti itu sampai berulang-ulang. Kedua dahi mereka saling berkerut. Cerita apa sih?

"Ayah, kok ceritanya diulang-ulang terus sih?" Seno kecil mulai berkomentar. Sania kecil hanya bisa menguap mulai mengantuk.

"Habis, ayah gak tau lagi mau cerita apa. Hehe.."

Walaupun begitu masa kecil mereka sangat menyenangkan. Apalagi lima tahun kemudian, Mauren melahirkan anak ketiganya, Sherin. Tio, Seno, dan Sania harus menunggu wanita itu di rumah sakit. Sekaligus menunggu manusia baru lahir ke dunia ini. 

Apply For LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang