Lo tahu gak sih, capek deh seminggu ini dikacangin sama sahabat sendiri. SAKIT HATI HAYATI. Lelah, cuy.
Akhirnya, siang ini gue berhenti untuk mencoba ngajakin Mauren dan Daren ke kantin bareng. Toh, mereka bakal nolak kayak yang biasa mereka lakukan seminggu belakangan.
"Ren, sendirian?" gue mendongak. Oh, Ares.
"Kayak yang lo lihat," jawab gue singkat sambil memasukkan sesendok baso ke dalam mulut, memasukkannya bulat-bulat tanpa dipotong terlebih dahulu. Enakan kayak gini.
"Gue boleh duduk di situ ga?" tanya Ares sambil menunjuk kursi di sebelah gue dengan dagu. Gue mengangguk. Duduk aja, ini kantin bukan punya gue, maupun punya kerabat gue.
"Gimana lo sama Mauren?" tanya Aren membuat rasa baso di dalam mulut gue terasa hambar seketika. Gue sedikit merasa mual karena topik pembicaraan ini.
"Ga gimana-gimana," jawab gue seadanya, masih asyik menyantap baso dan segelas es teh lemon yang gue pesan. Enak cuy.
"Yang sabar ya." Ares menepuk bahu gue.
"UHUK!" gila! Dia gak sadar apa kalau dia barusan 'menepuk' dengan kekuatan 'menabok'? Anjir, gue sampe keselek. Untung gue gak mati. 'Kan gak lucu kalo di headline koran ada tulisan; seorang siswi meninggal karena tersedak baso saat bahunya ditepuk oleh temannya. Garing abis.
"Eh, maaf!" Ares buru-buru menggeser gelas teh lemon punya gue untuk lebih dekat ke tangan gue supaya mudah gue jangkau.
"Santai." Gue cengengesan. Ares menunduk dengan wajah bersalah. "Muka lo kenapa kek gitu, njir."
"Gapapa, hehehe," ujar Ares. Kami berdua pun mengobrol tentang berbagai macam hal. Hingga tak terasa bel berdering dan pelajaran pun dilanjutkan.
***
Sore pada hari Kamis.
Gue pulang sendirian. Seperti biasanya. Tapi coba deh pikir. Masa' si Ares tadi ngomong gini, "maaf ya Ren, gue gak bisa nganterin lo pulang."
Lah, padahal kan gapapa. Dia bukan siapa-siapa gue. Sahabat bukan. Sodara bukan. Ojeg juga bukan.
Tapi kalo mau jadi ojeg sukarela gue sih gapapa, hehe. Bisa menghemat pengeluaran gue, apalagi ada novel-novel wattpad yang gue suka mau diterbitin bulan ini. Asik, gue harus beli!
"Neng? Mau kemana neng?"
Gue meneguk seliter liur yang ada di mulut gue. Ya Tuhan, ini orang siapa? Badannya gede amat, serem pula. Ya Lord, tolong Karen.
3 orang pria berbadan kekar dengan tampang berandal menggoda gue dengan seringai nakal mereka. Gue mundur selangkah. Preman-preman ini berjalan semakin mendekat.
"Gimana kalo kita coba? Enak juga nih cewek kayaknya!"
Bulu kuduk gue meremang. Anjir, nih preman mau ngapain gue?! Gue takut banget sumpah. Sekarang salah satu preman itu mulai ngedeketin gue. Gue gatau lagi harus ngapain.
Kaki gue gemetar. Gue takut anjir, sumpah. Kalau pun gue coba pukul mereka satu-satu, tenaga gue pasti kalah. Gue cewek, dan poinnya adalah bukan hanya karena gue 'cewek' tapi juga gue gak bisa bela diri jenis apapun.
"TOLOOOOOONGGGG!!!" spontan gue berteriak minta tolong. "TOLONG! SIAPAPUN GUE MINTA TOLONG!"
Salah satu preman tersebut dengan sigap membekap mulut gue. Gue mulai terisak. Kenapa sih bisa ada preman di sini? Kan biasanya gak ada!
Mama, tolongin Karen. Karen gak mau diculik, huaaa.
Air mata gue mulai meremang. Preman yang membekap mulut gue juga mengunci gerak tangan gue. Gue gak bisa ngapa-ngapain. Sialan nih preman. Gue laporin Mama baru tahu rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Mine
Teen Fiction[WARNING: contain cheesy things]. Karen mengalah pada cinta pertamanya, melepasnya demi menjaga keutuhan tali persahabatannya. Kedua kalinya, Karen tidak sengaja jatuh cinta pada cowok yang bahkan tak ia ketahui namanya. Semesta selalu penuh kejutan...