[10] Is that you?

110 12 2
                                    

Happy reading mate🖤
——————————————————

Suasana di five junction kota sebutan MAKMUR ini makin ramai seiring matahari makin tenggelam, mempersilahkan para lampu untuk hidup dengan warna kalem untuk memberi pencerahan bagi para pengguna jalan.

Detik ketigapuluh sebelum lampu hijau tampil adalah momen paling aneh selama puluhan kali aku menjumpai lampu lalu lintas diberbagai tempat. Aku nggak tau apa yang aneh. Tadi setelah aku diwawancarai sejam sementara Bagas cuma sepuluh menit—ternyata wawancara itu cuma alibi untuk mengetahui seluk-belukku—, aku harus mengelilingi dua sekolah sekaligus dua kali untuk mencari Sheva dan Fathony yang lagi-lagi membegal motorku tanpa ijin, jadi aku baru pulang sekitar jam lima sore, seperti saat ini. Tapi kali ini Bagas nggak bareng aku kayak biasanya, dia pergi entah kemana.

Detik kesepuluh. Sumpah demi Tuhan. Aku mulai merasa takut sekarang. Kenapa sih?

Detik ketujuh. Sebulir keringat dari dahiku menetes ke kerah jacket kulit yang aku kenakan. Nafasku mulai sesak dan jantungku berpacu.

Tuhan, ini kenapa? Badanku tiba-tiba down tanpa sebab. Apa mungkin ada hal buruk yang—

Detik ketiga. Suara klakson dari mobil muai saling menyahut.

Detik kedua. Beberapa motor mulai meluncur, saling menerobos, saling mendahului.

Detik habis. Lampu hijau mulai muncul dengan angka duapuluh lima. Aku melajukan motorku perlahan. Ya, pelan. Karena semua telapak tanganku basah dan licin oleh keringat.

Aku melaju pelan tanpa mempedulikan klaksonan kendaraan dan beberapa glayeran yang dilontarkan ke aku.

Selamat. Yah... selamat.

Namun tepat di pertigaan depan pasar Soekarno, perutku bergejolak hebat hingga motorku hampir limbung bila tidak cepat-cepat aku pinggirkan motorku ke trotoar.

Nggak, aku nggak muntah. Cuma aku nggak bisa berdiri. Jadi aku jongkok disana sambil menekan perut dan membungkam mulutku. Badanku menggigil dan rasa takut luar biasa menghantam mentalku.

Aku paksakan tanganku merogoh saku untuk mengambil hp dan mendial kontak speedcall disana. Aku jatuhkan hapeku di pangkuan yang sudah aku loudspeaker sementara tanganku mengatupkan mulut dengan rapat.

"Hallo. Andra? Kenapa? Tumben telfon?"

Aku mengerang merasakan sakit diperut yang mulai merambat ke dada dan kepala.

"Kak Bayu..." kataku lirih, amat lirih dan bahkan tercampur dengan rintihan

Namun orang diseberang mengetahuinya dan langsung membanjiri pertanyaan.

"Aku kumat, Kak..."

Dan dikegelapan malam aku menangis menahan sakit yang sudah empat tahun nggak aku rasain lagi.

Be Transsexual©PineAppler08

"Aku nggak mati, Kak!"

Sumpah. Ini tanggungan siapa punya kakak sebiadap dia. Dari dua minggu lalu Kak Bayu selaluuuu nanya begini, 'Kok belum mati?', 'Ini Andra kan? Bukan yang lain?', 'Mati, nggak?!'

Dan yang terakhir itu paling bikin sakit hati, soalnya pake nada merintah. Ya bayangin ada kakak kamu merintah kamu cepet mati.

"Maksudku mati itu kepribadianmu, Ndra. Astaga. Nethink aja kamu rek," tungkasnya dengan aksen Surabaya yang mantab

Aku cuma ngerucutin bibir kalo Kak Bayu njawab begitu. Gara-gara kejadian dua minggu kemarin, alias kejadian dimana aku dilarikan ke rumah sakit kejiwaan tepat pada malam itu, Kak Bayu yang sepenuhnya ngurus aku.

Be TranssexualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang