Chapter 18

4.3K 449 47
                                    

Yang penasaran kenapa Bagas dan Rutha putus, angkat tangan! 🙋

Here we go, happy reading :)

***

Empat bulan yang lalu...

Rutha mengembuskan napas kesal. Entah untuk keberapa kalinya dia mengecek jam di ponselnya.

Sudah tiga puluh lima menit dia menunggu Bagas, namun laki-laki itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Bahkan Rutha sudah meneror Bagas dengan pesan berantai namun tidak ada jawaban. Padahal Bagas sendiri yang mengajaknya dinner di restoran ini.

Awalnya Bagas berniat menjemput Rutha namun karena saat itu Rutha mendapat tugas dari mamah untuk mengantar bingkisan kerumah tantenya, Rutha memutuskan agar mereka langsung bertemu di tempat ini. Dan sekarang Rutha merutuki keputusannya tersebut.

"Tata?"

Rutha mengalihkan pandangannya dari ponsel ke sumber suara yang memanggil namanya.

"Adisti?" Rutha sedikit terkejut melihat sahabatnya berada di tempat yang sama dengannya sekarang.

"Lo sama siapa di sini?" tanya Adisti.

"Eum... gue lagi nunggu Bagas. Lo sendiri, sama siapa?" Rutha melongokkan kepalanya mencari keberadaan orang lain yang bersama Adisti.

"Gue sama keluarga, di sana," Adisti menunjuk meja yang tampak ramai.

"Ooh."

"Eh tunggu, bukannya Bagas lagi ikut race, ya?"

Rutha mengernyit. "Hah? Mana mungkin? Dia kan udah dilarang ikut race lagi sejak kecelakaan di sirkuit beberapa bulan lalu." Seketika perutnya mulas jika harus mengingat kejadian itu.

"Loh? Tapi tadi Raka bilang dia lagi di sirkut liat Bagas balapan."

Rutha tertegun. Jangan-jangan ini alasan Bagas belum juga muncul di restoran.

"Di sirkuit mana? Lo tau?" tanya Rutha panik.

Adisti menyebutkan sebuah nama sirkuit yang tidak jauh dari restoran ini.

Setelah berpamitan kepada Adisti, Rutha segera menyambar tasnya dan keluar dari restoran.

Dia menghentikan taksi kemudian menyuruh supir taksi itu untuk mengantarnya ke sirkuit yang Adisti sebutkan tadi.

Sirkuit itu lebih cocok disebut mini sirkuit karena bentuk dan luasnya yang terbatas.

Suasana tampak ramai. Rutha dapat melihat hilir mudik puluhan manusia dari pencahayaan tiang-tiang lampu yang berjejer sepanjang sirkuit.

Kalap, Rutha berlari ke arah kerumunan itu. Napasnya memburu. Dia mendorong beberapa orang agar memberinya ruang hingga dia sampai di pembatas antara tribun penonton dan jalan.

Di sana, berdiri di sebelah motor balapnya, Bagas sudah mengenakan wearpack dan tampak siap memulai balapan. Rutha sontak berteriak memanggilnya, "BAGAS!" Namun bisingnya knalpot yang dipanaskan sebelum race dimulai, meredam teriakan Rutha.

Dengan nekat, Rutha melewati papan pembatas jalan dengan cara meloncatinya.
Tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekelilingnya. Rutha berlari ke arah Bagas kemudian memukul keras lengan laki-laki itu ketika Rutha sampai di dekatnya.

Bagas terkejut bukan main. "Rutha?"

Rutha menatap tajam Bagas. Dadanya naik-turun seiring pernapasannya yang tersengal-sengal.

"Tunggu sepuluh menit," bisik Bagas pada Raka yang sedang mengecek motornya.
Bagas melepas helm dan menyerahkannya pada Riki.

Bagas segera menggamit lengan Rutha dan menjauh dari kerumunan.

Setelah dirasa sudah cukup jauh dari orang-orang, Bagas menatap Rutha dengan pandangan menyesal.

"Maaf, Tha...." Bagas merutuki kebodohannya yang termakan oleh emosi sehingga dia lupa bahwa dia memiliki janji dengan Rutha. Gadis ini pasti sudah lama menunggunya di restoran.

"Apa?! Lo minta maaf buat apa? Buat nggak dateng ke restoran itu atau buat race ini?" Rutha bertanya dengan meninggikan suaranya satu oktaf.

Bagas menelan ludah kelu. "Tha, Panji nantang balapan. Dan gue nggak bisa nolak gitu aja karena dia pernah nyakitin perasaan adik gue, lo inget itu?"

Rutha menggeleng, tidak mengerti dengan pola pikir Bagas. Kenapa sih cowok tuh sok jagoan?

Dan lagi, Rutha tidak paham persahabatan yang dijalin oleh laki-laki. Bagas dan Panji yang dulu sangat dekat, kenapa sekarang jadi sangat jauh? Hanya karena Panji pernah menyakiti Adinda dan Panji berubah menjadi nakal, apa harus memutus tali persahabatan yang sebelumnya terikat kuat? Rutha sangat menyayangkan hal tersebut. Padahal Panji itu sudah layaknya kakak untuk Bagas. Dan Rutha juga sangat dekat dengan Panji. Panji adalah tempatnya berlari ketika dia lelah menghadapi tingkah Bagas. Namun sekarang, jika berada dalam radius satu meter dari Panji, Bagas akan mengeluarkan taringnya. "Nggak gini caranya, Gas. Lo inget tiga hari koma di rumah sakit karena crash? Lo mau bikin orang-orang khawatir lagi?! Lo mau bikin gue sesedih apa lagi, Gas?"

Bagas menyentuh kedua pundak Rutha dengan lembut. "Kali ini gue bakal baik-baik aja, Tha. Gue janji. Tolong izinin gue, sekali ini aja."

"Baik-baik aja, lo bilang? Kita nggak pernah tau apa yang bakal terjadi di sana nantinya, Gas! Gue nggak mau lagi ada di posisi lima bulan lalu, ngeliat lo berlumuran darah, dibawa ambulance, masuk ruang UGD, koma tiga hari. Gue nggak akan bisa bertahan di posisi itu untuk kedua kalinya!" ujar Rutha berapi-api. Dia menepis tangan Bagas dari pundaknya.

"Gas, buruan! Udah harus dimulai!" teriakan Riki menginterupsi percakapan Bagas dan Rutha.

"Sebentar, Ki!" balas Bagas tak kalah teriak.

Bagas kembali menatap Rutha. Perlahan tangannya menjauh dari pundak gadis itu. "Kali ini aja, Tha. Lo doain gue ya," ujarnya seraya mengacak rambut Rutha pelan.

Rutha memejamkan matanya sejenak. Dia mencengkram lengan Bagas. Namun laki-laki itu kian menjauh darinya.

Setelah membuka mata dan mendapati Bagas berjalan menjauh, Rutha lantas berseru tajam, "Nggak, Gas! Berhenti!"

Bagas menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Rutha. "Maaf, Tha, tapi gue tetep bakal ngelakuin ini," ucapnya lalu kembali melanjutkan langkah.

Rutha menjambak rambutnya frustrasi. Apa yang harus dia lakukan agar Bagas menghentikan rencananya?
Ketika tidak ada ide lain yang dia dapatkan, Rutha berusaha mengatur napasnya agar kembali normal. Dipejamkan matanya sejenak sebelum dia kembali berteriak, "KALO LO TETEP NEKAT BALAPAN, KITA SELESAI, GAS!!!"

Bagas kembali menghentikan langkah. Tertegun lama sebelum berbalik dan menatap Rutha dengan pandangan yang sulit dibaca karena penerangan yang minim.

Sebagian dari diri Rutha berjingkrak kegirangan karena berpikir Bagas akan kembali ke arahnya dan membatalkan balapan.

Namun dirinya terempas ketika Bagas berkata, "Sekali lagi, maafin gue, Tha." lalu dia kembali melanjutkan langkahnya menuju kerumunan itu, meninggalkan Rutha dengan harapannya yang jatuh tanpa peringatan.

Rutha memejamkan mata, berusaha menahan keluar butiran-butiran bening yang mengaburkan pandangannya. Namun usaha itu tidak sepenuhya berhasil, air mata tetap menetes tanpa bisa di cegah. Tubuhnya terguncang keras seiring dengan isak tangisnya.

Amnesia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang