Enam

97 23 2
                                    

Ini sudah terhitung lebih dari lima bulan ia berada di tempat yang penuh dengan bau obat yang begitu menyengat.

Sebenarnya Maria bisa saja menolak untuk berada disini. Namun, entah kenapa mengeluarkan satu kata saja rasanya sangat sulit.

Kini Maria tengah duduk dengan ditemani semilir angin di halaman belakang rumah sakit. Sendirian. Ya, sendirian. Karena seramai apapun keadaan, Maria akan tetap sama. Kesepian.

Pandangan Maria menatap lurus beberapa orang yang berlalu lalang di depannya. Seorang wanita yang tengah meronta di antara dua orang perawat lelaki. Seorang pria yang tengah menangis sesenggukan namun sesekali ia tertawa lepas. Dan terakhir adalah seorang pria yang menghampirinya.

Entahlah, namun Maria merasa tak asing dengan pria paruh baya yang kini mendekat ke arahnya.

Semakin dekat, dan semakin jelas siapa pria paruh baya itu.

Dia...

"...ayah." Maria berucap lirih namun masih bisa terdengar dengan jelas.

Pria paruh baya itu tersenyum. Berulang kali ia mencoba untuk tidak menangis di hadapan puterinya itu. Ia tak sanggup. Sehingga air mata itu jatuh dengan indahnya.

"Hai sayang."

Suara itu. Suara yang amat Maria rindukan. Suara yang terdengar tenang namun parau. Suara yang mengalun indah di kedua telinganya. Maria tidak bohong. Ia merindukannya. Namun egonya mengalahkan semuanya.

Maria mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia sedang berusaha menahan air matanya untuk tidak terjatuh, karena jika kalian melihat lebih dekat air mata itu sudah menggenang di pelupuk matanya yang siap jatuh kapan saja walau hanya dengan sebuah kedipan.

"Maria."

"..."

Pria paruh baya itu duduk di bangku panjang yang berada di sebelah kursi roda Maria. Pria itu menghela nafas berkali-kali, mencoba untuk memikirkan rangkaian kata yang akan ia keluarkan.

"Apa kabar sayang?"

"..."

Pria paruh baya itu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Puterinya bahkan tak ingin meliriknya atau bahkan untuk menjawab pertanyaannya.

"Ayah.. ayah minta maaf atas kejadian beberapa tahun lalu. Ayah tahu ayah salah. Ayah tak memikirkan perasaanmu. Ayah lebih mementingkan ego ayah waktu itu. Ayah.. ayah menyesal."

Bibir tipis itu bergetar menahan tangis.

"Ayah selalu berharap pada tuhan untuk memutar waktu kembali. Tapi ayah sadar, tuhan pasti membenci ayah karena telah menyakiti malaikatnya."

"..."

"Ayah minta maaf tidak pernah menemuimu. Ayah minta maaf karena tidak pernah ada untukmu."

"..."

"Ayah tidak ingin kau memaafkan ayah. Ayah hanya ingin kau tahu bahwa ayah sangat menyayangimu."

"..."

Cukup. Maria tidak tahan lagi dengan semua ini. Ia menumpahkan semuanya. Tangisnya pecah seketika. Ia sakit, sakit saat ayahnya menyalahkan dirinya sendiri seperti itu. Seharusnya Maria juga sadar bahwa ia juga telah egois karena tidak memaafkan ayahnya sendiri dan lebih memilih untuk membencinya.

Pria paruh baya itu menatap punggung sempit milik puterinya. Di dalam lubuk hatinya, ia ingin sekali untuk memeluknya, memberikannya sebuah kehangatan yang tak pernah ia berikan.

"Apakah pantas kau disebut ayah setelah apa yang kau lakukan padaku? Apakah pantas kau menampakan kembali dirimu dihadapanku setelah bertahun-tahun aku memendam luka ini sendirian? Apakah pantas aku membencimu? Aku bahkan membenci diriku sendiri yang tak pernah bisa membencimu."

No Words Needed [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang