Chapter 22

2.1K 235 27
                                    

Setelah mengantar Rutha pulang, Bagas melajukan motornya ke rumah Jaya.

"Pinjem gitar dong, Jay," pinta Bagas setelah masuk ke kamar Jaya.

"Tuh ambil aja," ucap Jaya seraya mengedikkan dagu ke arah gitarnya.

Bagas mengambil gitar di samping tempat tidur Jaya. Setelahnya dia duduk di atas kasur.

Jaya keluar kamar untuk mengambil minuman yang setelahnya dia taruh di samping meja dekat Bagas. "Kalo-kalo lo mau minum," ucap Jaya ketika mendapat tatapan dari Bagas.

Bagas menganguk. Dia kemudian mulai memetik gitar yang dipegangnya. Dari ekspresi Bagas, Jaya tahu laki-laki itu sedang memiliki sesuatu yang mengganggu pikirannya. Jaya tidak bertanya, karena biasanya Bagas akan bercerita dengan sendirinya jika dia mau. Maka Jaya hanya duduk di kursi belajarnya dan sibuk dengan komik yang dia baca.

Beberapa saat kemudian Bagas menghentikan petikan gitarnya. Dia menatap Jaya. "Jay," panggilnya.

"Apaan?" jawab Jaya. Dia menurunkan komik yang dibacanya dan menatap Bagas.

Meskipun Jaya bukan tipe orang yang serius dalam segala hal, Bagas lebih sering bercerita pada Jaya dibanding Raka dan Riki yang justru akan saling perang mulut antar saudara jika mendengar Bagas bercerita. "Gue udah nyerah sama Tata. Tadi gue nganterin dia pulang, gue minta dia buat janji nggak ngehindarin gue lagi karena gue bakal berenti ngejar dia dan bakal nganggep dia sebagai temen," ujar Bagas.

"Terus gimana respons si Tata?" tanya Jaya.

"Katanya kalo cewek bilang selesai itu maksudnya si cewek pengen dikejar dan diperjuangin," jawab Bagas.

"Abis itu lo bilang apa ke dia?"

Bagas mengedikkan bahunya. "Menurut gue Tata bukan tipe cewek yang begitu, iya 'kan?"

Jaya terperangah. "Bego! Itu maksudnya dia ngode ke lo, Gas!"

Bagas tertegun. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali. "Masa sih?"

Jaya berdecak kesal. "Itu kode supaya lo perjuangin dia lagi, Gas. Ck! Kok lo bego sih? Untung ganteng."

Bagas diam selama beberapa saat hingga bunyi notifikasi ponsel Jaya menarik perhatiannya. Dia menatap Jaya yang tengah memainkan ponselnya.

"Ada chat dari Raka nih. Dia ngajak kita nobar motoGP di rumahnya." ucap Jaya.

Bagas menghela napas. "Kalo gitu gue balik dulu deh. Nanti kita ke sananya bareng," ucapnya seraya menaruh kembali gitar ke tempat asalnya.

"Ya udah. Gue tunggu," tutur Jaya yang segera diimbuhi anggukan oleh Bagas.

"Eh tapi beneran omongan Tata itu kode buat gue, Jay?" tanya Bagas sebelum menutup pintu kamar Jaya.

Jaya mendengus. "Iya, bolot! Udah cepet sana keluar!" usirnya kesal. Dia tidak habis pikir dengan sahabatnya yang satu ini, kalo menyangkut cewek lemotnya nggak ketulungan.

***

Aleri menekan bel rumah bercat biru itu. Tangan kirinya membawa bingkisan. Dia tersenyum ketika Adinda membuka pintu. "Bagas ada?"

Adinda mengangguk. "Silakan masuk, Kak. Naik aja ke atas, Kak Bagas ada di kamarnya."

"Oke. Makasih," ujar Aleri. Dia lalu menaiki tangga dan mengentuk pintu kamar Bagas.

"Masuk!"

Aleri memutar kenop pintu lalu masuk ke dalam kamar Bagas. Dia melihat laki-laki itu tengah menyisir rambutnya di depan cermin. Penampilannya terlihat rapi. "Mau ke mana, Gas?"

"Mau ke rumah temen," jawab Bagas.

Aleri diam beberapa saat. Dia menaruh bingkisan yang dibawanya ke atas meja belajar Bagas. Lalu dia mengeluarkan kepingan CD dan beberapa kue dari bingkisan itu. "Sayang banget. Padahal gue ke sini mau ngajak lo nonton film."

Bagas melirik Aleri dengan pandangan memohon maaf. "Sorry. Next time, Le."

Aleri berdiri dengan membawa kue buatannya. Dia mendekat pada Bagas yang kini tengah memakai sepatu. "Tadi gue bikin kue. Cobain deh, Gas."

"Taruh aja di atas meja, Le. Nanti gue makan," kata Bagas tanpa menatap Aleri.

Aleri masih belum menyerah. Dia mencoba menyuapkan kue itu pada Bagas. "Cobain dulu, dikit aja."

Bagas tetap tidak membuka mulut atau menerima kue itu. Tangannya fokus mengikat tali sepatu. "Iya nanti gue cobain. Taruh aja dulu di meja."

Aleri menghela napas. "Apa susahnya sih buka mulut dan cobain dikit aja? Gue jadi ngerasa nggak dihargain. Padahal gue bikin kue-kue ini khusus buat lo."

Bagas yang telah selesai mengikat tali sepatunya sontak tertegun dengan ucapan Aleri. Dia menatap gadis di sampingnya dengan pandangan heran.

Aleri menunduk. "Bisa nggak sih sekali aja lo ngeliat gue sebagai seorang cewek, bukan temen?"

"Maksud lo?" tanya Bagas. Dia mengernyit. Heran dengan sikap Aleri belakangan ini.

Aleri mendongak, mengunci pandangannya pada Bagas. "Gue suka sama lo. Lo pikir kenapa gue mau repot-repot bikinin kue buat lo?"

Untuk sesaat Bagas kehilangan kata-kata. Dia masih mencoba mencerna ucapan Aleri. "Lo sadar apa yang barusan lo omongin?"

Aleri mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mencegah butiran-butiran bening turun dari matanya. "Sepenuhnya gue sadar. Sepenuhnya gue suka sama lo," lirihnya. Satu tetes air mata luruh disusul tetesan berikutnya. Aleri menaruh kue yang dibawanya ke meja lalu gadis itu berjalan cepat dan keluar dari kamar Bagas.

Bagas termenung menatap kepergian Aleri. Dia menelan ludah. Lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku jeansnya dan mengetik sesuatu.

Jay, gue bakal telat ke rumah Raka. Lo duluan aja.

Setelah mengirin pesan tersebut pada Jaya, Bagas segera keluar dari kamar dan mengejar Aleri.

Bagas melangkah menuju rumah Aleri yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Ketika Jordan--adik Aleri--membukakan pintu, tanpa menghiraukan ucapannya, Bagas segera masuk dan menaiki tangga menuju kamar Aleri.

Aleri duduk di atas karpet beludru di dalam kamarnya. Dia memeluk kedua lututnya dan terisak. Bagas menelan ludah melihat keadaan Aleri. Dengan hati-hati Bagas duduk di samping gadis itu. Tangannya terulur mengambil tisu dan memberikannya pada Aleri. "Sejak kapan lo suka sama gue?"

Aleri menerima tisu dan menyeka air matanya. Dia menatap Bagas. "Entah sejak kapan. Tapi dua tahun yang lalu, setelah gue pindah ke London, gue baru sadar kalo gue suka sama lo. Awalnya gue pikir dengan tinggal di London dan jauh dari lo, gue bisa ngelupain lo. Tapi nyatanya nggak.

"Dua tahun tanpa pernah ketemu lo lagi justru ngebuat perasaan gue meluap. Gue kangen sama lo. Dan ketika Papa bilang dia pindah tugas ke Indonesia, gue seneng banget. Gue seneng bisa balik ke rumah ini lagi, itu artinya gue bisa sering ketemu sama lo. Tapi ternyata perasaan gue cuman searah."

Penjelasan itu mengundang rasa sesal dari Bagas. Namun jika menyangkut perasaan, dia tidak bisa berbuat banyak. "Maafin gue, Le. Tapi yang namanya perasaan emang nggak bisa dipaksain. Kayak lo suka sama gue, gue juga nggak bisa cegah diri gue buat suka sama orang lain. Perasaan tumbuh dengan sendirinya tanpa direncanakan." Bagas menarik kepala Aleri ke dalam dekapannya. "Gue nggak bisa balas perasaan lo. Tapi gue tetep bisa jadi temen lo."

Amnesia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang