[15] Mas Bayu Yang Lutju

92 9 0
                                    

Don’t forget to appreciate my story with vote, comment, and save this to your library

Happy reading~
🍜
______________________________________

Pagi harinya pun matahari menerangi dengan terik, seperti biasa. Bibirku sempat bergumam mengeluh saat memasuki kamar Mas Bayu dengan setumpuk pakaian yang aku angkut untuk dicuci, ternyata dia belum bangun juga. Segelas air putih di atas nakas pun belum disentuh. Kebo banget. Pengen aku saplak wajahnya yang keliatan bloon ini, tapi kasihan. Lelap banget eskpresinya.

Setelah memasukkan semua cucian ke mesin cuci pun aku sekalian membersihkan diri. Lagi-lagi mencoba menggosok sekeras mungkin bercak kissmark di badan, sampe perih tapi ga sampe berdarah. Aku menggeram sebel karena kelebatan kejadian memalukan itu masih segar diingat di otakku. Kedua tangan refleks memeluk tubuh karena marah dan malu. Sampai aku selesai mengeringkan tubuh dan lengkap berpakaian pun aku masih kepikiran itu semua. Gimana ekspresi Mas Bayu kalo tau aku udah engga perawa—perjaka lagi? Aku meringis waktu ngebayangin itu. Dia pasti bakal kecewa banget. Dia sayang banget sama aku. Dia rela ngelindungin aku selama ini, padahal aku bukan saudara sedarah-dagingnya.

“Kenapa aku gabisa jaga diri?” gumamku lirih pada rentengan jemuran basah yang baru aku tata

“Kenapa aku selalu bikin masalah besar?” gumamku pada teflon dimana aku sedang memasak sarapan, nasi goreng jamur dan tahu bulat mie krispi

“Kenapa aku masih belum bisa mandiri?” lalu gumamku pada tanaman-tanaman hias yang aku siram

Aku udah janji sama Mas Bayu kalo aku gaboleh benci sama diri sendiri. Tapi gimana caranya aku engga benci kalau diri ini aja begitu lemah, payah, ga ada guna. Sudah berapa jam juga aku asik ngelamun? Aku ga sadar. Hari ini walaupun cuaca sangat cerah, hatiku yang engga cerah. Aku terus-terusan ngerasa terbebani, padahal bukan cuma aku yang mendapat masalah disini. Tapi seolah-olah semuanya cuma aku yang bisa nyelesaiin.

“Cantik! Suit suit~”

Siulan itu yang membuat kepalaku autonoleh, mendapati Bagas cengar-cengir menyandarkan lengan dan kepala di atas pagar kayu bagian samping rumah Mas Bayu ini. Aku mengernyitkan dahi. Memang udah lama sih Bagas tahu kalau aku tinggal di rumahnya Mas Bayu, jadi kita engga tetanggaan lagi dan Bagas jadi sering berkunjung kesini. Tapi baru kali ini dia menyapaku tidak melalui pintu utama.

“Bagas?” aku mematikan keran air ditanganku, mendekatinya, “Tumben kesini pagi-pagi? Ada apa?”

Cowok berambut hitam legam itu malah menyeringai jahil, “Wajah lu kusem amat sih, Ndra! Senyum dikit dong!”

Langsung aku sabet legannya dengan sarung tangan latex yang aku copot dari tanganku, mendengus sebal, membiarkan Bagas yang kini menggeram marah karena kotoran dan tanah pada nempel di tangannya, “Masuk yuk! Aku barusan masak nasi goreng jamur,” ajakku membuka pintu gerbang kayu itu

Bagas langsung memelototiku, “Astaga, Ndra, gue puasa! Tega bener ngegoda gue di hari-hari panas gini,” tapi tetep mengikutiku masuk

Kini aku yang melotot, “HAH? Seriusan? Emang ini udah tanggal berapa? Kok aku ga denger sahur-sahurnya?”

“Lu aja yang asik molor, Ndra! Makanya jangan kelon sama Mas Bayu mulu!”

“Ih aku ga pernah tidur bareng sama Mas Bayu, Bagas! Aku tidur sendiri! Aku udah bilang berapa kali?!”

“Gue ga percaya. Orang lu cemen kayak gitu, ngeliat jangkrik aja—AARGH!”

Tepat ketika memasuki ruang makan—yang berbatasan dengan halaman belakang—aku mencubit perutnya karena sebal akan ocehannya. Bagas terkapar di kursi sambil mengelus-elus perut berbalut kaosnya yang naas, sedangkan aku ngembaliin peralatan berkebun ke gudang sebentar. Balik-balik dia lagi ngescroll layar ponselnya.

Be TranssexualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang