Rasanya Rutha ingin memekik frustrasi. Pasalnya, beberapa hari belakangan ini kode yang dia luncurkan untuk Bagas selalu gagal dimengerti oleh laki-laki itu.
Beberapa hari belakangan, setiap pulang sekolah Rutha selalu menunggu Bagas di dekat parkiran. Berharap Bagas melihatnya dan mengajak Rutha pulang bersama.
Pada hari pertama, ketika Bagas melihat Rutha berdiri di dekat parkiran, alih-alih menawari Rutha untuk pulang bersamanya, Bagas hanya melemparkan senyuman pada gadis itu. Senyum doang! Rutha gondok banget liatnya. Sampai-sampai Rutha membalas dengan bibir dipaksakan tertarik kaku ke atas. Rutha tidak yakin hal itu bisa disebut senyuman.
Pada hari ke dua, ketika lagi-lagi Bagas tersenyum kepadanya, Rutha memberanikan diri bertanya basa-basi, "Baru mau pulang, Gas?""Iya, Tha," jawab Bagas sembari tersenyum.
Rutha balas tersenyum. "Ooh.. sendirian aja?" Mau ngajak gue pulang bareng nggak? lanjutnya dalam hati.
Bagas menjawab, "Iya, sendirian aja. Jaya sama si kembar udah pulang duluan tadi."
Rutha mengagguk-anggukkan kepalanya dan menanggapi dengan 'Oh'an. Daripada sendirian mending ajakin gue balik bareng, Gas, batinnya.
"Gue pulang duluan ya, Tha," pamit Bagas yang sukses membuat Rutha melafalkan sumpah serampah dalam hati.
"Iya, duluan aja sana! Dasar bolot! Nggak peka!" serunya yang tentu saja tidak terdengar oleh Bagas karena laki-laki itu sudah melajukan motornya keluar dari sekolah.
Yang lebih parah justru pada hari ke tiga. Rutha sudah menunggu Bagas di dekat parkiran lebih dari setengah jam. Sampai-sampai dia merasa darah yang ada di tubuhnya turun sepenuhnya di kaki akibat terlalu lama berdiri. Otot-otot kakinya sudah menjerit tegang dan kaku.
Ketika pundak Rutha ditepuk oleh sesorang dari belakang, dia tersenyum lalu menoleh. Senyumnya pudar ketika mendapati Riki---alih-alih Bagas---berdiri menjulang di depannya.
"Hai, Ki," sapa Rutha.
"Lagi ngapain, Tha? Kok belum pulang?" tanya Riki.
Rutha menjawab, "Gue lagi berdiri."
Riki mendengus. "Gue juga tau. Maksud gue ngapain lo berdiri sendirian di sini?"
Rutha menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Mm ... ngapain ya gue di sini?" Ketika tak kunjung menemukan alasan, Rutha mencoba mengalihkan pembicaraan. "Eh lo baru mau pulang, Ki?" tanyanya.
"Iya nih, abis ngerjain tugas kelompok," jawab Riki.
Rutha kembali bertanya, "Oh kok sendirian aja? Yang lain ke mana?" Maksud gue, Bagas mana? Gue dari tadi nungguin dia.
"Yang lain udah pada pulang."
"Termasuk Bagas?" Ups!
Riki menyipitkan matanya curiga. "Jangan-jangan lo berdiri di sini nungguin Bagas, ya?"
Rutha membuang pandangannya dari Riki. "Ng-nggak kok." Bohong banget!
"Terus ngapain masih di sini?" tanya Riki.
"I-ini udah mau pulang kok," ujar Rutha seraya berjalan menjauh.
Riki menarik tas Rutha. "Sendirian? Bawa kendaraan nggak?" tanyanya.
"Gue nggak bawa kendaraan. Ih lepasin tas gue!" jawab Rutha seraya menepis tangan Riki.
"Kalo gitu ayo gue anterin lo pulang!" Riki menarik Rutha menuju motornya. Rutha mendumel dalam hati, Sialan! Kenapa jadi Riki yang ngajak gue balik?
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia [Completed]
Teen FictionAwalnya Rutha merasa hidupnya sudah kembali berjalan dengan normal setelah beberapa bulan larut dalam kesedihan akibat putus dengan Bagas. Bahkan sekarang dia sudah punya pacar baru. Namun di tengah kenormalan itu tiba-tiba suatu hari Bagas mengaku...