Tell Me

630 44 6
                                    

Gue berjalan dengan canggung di sebelah Daniaal. Di sebelah cowok yang gue pengenin. Ya Tuhan, makasih banyak.

Akhirnya gue jalan sama Daniaal♡

Gue merhatiin wajah Daniaal. Alisnya tebel, gue suka banget sama cowok yang punya alis tebel. Hidungnya mancung, gue selalu suka sama cowok berhidung mancung. Cowok bertampang Arab itu bener-bener tipe gue banget.

Dan di sebelah gue berdiri Daniaal dengan tampang Arabnya yang bikin gue klepek-klepek sejak pertama kali ketemu.

Gue jadi menggelikan gini, deh. Ew.

Kami berdua memasuki gedung cinema. "Lo mau nonton apa?" tanya Daniaal.

"Gak tahu, gue jarang nonton. Jadi gue gak update tentang film-film gitu," jawab gue terus terang.

Katakanlah gue katrok, tapi ya memang benar, gue gak terlalu mengikuti perkembangan zaman. Gue bukan cewek yang kekinian amat. Gue lebih suka ke toko buku, terus beli novel yang bersinopsis menarik dan gue suka penulis dan genre cerita yang ditulisnya.

"Oh, kalo gitu lo mau nonton film comedy ga?" tanya Daniaal.

Gue mengangguk. "Mau mau aja."

Iya dong, mau-mau aja, asal nontonnya sama Daniaal gue mah mau-mau aja. MUEHEHE.

"Oke deh."

So, di sinilah kami berdua sekarang. Di dalam teater pemutaran film. Kami berdua menonton film yang benar-benar mengocok perut banget. Asli dah, gue ngakak nonton itu. Sumpah, kocak.

Gue jadi kayak orang iklan yha.

1 jam kemudian, film selesai. Kami berdua pun keluar dari teater.

"Makasih ya, Dan." Gue nyengir. Makasih buat hari ini. Udah gue diajakin jalan, gue dibayarin pula. Gue udah nolak, tapi dia maksa. Ya udah lah ya, mungkin ini yang dinamakan; rezeki gak bakalan kemana. Dan rezeki itu gak boleh ditolak. Muehehe.

"Makasih buat apa?" tanya Daniaal.

"Ya buat yang tadi lah," ujar gue.

Daniaal tersenyum, lalu mengacak-acak rambutku. "Sama-sama."

Deg.

Gesturenya bikin baper, njir.

Oh iya, tadi 'kan gue ke sini bareng Daren!

Gue meminta Daniaal menunggu gue sebentar. Gue mendial nomor Daren dengan segera. Tak lama kemudian, terdengar nada sambung.

"Halo? Kenapa, Ren?"

"Lo gimana sama Mauren? Udah baikan?"

"Baikan? Huh."

Gue bisa mendengar suara Daren yang seperti orang ilfeel, tapi sebenarnya tersirat luka di dalamnya.

"Serius, ah elah."

"Gue break, Ren."

"Lah, kok bisa? Baikan kek. Gue gak mau ya lihat sahabat gue diem-dieman."

"Paling juga Mauren bakal deketin si Daniaal yang temen lo itu."

"Jangan negative thinking gitu lah. Mauren tetep sahabat kita."

Gue gak tahu lagi deh harus ngapain.

"Yah, lo tahu sendiri dulu Mauren gimana, kan? Oh iya, lo lagi jalan 'kan? Jalan aja dulu. Bye."

Sambungan terputus. Gue memijit pelipis gue.

"Kenapa, Ren?" tanya Daniaal. Kami berdua berjalan ke pintu keluar utara mall.

Gue menggeleng.

"Ada masalah?" tanya Daniaal lagi.

Gue menggeleng lagi sambil menunduk.

Tiba-tiba Danial mengangkat wajah gue agar menatap wajahnya. Daniaal menatap manik mata gue dalam. Rasanya gue kayak tenggelam dalam tatapan teduhnya Daniaal.

Njir, ini perasaan apa sih?

Rasanya di perut gue kayak ada kupu-kupu yang berterbangan gitu. Padahal gue gak pernah sekalipun makan kupu-kupu. Lah, gue jadi ngelantur gini.

"Kalo ada masalah, cerita aja sama gue. Gue siap dengerin, kapanpun lo butuh gue." Danial mendekatkan wajahnya ke wajah gue, hidung kami bersentuhan. Daniaal tersenyum. Gue bisa merasakan hembusan nafasnya.

Anjir, lo mesti tahu, jantung kayak mau copot, cuy.

Teruntuk hati gue, dimohon untuk tidak baper. Karena gue cuma kagum. Camkan itu.

***

Ketika biasanya gue lagi curhat sama Mauren tentang apapun, sekarang Mauren justru entah lagi ngapain. Yang jelas, saat ini Mauren gak lagi bareng Daren.

Tau gak sih? Suasana kayak gini tuh aneh banget, deh.

Mauren dan Daren yang biasanya kayak badan gue dan kasur—nempel banget susah lepas—sekarang jadi sejauh Neptunus dan Matahari.

Ya Tuhan, semoga masalah mereka cepet selesai. Aamiin

Be MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang