part 11

3.8K 116 1
                                    

              Dua hari lalu kondisi Brina sangat kritis bahkan hari itu hampir menjadi hari terakhir baginya untuk bisa terus bernafas, namun sepertinya Tuhan masih belum menginginkan Ia berada di sisinya. Tubuhnya semakin tidak nyaman untuk di lihat. Dia sangat kurus bahkan di wajahnya sudah lenyap semua raut kegembiraan yang dulu sering terlihat. Brina harus rutin cuci darah tiga hari sekali .Dia seakan pasrah menerima kenyataan hidupnya. Sembari berbaring Ia meneteskan air mata memandang foto dirinya bersama sang Kakak. Bukan kematian yang ia takuti, melainkan kehidupan kakaknya setelah ia pergi jauh.

            Mendengar suara pintu yang terbuka perlahan, Brina langsung mengusap pipi yang telah basah akan air mata. Arya berjalan mendekati sembari memasangsenyuman di wajahnya. Dia membelai kepala adiknya dengan penuh kasih sayang hingga menitikkan air mata.

            “Jangan pernah menangis di depan Brina, kak.” ucapnya sembari mengusap air mata “Kakak harus tegar ! kita harus pasrah dengan semua kehendak Tuhan.” suara Brina terdengar sendu dan serak.

            “Nggak ! semua ini nggak bisa begitu aja terjadi ! Kakak mau memberikan ginjal, tapi semua dokter menolaknya ! apa lagi yang harus kakak lakukan ? Kakak nggak bisa hanya terus menunggu seperti ini.”

            “Buat apa aku terus bernafas kalau Kakak nggak ada di sampingku ? kita nikmati saja sisa kebersamaan ini.”

            “Lalu untuk apa Kakak terus hidup bila kamu nggak ada di samping Kakak ? di dunia ini hanya kamu yang Kakak miliki.” sahutnya dengan mata berkaca-kaca.

            “Tidak akan pernah ada yang meninggal dan di tinggalkan ! kalian akan selalu tetap bersama selamanya !” ujar seorang wanita tua di ambang pintu.

            “Eyang ??” pekik mereka bersamaan setelah menoleh.

            “Maaf Brin, gue udah berusaha untuk menepati janji tapi mendengar cerita mereka, gue yakin ini benar.” ujar Rania seakan mengerti arti tatapan Brina padanya.

            “Aku Eyang kalian ! kalian adalah cucu kandungku !” ucapnya dengan suara serak sembari menunjukkan gelang perak “Darian Prasetya adalah putra tunggal ku dan Marissa adalah wanita pilihan Darian yang tak pernah aku restui, tapi kini Eyang menyesali semuanya. Aku ingin kalian mau memaafkan Eyang.” kini air matanya berurai

            Brina yang terkejut hanya bisa menutup mulutnya dengan tangan dan tak mampu berkata-kata. Sedangkan Arya langsung berdiri dan berbalik menatap wajah Ny. Marina dengan penuh amarah. Matanya tersirat penuh kebencian yang sangat mendalam, namun saat ingin melangkah mendekat, tangan Brina segera menahannya.

             “Berani sekali kamu menampakkan diri, setelah apa yang kamu lakukan dulu !” ucap Arya sinis “Tahukah kamu betapa marahnya aku ketika kamu usir, saat Papa dan Bunda datang memohon restu sembari membawa kami yang masih tidak mengerti apa-apa ? tahukah kamu betapa bencinya aku ketika kamu memaki Bunda dengan kata-kata kasar bahkan menyebutnya sebagai pembawa sial karena kematian putramu ? dan tahukah kamu betapa dendamnya aku ketika kamu melempar uang di wajah bunda lalu menamparnya di hadapanku bahkan hingga mendorong tubuhnya ?” ujarnya geram “Aku diam karena waktu itu aku masih kecil, tapi kini aku sudah 23 tahun ! menurutmu bisakahaku melupakan semua kejadian itu lalu memaafkan kamu dengan mudah ? TIDAK !! tidak akan pernah !! bagi kami, kamu tidak pernah ada ! kamu sudah kami anggap MATI !!” teriaknya makin emosi.

            “Kak jangan berkata kasar begitu, biar bagaimana pun dia Ibu dari Papa kita.”

            “Kamu tahu Brina, dia pernah melempar kamu di lantai saat kamu berusia 8 bulan ! andai saja Kakak gagal menangkap, pasti kamu sudah tumbuh dengan cacat !” ujarnya tanpa menoleh “Sebaiknya kamu keluar dan jangan pernah tunjukin wajah nggak berdosa kamu itu !!” tambanya geram.

Senyuman Terakhir BrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang