part 3

4.3K 120 0
                                    

           Semuanya telah berkumpul dan duduk mengitari api unggun yang tengah menari-nari indah. Semua siap untuk bersuka cita menikmati suasana malam hari di pegunungan. Alunan musik dari petikan gitar mengiringi irama lagu yang di dendangkan bersama-sama. walau suasana semakin dingin, semua itu tidak melunturkan semangat yang terdengar penuh dengan tawa gembira. Hanya di selimuti dengan jaket tebal dan minuman hangat mereka tetap menikmati malam.

            Suasana yang semakin gelap dan mulai dingin pun terasa telah menusuk hingga tulang, beberapa dari mereka yang sudah tak kuat secara perlahan-lahan meninggalkan api unggun yang mulai meredup. Brina, Rania dan Mirela masih duduk pada batang pohon yang menghadap kayu bakar yang telah menjadi abu dengan secangkir susu hangat. Dari tadi Brina hanya terdiam membisu dan itu membuat dua sahabatnya merasa cemas.

            “Udah larut Brin, sebaiknya kita masuk ke tenda dan segera tidur.” ajak Rania dan hanya di jawab dengan gelengan kepala.

            “Apalagi yang mau di tunggu ? semua udah masuk ke tenda masing-masing.” Mirela membantu membujuk dan tetap hanya gelengan yang di dapat.

            “Ya udah kita duluan yah ? loe jangan teralu lama di luar, nanti bisa sakit.” pesan Rania yang di jawab dengan anggukan kepala.

            Mirela memakaikan topi kupluk “Kalau ada masalah, cerita yah ?” ucapnya lalu berjalan menjauh.

            Ucapan Rania tadi siang terus berputar-putar di kepalanya yang seakan ingin meledak. Brina tidak tahu harus bertindak dan bersikap bagaimana, karena semua terjadi begitu cepat. Tak terasa air mata jatuh bergulir di pipinya, Ia memejamkan mata seakan berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Tak lama dia merasakan ada seseorang yang memakaikan selimut di tubuhnya. Dan itu membuatnya sangat hangat. lalu sebuah tangan mendarat di wajahnya. Dengan sangat lembut jemari itu mengusap pipinya yang basah akan air mata. Dengan perlahan Brina membuka matanya dan mandapati sosok Andrie tersenyum di hadapannya.

            “Ini kedua kalinya aku melihat kamu menangis. Kalau nggak keberatan, aku siap untuk mendengarkannya.” ujarnya sembari menuangkan susu hangat.

            “Kamu belum tidur ?” Brina mengalihkan pembicaraan.

            “Boleh aku temani ?” dan sebuah gerakan anggukan kepala terlihat.

            Beberapa menit suasana hanya hening, yang terdengar hanya suara angin. Suasana malam yang kian pekat dengan cahaya lampu minyak yang redup-redup membuat suasana semakin romantis, di tambah dengan banyaknya jutaan bintang yang menatap mereka.

 Brina menyandarkan kepalanya di pundak cowok yang telah membuat hatinya bergetar sebelum Ia meniup lilin 16 tahunnya. Hingga beberapa saat kemudian tubuhnya telah ada dalam dekapan hangat dada bidang si ketua Osis.

            “Brin ?” suara Andrie terdengar sedikit berbisik.

            “Mmm.” gumamnya.

            “Mungkin ini terlihat teralu cepat, tapi aku rasa ini adalah waktu yang tepat. Maaf bila nanti kamu merasa terbebani.” ucapnya lalu terhenti sejenak. Debar jantung yang berdegup cepat mungkin dapat di rasakan oleh Brina “Aku sayang kamu, Brin. Dan aku sudah menyukaimu sejak kita berdua di calonkan menjadi kandidat ketua kelas setahun lalu.” katanya kembali terhenti untuk menghela nafas “Aku ingin kita bisa lebih dari sekedar berteman.” ucapnya gugup.

            Seketika dia keluar dari dekapan hangat lalu menatap dalam mata Andrie “Selamat malam.” sahutnya lalu mengecup kening Andrie yang hanya bisa duduk terpaku lalu melangkah pergi dan masuk ke dalam tenda.

Senyuman Terakhir BrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang