Bella menatap Sania sedih. Tangannya terus mengusap bahu temannya itu. Rekan-rekan kerjanya yang lain pun mencoba menyemangati Sania. Mereka menatap Sania iba. Sungguh hari yang sial bagi Sania. Ia tak pernah membayangkan kalau hidupnya akan bertemu dengan bos yang katanya terdengar galak meskipun sebelumnya ia belum pernah bertemu. Sepertinya ia memang terlahir sebagai manusia yang mendapat kesialan.
"Tetap semangat dong, San. Mungkin aja dia tertarik dengan tulisan yang ada di ppt tadi hahaha." Adel, salah satu rekannya tertawa.
Sania hanya menatap temannya lunglai.
Kini ia berjalan ke arah ruangan bosnya. Di depan ruangan bosnya itu ada seseorang wanita cantik yang sedang bermake up. Sania mencoba mengingat wajah wanita itu, sepertinya dia ingat.
Bukankah dia wanita yang ada di lift ? wanita yang berwajah barbie itu?
Sepertinya wanita barbie itu ialah sekretaris si bos. Pintar sekali bosnya itu memilih wanita cantik untuk dijadikan sekretaris, pikir Sania.
"Lo yang namanya Sania?" Nada suara wanita itu terdengar tidak ramah.
"Iya." Jawab Sania santai. Wanita barbie itu hendak membuka pintu, namun gerakannya kalah cepat dengan gerakan Sania.
Sania dapat merasakan rasa digin yang menjalar saat ia memegang gagang pintu ruangan bosnya. Membuat kulitnya langsung merinding.
Perempuan itu masuk secara perlahan. Dilihatnya ruangan Gibran yang sangat maskulin. Aroma parfum seorang laki-laki tercium oleh penciuman Sania. Tetapi Sania sama sekali tidak melihat keberadaan bosnya itu. Ruangan kerjanya kosong. Ia putar kepalanya ke sana ke sini. Nihil. Pria itu tidak ada di sini.
"Ehem..." Suara baritonnya membuat Sania berputar balik.
"Kamu gak sopan, ya. Tiba-tiba masuk ke dalam ruangan saya. Padahal belum diizinkan masuk." Tanpa sengaja mata Sania bertemu dengan mata sang bos besar. Tatapannya dingin dan tajam. Seperti ingin menenggelamkan tubuh Sania ke dasar jurang.
Gibran berjalan melewati Sania. Pria itu menyandarkan beban tubuhnya di meja kerjanya yang terlihat rapi. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Gayanya sok keren banget sih, Pak. Situ ok? Ok bangettt. Pikir Sania sambil menahan tawa.
"Kenapa kamu tertawa? Kamu karyawan yang tadi di lift, kan?" Gibran mulai membuka pembicaraan.
Ups, dia ketahuan. Sania hanya bisa mengangguk. Matanya tak berani melihat pria itu.
"Saya tidak percaya ada karyawan baru tapi dia telat. Saya tidak suka..."
"Maaf Pak, saya tidak akan mengulanginya lagi." Mohon Sania. Ia tidak mau dipecat dari pekerjaan ini.
"Setelah saya melihat power point tadi.. saya terkesan dengan cara kamu mendesign ppt itu. Sungguh menarik." Wajah Sania berubah heran. Bukankah pria itu mau mengomeli dirinya yang ceroboh? Kenapa dia mendapatkan pujian?
Sungguh aneh pria ini.
"Kecuali tulisan yang menyatakan kalau kamu menyukai saya." Alis Sania tiba-tiba saling bertaut. Dia pikir Gibran takkan mengomentari tulisan itu.
"Itu bukan saya yang nulis kok, Pak." Ucap Sania membela diri. Ia tidak mau dianggap sebagai penyuka bos sendiri.
"Saya tidak peduli." Gibran mengambil tumpukan berkas lalu menyerahkannya pada Sania. Tanganya menahan beban karena berkas yang diberikan pada dirinya cukup berat.
Wangi parfum pria itu sungguh menyengat di hidung Sania. Wanginya sangat enak dihirup. Pasti dia memakai parfum mahal. Sania yakin perempuan manapun pasti tergoda dengannya. Kecuali dirinya, karena ia tak mungkin menyukai pria menyebalkan seperti Gibran.
"Tolong kamu buat power point dari lima proposal ini untuk diajukan di beberapa rapat kemudian. Deadlinenya cuma lima hari. Hari Senin sudah harus selesai lalu kasih ke saya." Gibran kembali duduk di balik mejanya. Dan menyuruh Sania untuk kembali bekerja.
Ternyata benar apa yang dikatakan para karyawan yang ada di sini, Gibran sangat menyebalkan. Dia memberikan pekerjaan yang tidak sedikit.
Aku kan juga butuh liburan. Sania hanya dapat menghela napas. Untung saja dirinya tidak dipecat oleh bosnya itu.
***
Siangnya, waktu istirahat bagi kantor Sania. Dirinya dan teman-teman yang satu divisi dengannya pergi ke sebuah cafe di dekat kantor. Hari ini langit terlihat cerah dan panas. Beni, salah satu teman Sania yang sedikit feminin hanya mengibas-ngibas tangannya karena kepanasan.
"Aduh, cyinn. Panas banget ya hari ini. Bikin kulit gue tambah item aja deh." Mereka yang mendengar perkataan Beni hanya tertawa melihat tingkah lakunya yang lebay.
"Makanya pakai sunblock cyinn. Biar kulit ente tambah gosong." Sindir Fariz, karyawan Famouse yang memiliki wajah keturunan Arab.
"Udah, ah. Lebih baik kita pesan yang segar-segar." Bella mulai menetukan menu makanannya.
Sania merasakan teman-temannya sangat memberikan energi positif baginya. Mereka saling mendukung satu sama lain. Tidak ada perbedaan ras dan budaya di antara mereka. Beni orang betawi asli tapi karena ia memiliki sifat keperempuanan membuat dirinya menjadi bahan tertawaan teman-teman. Ada Fariz cowok blasteran arab yang suka menjahili karyawan lainnya. Juga ada Adel yang centil dan kreatif. Dan masih ada Riska dan Satria.
"Tadi lo diapain sama Pak Gibran, San?" Adel menatap Sania dengan penasaran. Sania melirik semua temannya yang ikut menunggu jawaban darinya.
"Pak Gibran ngasih tambahan pekerjaan ke gue. Dan itu gak sedikit. Banyak. Kayaknya minggu ini gue akan berkutik dengan tugas yang menumpuk deh. Terus katanya gue musti memberikan hasil pekerjaan gue itu langsung ke dia." Jawab Sania sambil menyuap nasi gorengnya.
"Hah? kenapa lo gak kasih ke Pak Eza aja hasil kerjaan lo? Aneh.." Ujar Adel bingung.
Sania hanya mengangkat bahu tak mengerti.
"Ukhti harus sabar ya, San." Ujar Fariz mendukungnya.
"Bos kita itu emang perfect, Ya. Sangat professional. Beni suka deh sama dia." Beni mengerjapkan matanya seperti orang kelilipan. Mereka semua melihatnya dengan tatapan ngeri. Mengapa cowok ini sangat mendambakan bosnya? Walaupun begitu mereka masih menganggap candaan Beni yang tidak masuk akal. Sania dan teman-temannya hanya bisa tertawa melihat tingkah laku Beni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apply For Love
General FictionSania baru saja mendapatkan pekerjaan keduanya di sebuah perusahaan majalah nasional. Ia bertemu dengan bosnya, Gibran, yang terbilang menyebalkan dan angkuh. Sehingga Sania sangat tidak menyukai GIbran. Sampai suatu hari, Gibran meminta Sania untuk...