Empat

119 27 4
                                    

Maria berjalan di antara keheningan malam dan juga dinginnya suhu udara saat ini. Maklum saja, saat ini sudah memasuki musim dingin.

Maria baru saja pulang dari tempat part time kerjanya. Sebelumnya Kevin menawarkan tumpangan jemputan untuknya, hanya saja Maria menolak dengan alasan Ia bisa naik bus.

Tapi karena mungkin hari ini memang bukan harinya sehingga ia telat dengan bus terakhir dan mengharuskan ia berjalan.

Melbourne adalah kota yang indah pada malam hari. Dinginnya udara malam tak menyurutkan keinginan mereka untuk keluar dari rumah mereka yang memberi kehangatan.

Soal rumah yang memberi kehangatan, Maria jadi teringat kisah hidup masa lalunya. Rumahnya yang dulu, kedua orangtuanya. Ah, kedua orangtuanya. Sudah berapa lama ya ia tak bertemu mereka? Rasanya sudah sangat lama. Maria tersenyum miris membenarkan atau memang benar.

Bagaimana ia merengek. Bagaimana ia tersenyum. Bagaimana ia tertawa. Bagaimana ia menangis. Semuanya tersusun sangat rapih dan sangat tak mungkin untuk dilupakan.

Maria terlalu sibuk berjalan sehingga tak menyadari seseorang berlari berlawanan arah menghampiri dirinya.

BRAK!!

Maria menutup matanya meresapi rasa sakit dari pergelangan lengannya yang tertabrak seseorang. Maria menoleh untuk melihat dan mungkin memaki orang yang tak tahu diri itu.

Maria tak tahu harus berbuat apa. Tenggorokannya terasa tercekat dan sulit untuk menelan salivanya sendiri. Terlalu kering.

Tidak. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi. Orang itu...

"... ayah." Lirih Maria.

Pria paruh baya itu menoleh dan mendapati seorang gadis yang menatapnya dengan pandangan terkejut. Pria itu terkejut sedetik kemudian setelah mengenali sang gadis.

Maria merasa pandangannya mengabur. Matanya berair.

... Maria bahagia mendapati seseorang dalam masa lalunya telah kembali.

Maria menatap pria paruh baya di depannya itu dengan pandangan yang tak teralihkan. Ia bersyukur bisa melihatnya kembali.

... Jika waktu tak terlalu kejam, tolong ijinkan ia bertatap wajah dengannya walau hanya sebentar.

Saat Maria akan memanggilnya kembali, pria paruh baya itu sudah pergi berlari menjauhinya.

... Ada sepercik perasaan kecewa dari dalam dirinya saat bertemu dengannya lagi, ia sadar bahwa ia membenci pria itu.

Maria berdiri lalu menghapus tetesan air mata yang mulai mengalir di kedua pipinya. Namun air matanya bukan berhenti melainkan semakin deras.

"Bodoh. Kenapa kau menangisinya?"

... Sampai kapanpun Maria berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia membencinya. Kenyataannya takdir adalah takdir. Sesuatu yang tak pernah bisa di hindarkan.

Malam itu Maria tak pulang kerumah.

-NWN-

Maria berjalan memasuki pekarangan rumahnya dengan jalan yang sempoyongan.

Tok tok tok

Maria mengetuk pintu rumahnya dan sedetik kemudian tampaklah sang nenek dengan pandangan yang terkejut bukan main.

"Maria!!" Wanita paruh baya itu membawa sang cucu memasuki kamarnya.

Wanita paruh baya itu tak bodoh untuk tidak mengenali bau yang menguar dari mulut cucu cantiknya itu. Wanita paruh baya itu menangis dalam diam sembari membawa sang cucu menaiki tangga.

No Words Needed [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang