Gibran mengantar Sania pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka bingung untuk memulai percakapan. Gibran terus fokus memandangi jalan yang ada di depan. Sekali dua kali Sania melirik ke arah Gibran. Rasanya mulutnya sudah gatal ingin bertanya tentang drama tadi.
"Pak, tadi kenapa Bapak harus berbohong?" Sania bertanya dengan suara pelan. Takut akan tatapannya yang entahlah.
Gibran hanya menghembuskan napas.
"Dulu saya dan Vanessa teman kuliah. Kami dapat dikatakan sangat dekat. Sampai saya tahu kalau Vanessa menyukai saya. Tapi saya menolaknya karena saya hanya bisa menganggap dia sebagai teman saja. Tidak lebih. Jadi kamu paham kan maksud saya?" Sania hanya menggeleng pelan. Tetap tidak mengerti.
Jangan kasih kode gitu dong, pak!
"Ya, sudahlah. Saya juga kepepet ngomong ke dia kalau kamu pacar saya. Biar dia tidak mengganggu saya lagi." Sania hanya ber-O ria. Ia pikir Gibran akan menganggap dirinya sebagai pacar beneran. Tanpa Sania sadari, ia tersenyum mendengarnya.
Sania melihat kalau mobil Gibran sudah memasuki komplek rumahnya. "Berhenti di sini aja, Pak. Saya mau turun di sini. Lagipula rumah saya sudah dekat kok." Ujarnya sopan. Namun, Gibran tetap tidak berhenti. Ia terus melajukan mobilnya.
"Rumah kamu yang mana? Biar saya turunin kamu di depan rumah. Sekarang sudah malam, nanti kalau ada orang jahat saya juga yang harus bertanggung jawab ke orang tua kamu." Ujar Gibran yang masih fokus terhadap jalan.
Yaudah terserah Pak bos aja deh. Saya mah ok ok aja. Suara hati Sania bahagia.
"Rumah saya yang cat putih itu, Pak." Sania menunjuk rumahnya. Tak lama Gibran memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Sania.
"Makasih ya, Pak, sudah mengantarkan saya pulang." Gibran hanya mengangguk. Kemudian melihat ke arah perempuan yang ada di sampingnya
"Jangan lupa untuk mengerjakan pekerjaan kamu yang saya suruh tadi pagi. Besok sudah harus selesai." Sania yang lupa akan hal itu hanya tersenyum lebar.
Sania berjalan masuk ke dalam rumah setelah mobil Gibran sudah menghilang. Rasanya badannya pegal-pegal semua. Sungguh hari yang melelahkan. Sania melihat ibu dan ayahnya sedang menonton televisi. Seno sedang berkutat dengan laptopnya. Dan Sherin sedang asyik bermain handphone.
Anak itu! Saatnya pembalasan!
Karena Sherin baru saja pulang dari acara perkemahan dari sekolahnya, baru hari ini Sania dapat bertemu dengannya.
Sania langsung mengambil handphone Sherin dari tangannya. Ia angkat handphonenya tinggi-tinggi agar Sherin tak bisa meraihnya. Sherin bersusah payah meronta mengambilnya.
"Kak Sania apaan sih? Balikin gak hp aku!" Tangannya terus mencoba mengambil dari genggaman Sania.
"Kamu harus jawab yang jujur sama Kakak." Wajah gadis itu terlihat heran. tidak mengerti.
"Emang ada apa, sih?" Ah, dia berlagak tidak tahu ya.
"Kamu kan yang nulis 'untuk bosku yang tercinta' di power point kakak?" Sherin mulai mengelak.
"Eee.. enggak." Sherin menggeleng.
"Kalau kamu gak jawab yang jujur Kakak doain kamu gak lulus SMA." Sherin langsung berkata jujur setelah kakanya membentak seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apply For Love
General FictionSania baru saja mendapatkan pekerjaan keduanya di sebuah perusahaan majalah nasional. Ia bertemu dengan bosnya, Gibran, yang terbilang menyebalkan dan angkuh. Sehingga Sania sangat tidak menyukai GIbran. Sampai suatu hari, Gibran meminta Sania untuk...