Pagi ini, Amora sudah siap dengan kemeja lengan panjang putih dan rok pensil berwarna peach. Setelah mengoleskan make up tipis pada wajahnya ia mengangkat kepalan tangannya ke udara.
"Sukses dihari pertama Amora! Semangat!"
Amora tersenyum melihat dua orang yang paling berarti dalam hidupnya sudah duduk di meja makan dengan senyum di wajah mereka.
"Selamat pagi pa, selamat pagi Steven." Amora mencium pipi ayah dan adiknya.
"Selamat pagi sayang,"
"Selamat pagi juga kak," balas mereka bersamaan.
Amora tersenyum kemudian duduk dibangkunya, mengambil sebuah roti tawar dan menuangkan meses ke atasnya, ya hanya meses. Amora belum punya cukup uang untuk membeli selai.
"Jadi, kamu mulai bekerja hari ini mora?" Tanya Antony.
"Iya pa, doain aku ya." jawab Amora menebar senyum ceria.
Antony tersenyum tulus melihat anaknya sudah semakin dewasa sekarang. "Nah, kamu Steven. Ayo cepat nanti kamu terlambat,"
"Iya papa.. ini mau berangkat. Dah papa, dah kakak." Teriak Steven dari ambang pintu. Antony dan Amora tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Nah papa, Mora juga mau berangkat, takut telat nanti. Papa jangan lupa makan ya," pesan Amora.
"Iya, sudah sana. tadi katanya takut telat."
"Hehe, dah papa." pamit mora.
**
Amora duduk dihalte yang tidak jauh dari rumahnya. Tidak perlu lama menunggu, bus bernomor 32 yang akan membawanya menuju kantor Mcknight.corp sudah tiba. Kondisi di dalam bus itu sangat memprihatinkan, Amora bahkan tidak mendapat tempat duduk didalam bus, ia harus berdiri selama perjalanan. Ditambah lagi dengan bau yang tidak sedap, bau ayam, bau keringat. Semua bercampur jadi satu didalam bus itu. Tapi Amora tidak mengeluh, ia tidak boleh mengeluh.
Setelah menempuh 20 menit perjalanan, Amora sampai dikantornya. Ia melihat jam yang melingkar manis dipergelangan tangan kirinya.
"07.06 aku harus cepat." Ucapnya sambil mempercepat langkah.
Amora menunduk hormat pada siapa saja yang ditemuinya dilobby. Setelah masuk lift, dia menekan angka 17, ruangan khusus CEO dilantai paling atas gedung ini.
Baru saja Amora duduk di bangku nya, pintu lift terbuka lagi dan memperlihatkan sosok tampan nan tegap, Brian Mcknight.
Dengan cepat Amora berdiri dan membungkuk. 'selamat pagi, pak." Ucapnya,
Brian tidak menghiraukan sapaan sekretaris nya itu dan berlalu masuk kedalam ruangannya.
Amora tidak mau ambil pusing dengan sikap atasannya, ia segera menyalakan komputer dan memeriksa apa ada pekerjaan yang bisa dikerjakannya. Karena sebenarnya Amora masih meraba-raba apa saja yang harus di kerjakannya.*********
Saat jam makan siang, iPhone Brian bergetar. Ia mengerutkan keningnya bingung saat melihat nama si penelepon. Sahabatnya, Dave.
"Halo"
"Bri, cepatann ke cafe biasa. Temenin gue makan."
"Lah? Jadi maho lo?" Ujar Brian bergedik jijik.
"Najis, biasa juga lo yang minta gue temenin."
"Alah, roman-romannya mah lo diputusin lagi, kan?" Brian mengapit ponselnya diantara pundak dan telinganya. Sedangkan tangannya digunakan untuk menutup map-map yang terbuka dan menatanya di ujung meja.
"Nggak perlu gue jawab kan. Buruan kesini."
"Gue on the way Dave," setelah mengatakan itu, Brian menutup telepon sepihak. Ia mengambil kunci mobil dan jas yang tersampir di tempat duduknya.
Saat keluar dari ruangannya, Brian melihat Amora masih sibuk dengan komputer, mengurus jadwal rapat perusahaan untuk 2 hari kedepan.
Brian berdehem, membuat Amora kembali ke dunia nyata. Melihat Brian yang sudah berdiri tegap didepannya Amora segera berdiri dan membungkukan tubuhnya hormat. "Selamat siang pak."
"Siang, saya mau pergi, mungkin saya tidak akan kembali ke kantor hari ini, jadi saat jam pulang nanti tolong kamu pastikan kantor saya terkunci, kamu bawa saja kuncinya dan besok tolong bersihkan ruangan saya." Perintah Brian.
Amora mengerutkan keningnya. "bukankah tugas office boy untuk membersihkan ruangan bapak?"
Brian menatap Amora tajam. "Karyawan harus patuh pada perintah atasan." Ucapnya telak,
Amora mengangguk paham. "Baik pak, akan saya kerjakan."
"Ini jam makan siang, kamu istirahatlah dulu. Saya tidak mau mengeluarkan uang untuk biaya rumah sakit jika kamu kenapa-kenapa nanti." ucap Brian lalu segera berlalu dari hadapan Amora.
******
Amora turun ke lobby, karena posisi kantin berada disana.
Setelah melihat-lihat menu makanan, Amora memilih salad dan telur rebus sebagai menu makan siangnya. Amora tersenyum saat melihat ada satu bangku kosong diantara 3 orang yang duduk tidak jauh dari posisinya berdiri sekarang.Ia tersenyum dan menghampiri mereka, "boleh saya gabung disini?"
Tanpa disangka, ketiga orang itu tersenyum ramah, "tentu" jawab mereka bersamaan,
"Namaku Amora Smith, aku baru disini." Ucap mora sebagai perkenalan.
"Namaku Daniel." Ucap satu-satunya lelaki dimeja itu,
"Aku Alysia, panggil Sia saja ya. Kalo Aly kesannya aku manly sekali." ucap gadis yang berambut curly,
"Aku Diana, Terserah kamu mau panggil apa." Ucap gadis satunya yang berkacamata. Amora tersenyum menatap mereka semua dan melanjutkan makan siangnya.
Setelah menyelesaikan makannya, Amora berpamitan kepada 3 orang itu, mereka bertukar Id Line dan Amora kembali ke tempatnya. Ia menyelesaikan tugas-tugas yang belum rampung tadi.
Amora merenggangkan otot-otot tubuhnya, kemudian berdiri. Mengunci kantor Brian dan beranjak masuk kedalam lift. Saat berada di lobby, seseorang meneriakan nama Amora.
"Amora!" Saat Amora berpaling, ia melihat Daniel setengah berlari kearahnya. ia menatap Daniel bingung.
"Ada apa?"
"Kamu pulang sendiri? aku antar ya? Tenang, aku bukan orang jahat." Tawar Daniel dengan senyum tulus.
Melihat kesungguhan dimata Daniel, Amora memilih ikut dengan teman barunya itu.
Mereka berdua berjalan berdampingan kearah parkiran mobil sambil sesekali bercanda dan mengobrol.
Ternyata Daniel adalah bagian administrasi. Dan ia cukup menyenangkan bagi Amora.
Setelah berterimakasih Amora turun dari mobil Daniel dan melangkahkan kedua kakinya pulang kerumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Dictator CEO {SUDAH DITERBITKAN}
RomansaTakdir kembali mempertemukan Amora dan Brian, dengan situasi dan kondisi yang berbanding terbalik dari saat mereka pertama bertemu dengan Amora yang tidak lagi mengingat Brian. Apakah takdir sedang mempermainkan mereka?