"Tolong kamu edit beberapa artikel yang udah dipublish di web!" Perintah Gibran pada Sania, kemudian ia menghilang dari bilik kerja perempuan itu.
Sania tak percaya mengapa bosnya itu menjadi sering menyuruhnya melakukan pekerjaan tambahan. Mengingat tugas terakhirnya sudah ia selesaikan dan berikan kepada pria itu. Sania juga bingung kenapa bosnya itu mengatakan secara langsung kepada dirinya tentang pekerjaan. Kenapa bukan Eza saja yang mengatakannya. Setidaknya Eza lebih baik dalam penyampaian tugas. Tidak tiba-tiba muncul di meja Sania seperti yang dilakukan Gibran tadi.
Sania memperhatikan teman-temannya yang lain. Mereka bekerja dengan santai dan tidak dikejar deadline. Tapi berbeda dengan dirinya. Sania seperti terus diberi pekerjaan baru oleh bos besar.
Eza saja tidak sesibuk dirinya. Sepertinya ada yang salah di perusahaan ini. Ia melirik Adel yang sedang bermain ponsel. WHAT? Dia tidak bekerja? Kerjaannya hanya menghias kukunya dengan berbagai warna kutek.
"Bel, kayaknya ada yang salah deh" Aku menengok ke bilik meja kerja Bella. Bella sedang fokus membaca sebuah artikel.
"Salah apa?" Tanya Bella yang masih menatap layar monitornya.
"Kok Pak Gibran ngasih gue kerjaan terus, sih? kan gue capek. Sehari gue bisa dapat tiga atau empat tugas. Parah banget." Sania menyandarkan tubuhnya di punggung bangku.
"Namanya juga lo kerja di perusahaan besar. Ya, wajarlah tugasnya banyak. Sebanding dengan hasil yang lo dapat sebulannya." Bella mengatakannya dengan santai namun nadanya terdengar lesu. Kemudian wanita itu menengok ke arahku.
Mataku membulat seketika. Wajah Bella berbeda dengan hari-hari kemarin. Matanya sedikit bengkak. Raut wajahnya juga berantakan.
"Bel, lo kenapa?" Sania mennyetuh pundak wanita itu. Tangannya menyentuh kening Bella. Panas.
"Lo sakit? Kenapa masih masuk?" Bella menggeleng. Ia masih bersi keras untuk tetap bekerja. Ia takut dipecat oleh Gibran.
"Lo jangan menyakiti diri lo sendiri. Mau gue antar ke rumah sakit atau puskesmas dekat sini?" Bella tetap menolak dengan ajakan Sania.
Bella kemudian bangkit dari duduknya. Berniat mengambil minum. Tapi sebelum sampai ia sudah pingsan di tempat. Orang-orang yang ada semua panik dengan keadaan Bella yang tiba-tiba pingsan. Sania dan Fariz akhirnya izin pada Eza untuk membawa Bella ke rumah sakit.
Wajah Bella sangat pucat. Sepertinya ia bekerja keras sekali selama ini, sehingga ia tidak peduli dengan jam makannya. Sania menunggu di rumah sakit sampai Bella terbangun. Fariz memutuskan untuk kembali ke kantor.
***
Kringgg.. kringg...
Ponsel Sania tiba-tiba berdering. Matanya yang tadinya terpejam karena tertidur langsung terbangun kaget. Jam berapa sekarang?
Sania merogoh tasnya untuk mencari ponsel. Ia tatap layar ponselnya bingung. Nomor tak dikenal menelponnya. Tapi dari display picturenya, sepertinya Sania tahu siapa orang itu. Apa mungkin bosnya yang menelpon? Tidak mungkin! Untuk apa Gibran menelponnya? Oh tidak! Sania ingat bahwa ia belum melakukan pekerjaan yang bosnya suruh! Bagaimana ini?
Gigi Sania sudah gemetaran. Jawab tidak ya. Tapi, kalau tidak dijawab, Gibran akan mengomeli dirinya. Tapi, kalau dijawab telponnya, Sania juga akan dapat omelannya. Serba salah.
Semoga Gibran bisa memahami keadaan dirinya saat ini. Sania memberanikan diri untuk menjawab telponnya.
"Kamu dimana?" Sania menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara Gibran terdengar tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apply For Love
General FictionSania baru saja mendapatkan pekerjaan keduanya di sebuah perusahaan majalah nasional. Ia bertemu dengan bosnya, Gibran, yang terbilang menyebalkan dan angkuh. Sehingga Sania sangat tidak menyukai GIbran. Sampai suatu hari, Gibran meminta Sania untuk...