part 8

3.4K 103 0
                                    

          Setelah cuti karena masuk rumah sakit, semester ini Arya mengejar banyak mata kuliah yang tertinggal. Hari-hari di kampusnya terasa sangat berbeda tanpa kehadiran sahabat terdekatnya. Dalam kantin dia hanya duduk sembari melamun menunggu Reka membawa makanan. Arya terus menatap pekat surat yang Bass tinggalkan bersama rekening atas namanya yang dia berikan pada Brina. Bass memang sudah di anggapnya seperti keluarga sendiri, dia rela membantu segala permasalahan materi keluarganya tanpa memunggut pamrih.

            Raut wajah sedih tergurat di wajahnya, betapa sangat rindunya dia mendengar usul dan ide-ide cermerlang dari Bass. Reka yang telah berdiri di samping meja juga ikut mengerti perasaan kehilangan yang di rasakan Arya karena Ia pun merasakan hal yang sama.

            “Gue juga kangen sama Bass, kira-kira dia lagi apa yah di sana ?” ujar Reka yang membuyarkan lamunan Arya.

            “Melanjutkan kuliah dan bersenang-senang ! tapi dia pasti juga merasakan hal yang sama seperti kita !” jawabnya sembari menyantap big burger pesanannya.

            “Ngomong-ngomong loe kuliah dari pagi ampe malam, nggak cape apa, bro ?” tanyanya sembari menggigit hot dog “Kondisi Brina gimana ?” tambahnya.

            “Gue kan juga mau sarjana bareng angkatan ! kondisi dia masih sama, yang penting harus segera menemukan donor ginjal dengan golongan darah AB.”

            “Bukannya loe masih punya nenek, kenapa nggak loe coba temui dia ? lagian bukannya loe pernah cerita kalau dia orang kaya jadi pasti bisa ngebantu !”

            “Nggak akan pernah !! gue masih inget bagaimana sikap dia sama ortu gue ! bahkan dia tega menyalahkan Bunda atas kematian bokap ! gue benci dia dan gue nggak butuh dia sama sekali !!” sahutnya dengan raut marah.

                                                                                  ^-^

             Dalam mobil Jaguar hitam mengalun merdu musik romantis. sementara Andrie asik berkonsentrasi dengan stirnya, Brina menatap pemandangan luar dengan tangan yang menopang dagu. Kenangannya saat di bukit sahabat terlintas dalam pikiran hingga tanpa sadar membuatnya tersenyum sendiri. seketika tangan Andrie menggenggam jemari lentik Brina.

            “Kamu mikirin apa, sayang ?” tanyanya tanpa menoleh.

            “Nggak, hanya menikmati pemandangan.” jawab Brina sembari tersenyum.

            Namun tiba-tiba Brina berteriak kesakitan sembari memegangi perutnya dengan wajah penuh keringat dingin.

            “Ndrie, perut aku sakit banget ! Arrhhh….. ” teriaknya kesakitan.

            “Kamu kenapa ? Aku harus gimana ?” ujarnya panik setelah menginjak rem dengan seketika.

            “Andrie… !! perutku sakit… !!” teriak Brina makin keras.

            “Ok, kamu tahan dulu ! Aku akan bawa kamu ke rumah sakit.” ucapnya makin panik sembari menjalankan kembali mobilnya.

            Setengah jam sudah Brina di periksa dalam ruang UGD, namun dokter belum juga keluar untuk memberi kabar. Andrie yang mulai cemas sudah tak mampu menunggu sambil duduk. Dia mulai bolak-balik dengan raut wajah sangat khawatir. Tak lama Arya tiba di rumah sakit dengan raut wajah tak kalah cemas.

            “Andrie, gimana kondisi Brina ?” tanya Arya panik.

            “Dokter belum keluar, kak. Sebernarnya Brina sakit apa ? Kenapa dia sering sakit seperti itu ?” tanyanya penasaran.

Senyuman Terakhir BrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang