Dua

190 33 12
                                    

Maria keluar dari café dengan wajah datar. Bukankah wajahnya memang seperti itu? Oke lupakan.

Terlalu lelah berjalan, Maria menghentikan langkah pendeknya di sebuah taman kota. Tidak terlalu kecil untuk sebuah taman. Taman itu terlihat tidak terlalu ramai mengingat waktu sudah berada di angka delapan malam.

Maria menghampiri kursi panjang yang tidak terlalu jauh dari sebuah danau buatan. Ia menatap lurus kedepan dimana ada beberapa orang yang juga sedang menikmati waktu mereka disana. Sepasang kekasih yang saling melempar pandangan, beberapa anak muda yang berjalan beriringan, dan ada juga sebuah keluarga yang anaknya terus melompat kesana kemari seperti seekor kangguru.

Semua itu mengingatkannya pada beberapa hal yang ia lewati begitu saja. Selama duapuluh tiga tahun hidupnya ia tak pernah memiliki kekasih, ia juga tak pernah memiliki teman, apalagi sebuah keluarga, rasanya Maria ingin menangis meraung-raung jika bukan di tempat umum seperti ini.

Dulu ia ingat masa kecilnya selalu diwarnai dengan kebahagiaan yang diberikan oleh orangtuanya. Sekecil apapun kebahagiaan yang diterima oleh Maria, ia selalu merasa bersyukur dan tak pernah mengeluh terhadap hidupnya.

Namun sekarang berbeda, semuanya berubah. Bagaikan tiupan angin semua kebahagiaan itu lenyap seketika, membuat ia tak bisa berkutik.

Maria tak menyadari benda liquid itu jatuh. Sampai sepasang tangan mencoba untuk menghapusnya.

Kevin

Siapa lagi orang yang selalu mengganggunya. Dia menghapus cairan bening itu dengan lembut. Kevin menghentikan gerakan tangannya di pipi Maria. Ia menatap dalam Mata hazel sang gadis di hadapannya.

"Menangislah." Kevin tersenyum sembari menggerakkan ibu jarinya pada pipi sang gadis.

Maria menatap ketulusan yang dipancarkan oleh iris mata Kevin. Maria mulai berkaca-kaca, ia tak pernah berpikir bahwa ada orang yang tulus seperti Kevin. Berkali-kali Kevin ia jatuhkan, namun Kevin akan bangkit kembali dan mulai mensejajarkan dirinya kembali.

Maria menangis setelah sebelumnya menghamburkan tubuh kecilnya pada Kevin. Ia terisak hebat dengan Kevin yang hanya bisa mengusap punggung rampingnya. Bagaimanapun Maria harus merasa ada orang yang masih menyayanginya.

Maria mengeratkan pelukannya dan semakin menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Kevin. Biarlah bajunya basah yang terpenting Maria sudah menganggap Kevin ada.

Haruskah aku membuka hatiku kembali?

-NWN-

Maria melangkahkan kakinya ke dalam kampus yang sudah dua tahun ini ia pijak. Sebenarnya Maria sudah tak memiliki semangat belajar bahkan untuk keluar dari rumahnya saja dia enggan. Tapi semua ini ia lakukan untuk neneknya yang sudah merawatnya. Setidaknya ia harus membuat sesuatu yang berkesan.

Maria hanya menatap lurus papan tulis di hadapannya tanpa ada niat mendengarkan ocehan sang dosen.

Maria kembali berselancar pada kejadian kemarin malam saat ia menangis di hadapan seseorang untuk pertama kalinya. Maria berpikir bagaimana bisa Kevin begitu mencemaskan keadaannya sedangkan dirinya saja tidak peduli.

Maria terus memikirkan Kevin sampai dosen tua itu keluar kelas dengan dihadiahi teriakan merdeka dari seluruh mahasiswa.

Apakah ia harus berterima kasih pada Kevin?

-NWN-

Maria melangkahkan kakinya menuju pekarangan halaman belakang kampus. Disana tidak begitu banyak orang, ya mungkin hanya beberapa orang yang ingin mencari ketenangan seperti Maria.

No Words Needed [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang