Rutha memoles sedikit make up di wajahnya. Sekali lagi ditatapnya pantulan dirinya dalam cermin sebelum keluar dari kamar.
Ketika hendak menutup pintu, Rutha sadar ponselnya tertinggal di atas kasur. Namun alih-alih mengambilnya, Rutha malah menutup pintu kamarnya dan berjalan menuruni tangga.
"Mau ke mana, Tha?" tanya Karel yang tengah menikmati sereal di meja makan dengan buku tebal di tangannya.
"Bilangin mamah ya gue pergi, mungkin pulangnya agak sore," ucap Rutha tanpa berminat menjawab pertanyaan sepupunya itu.
Rutha membuka pintu depan dan terkejut melihat Bagas sudah berdiri di hadapannya.
"Siap?" tanya Bagas dengan senyum cerah terukir di wajahnya.
Rutha mengangguk. "Kendaraan lo mana, Gas?" Rutha mengernyit ketika tidak melihat satu kendaraan pun di halaman rumahnya.
"Naik taksi aja nggak apa-apa kan?"
"Tentu. Bukan masalah."
Bagas menghentikan taksi dan mempersilakan Rutha untuk masuk lebih dulu.
Demi mengisi keheningan di dalam taksi, Rutha menatap Bagas dan bertanya, "Lo udah jenguk Panji?"
Bagas menggeleng. "Belom."
"Kok belom? Kan alamat rumah sakit sama nomor kamarnya udah gue kirim di line, kemarin. Dan hari ini gue udah nepatin janji gue buat pergi sama lo," kata Rutha, sedikit kesal karena Bagas belum mengunjungi Panji.
Melihat wajah Rutha yang cemberut, Bagas tersenyum geli. "Makanya sekarang kita ke rumah sakit dulu. Gue bawa lo biar lo bisa nahan gue kalo-kalo gue berniat nonjok Panji di sana."
Rutha memelotot. "Gue nyuruh lo buat jenguk dia. Bukan ngajak dia berantem."
Bagas mengedikkan bahu. "Lagipula ada sesuatu yang mau gue pastiin. Mudah-mudahan perkiraan gue salah."
"Lo mau mastiin apa?" Rutha mengernyit. Namun Bagas memilih diam, tidak berniat menjawab pertanyaan Rutha.
***
Setibanya di rumah sakit, Rutha berjalan di belakang Bagas, mengikuti laki-laki itu menuju ruang rawat Panji.
Bagas menoleh. "Cepet dikit dong jalannya, Tha. Maju. Jangan di belakang gini. Kayak orang pacaran yang mau bubar aja."
Rutha mendengus. "Kita kan emang udah bubar."
Bagas menghentikan langkah. "Tapi bentar lagi balikan," katanya seraya menarik lengan Rutha agar berjalan di sampingnya.
Rutha hanya menghela napas. Tidak berniat menanggapi ucapan Bagas lagi. Bisa-bisa tuh anak makin nggak waras.
"Ini ruangannya, Gas," kata Rutha setelah mereka melewati ruangan demi ruangan di rumah sakit.
Bagas sontak membuka pintu dan untuk beberapa saat dia terkejut dengan keadaan Panji yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"Wah kita kedatangan tamu," kata Maya. "Silakan masuk, Gas, Tha."
Bagas mendekat ke arah Panji. Fokusnya sudah terkunci pada laki-laki itu sejak pertama kali membuka pintu.
Panji tersenyum miring---yang lebih terlihat seperti meringis. "Lo ngeliat gue udah kayak ngeliat alien, tau nggak."
Bagas menelan ludah. "Seinget gue, gue udah pernah ngingetin lo buat jaga diri dan nggak kebawa pergaulan buruk."
"Kuping gue lagi budek waktu itu," kata Panji seraya tersenyum getir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia [Completed]
Teen FictionAwalnya Rutha merasa hidupnya sudah kembali berjalan dengan normal setelah beberapa bulan larut dalam kesedihan akibat putus dengan Bagas. Bahkan sekarang dia sudah punya pacar baru. Namun di tengah kenormalan itu tiba-tiba suatu hari Bagas mengaku...