Minggu Ketiga

171 8 0
                                    

Memasuki akhir november, Pemilihan Raya direncanakan di akhir november. Kebetulan Fikri mendapatkan nomor urut 18. Aku bertindak bagai provokator, mempromosikan Fikri di depan teman – teman ku.

"Wee, sebentar lagikan Pemilihan Raya, pilih nomer 18 yaa."
"Siapa 18, Yaak? Pacarmu?"
"Eh bukan, Lim. Cuma kenal gitu doang."
"Oh, anak Bahasa Indonesia itu yaa?"

Aku malas melanjutkan perdebatan ku dengan Halim. Aku tahu, aku pasti kalah jika harus adu mulut dengannya.

***

Hari ini, Pemira di adakan. Terlihat antrean yang sangat panjang memenuhi koridor gedung seni. Pengap, panas. Bau tak sedap yang bersumber dari ketek yang terhimpit juga diam – diam mulai menyelinap masuk rongga hidung ku yang minimalis ini. Akhirnya aku mundur, keluar dari kerumunan orang yang tampak antusias dengan pemilihan Senat Mahasiswa Fakultas.

Sungguh, jika bukan karena Fikri, aku enggan melangkahkan kaki ke gedung ini hanya untuk mengantre lalu memilih dengan menyucuk foto kandidat. Bergelut dengan pengap dan panas, serta bau khas manusia ketika gerah. Ohh, sungguh kau ingin segera menghirup hawa segar di atas gunung.

Ketika aku mundur, ku dapati Fikri yang juga sedang mengantre, sedang berbincang, oh tidak. Tertawa lepas lebih tepatnya dengan seorang wanita-bergamis liris – liris. Tergurat rona bahagia diantara keduanya. Baik Fikri, maupun wanita itu terlihat akrab, sangat akrab bahkan sampai aku bisa mengendus roma hubungan spesial mereka.

Hati ku berdesir, mata ku terfokus pada mereka, darah ku memanas. Entah mengapa, ada hal yang tidak wajar aku rasakan. Seperti cemburu pada wanita itu, bisa mendengar tawa renyahnya dengan jarak yang sangat dekat. Menikmati alur wajahnya setiap detik, bahkan menjadi alasan dia tertawa saat itu. Posisi ku lapang, tidak berada dalam kerumunan orang banyak, tapi dada ku sesak. Gadis itu sangat cantik, manis dengan gamis merah mudanya. Sejenak aku menoleh sekeliling ku, ku dapati satu hipotesis. Mungkin wanita yang seperti itulah yang diinginkan Fikri. Wanita yang memakai gamis, mengikuti syariah agama. Bukan seperti aku-wanita-yang-mengaku menutup aurat, tapi tidak sempurna. Masih memakai jeans dan kemeja yang tangannya di gulung ¾.

Entah mengapa pelupuk mata ku semakin berat, aku berlari meninggalkan gedung seni, menjauh dari kerumunan orang, dan menemui teman – teman ku yang masih menunggu ku di koridor.

"Kau kenapa, Yak?"

Kini Elisabeth berhasil menangkap mata ku yang basah. Aku tak menjawab, hanya kepala yang menggeleng lemah yang berhasil ku berikan sebagai isyarat, aku tak ingin diganggu.

***

"Yak, temenin aku ke Digital Library hari ini bisa?"
"Duh aku mager bet, sama Nita aja yaah."
"Nita? Kau becanda nyuruh aku pergi sama Nita?"
"Huuuffff, yaudah jam berapa?"
"Aku tunggu jam 10 ya, Yak."
"Heemmm."

Elisabeth-si kutu buku memang selalu mengajakku memenjarakan diri di ribuan buku di perpustakaan. Aku sebenarnya senang membaca, namun kali ini, aku memang sedang tidak berminat melakukan apapun. Mungkin karena efek pemandangan tak sedap kemarin. Aku bahkan membenci wanita itu. Entah mengapa, yang ku tahu adalah aku cemburu.

"Yak, aku di ruang baca di lantai satu. Cepat kesini."

Jika tidak menelepon, maka sms Elisabethlah yang mengganggu ku.

Aku langsung menuju TKP, ku perhatikan satu per satu orang – orang tersebut. Tampak sangat ramai. Ku dapati di bagian tengah ruang baca, lambaian tangan perempuan yang aku yakin adalah Elisabeth. Aku berjalan ke arahnya. Tampak satu kursi kosong tersedia, aku yakin Elisabeth mengambilnya untuk ku.

"Hai cantik."
"Gausah ngerayu, basi."
"Kau sehat, Yak? Jutek kali akhir – akhir ini."
"I'm fine."

Sepertinya Elisabeth tau tentang apa yang ku rasakan meskipun aku belum menceritakannya. Entahlah, Elisabeth terlalu banyak menelan novel, hingga dia bersikap sangat peka dan terlalu peka pada setiap perasaan orang – orang di sekelilingnya.

Mata ku masih bergerak bebas, mencari satu demi satu ekspresi yang ingin ku jadikan bahan tertawa. Lalu terkunci pada dua wajah di bagian kiri meja tempat dimana aku dan Elisabeth menikmati ruangan ini. Yaa, Fikri dan wanita itu. Fikri yang tenggelam pada novel yang dibacanya, lalu mengalihkan wajah ke lawan bicaranya-wanita-itu. Ku perhatikan lekat, Fikri terlihat sangat bahagia bersama wanita itu, ini kali kedua aku menemukannya tertawa lepas. Sangat senang.

Aku tak menyadari sedari tadi Elisabeth menatap ku nanar.

"Sekarang aku tahu, apa yang buat kau betek."
"Bisa kita pergi?"
"Oke, kau jalanlah duluan. Biar aku rapikan meja ini."

Aku berjalan cepat meninggalkan ruangan baca, namun kaki ku lemas, pelupuk mata ku berat. Aku duduk dibawah pohon di depan Birek, disusul Elisabeth yang hanya mematung, tidak berani melemparkan kata apapun. Ku seka air mata ku, ku dapati beberapa orang memperhatikan aku dan Elisabeth dengan wajah penasaran.

"Cinta datang dengan berbagai cara. Melalui kebersamaan, kenyamanan, perkenalan, atau bahkan hanya tatapan."
"Tatapan yang mengantarkan aku pada cinta yang semu, tak ada ruang untuk aku mendekat, apalagi bermimpi untuk memilikinya."
"Yak, aku tau kau pasti patah hati melihat yang tadi. Tapi itulah resiko bermain dengan cinta. Jika bukan kau yang dibakar (api kasmaran), maka kau yang akan terbakar (api cemburu yang berujung patah hati)."
"Tapi kenapa aku harus menerima ini di awal, Bet?"
"Fikirlah jika kau terima ini di akhir, disaat rasa cinta mu sudah semakin besar. Kau yakin kau siap?"

Aku hanya terdiam, mendengar kata demi kata yang Elisabeth ucapkan. Dia terlihat seperti sudah terlalu sering menangani kasus percintaan.

ollv\

Ku Dekap Kau Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang