Stres

9 1 1
                                    

Tak terasa sekarang sudah memasuki tahun baru 2013. Hari-hari ku berlalu begitu cepat sejak ada dirinya. Kebahagiaan terus datang padaku. Indahnya hidup ini. Tapi keindahan itu tidak sepenuhnya datang. Awal tahun baru 2013 ini, itu tandanya sebentar lagi aku akan menempuh Ujian Nasional. Ya, sebentar lagi. Waktu memang begitu cepat berlalu. Di hari pertama masuk sekolah, ada seseorang yang sudah sangat merindukan aku. Hahaha cie sekarang ada yang kangen sama aku. Udah gak berasa sendiri lagi nih. Hahaha

Kkkrriiinngg kkkrriiinngg kkrriingg alarm HP-ku berbunyi. Tanda untuk bangun dan bersiap ke sekolah. Pagi ini entah kenapa aku merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Aku lebih bersemangat ke sekolah. Mungkin ini karena dirinya. Tapi tak apalah. Senang rasanya merasakan semangat untuk ke sekolah. Apalagi ini sudah bulan-bulan yang sulit. Sebentar lagi seluruh siswa siswi kelas IX kan akan bertempur dan berjuang untuk masa depan masing-masing. Semoga aja sih aku sama Tama bisa satu sekolah lagi. Aamiin.

Sesampainya disekolah. Aku duduk dan menaruh tas di bangku aku. Aku melihat ke bangku sebelah, tetapi masih kosong. Tumben dia belum dateng, jangan-jangan dia kesiangan lagi. Sudah hampir bel masuk berbunyi, tapi dia belum datang juga. Semoga aja hari ini dia masuk deh. Menit demi menit, detik demi detik berlalu, namun dia belum datang juga sampai akhirnya aku memutuskan untuk keluar kelas sebentar, mencari udara segar. Aku menuju ke DPR, alias dibawah pohon rindang yang merupakan tempat favorit anak-anak untuk berkumpul. Disana aku ngobrol sama temen-temen kelas. Entah sudah berapa lama aku berada di DPR ini, tapi dia belum muncul juga. Saat aku sudah benar-benar lelah menunggu dia, aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Saat aku mau turun dari panggung yang ada di DPR, saat itulah aku melihat dirinya. Iyaa, dia baru datang ke sekolah. Senyum ini langsung merekah begitu melihat dirinya. Dari kejauhan, aku melihat dia juga membalas senyumku.

Saat dia berada tepat di depanku, dia memberikan isyarat menggunakan matanya agar aku masuk ke kelas bersama dia. Dan entah kenapa aku langsung mengikuti dirinya dari belakang. Sesampainya dikelas, dia langsung duduk dibangku sebelah. Aku dan dia memang duduknya berdekatan. Setiap perpindahan tempat duduk, aku selalu satu arah sama dia. Jadi ya aku selalu bisa dekat dengan dia.

Lama banget Tam nyampe kesekolahnya. Kesiangan ya?, ledekku ke Tama.

Lah sok tau lu, Vit. Gue tadi nganterin ade gue kesekolah dulu. Nah kebetulan ade gue kesiangan, jadi ya gue ikutan kesiangan juga kesekolahnya, sanggahnya.

Emang kenapa, kok nanya gitu? Jangan bilang elu nungguin gue dateng ya?, tanya Tama padaku.

Deg Seketika jantung ini berhenti berdetak. Duh ketahuan deh. Aduh jawab apa ya gue? Kalo jawab jujur, nanti dia kesenengan lagi, debatku dalam hati. Saat itu juga aku salah tingkah. Entah aku mau jawab apa.

Gapapa kok, Tam. Cuma nanya aja. Emang gak boleh?, jawabku.

Iya gapapa sih, Vit. Yaelah gitu aja ngambek, ledeknya.

Baru aja hari pertama sekolah, baru aja ketemu udah debat aja. Haduh tiada hari tanpa debat ya. Tapi hal inilah yang aku rindukan. Aku rindu dia yang selalu gak mau ngalah. Aku juga rindu akan senyumannya. Duh banyak banget yang aku kangenin dari dia. Dia ngerasain hal yang sama gak ya? Mau nanya, tapi malu. Simpen di hati aja deh, daripada malu, kataku dalam hati.

Di bulan-bulan ini, seluruh siswa siswi kelas IX tengah sibuk untuk mempersiapkan pertempurannya di bulan Mei nanti. Berbagai persiapan juga telah aku lakukan, mulai dari belajar kelompok dengan Nida, Tama dan Ijul sampai ke latihan soal-soal sendiri dirumah. Aku takut banget untuk menghadapi UN nanti, termasuk Ujian Praktik, Ujian Sekolah, Try Out dan lainnya. Aku takut banget kalau hasilnya gak memuaskan. Aku takut nilai aku gak sesuai dengan harapan aku. Bulan-bulan in sungguh membuat aku stres berat, bahkan selera humor aku menjadi turun banget.

Menjelang UN, aku dan Tama memang saling menyemangati satu sama lain. Kadang, kalau aku sudah benar-benar stress dengan pelajaran IPA ini, dia menyuruh aku untuk sekedar beristirahat agar otak aku bisa mencair dan kemudian bisa menyerap ilmu lagi. Terkadang kalau sedang istirahat belajar seperti sekarang ini, Tama sering bercanda dengan aku. Dia selalu tahu persis bagaimana caranya membuat aku tertawa bahagia dan melupakan masalah yang sedang aku hadapi ini. Dia yang sangat mengerti bagaimana cara agar aku kembali ceria.

Saat Ujian Praktik Bahasa Indonesia, aku, Tama, Nida, Lia, dan Ijul satu kelompok lagi. Persiapan yang sudah kami lakukan jauh-jauh hari, akhirnya membuahkan hasil. Drama kami berhasil menarik banyak perhatian teman-teman kelas, bahkan sampai adik kelas. Saat itu, kelompok aku kebagian praktik saat bel istirahat berbunyi. Aku dapat peran Ibu yang Jahat, Nida jadi gadis penjual korek api, Tama menjadi seorang pelayan, Lia menjadi ibu peri, dan Ijul menjadi seorang tamu restoran. Drama "Gadis Penjual Korek Api" ini berhasil kami lakukan dengan baik. Saat aku ingin ganti baju, Tama memanggilku.

"Cie sekarang jadi lebih tinggi", ledeknya.

Jadi elu manggil gue cuma buat ngeledekin gue?, omelku dalam hati. Saat ini, aku memang sedang memakai wedges dengan tinggi 7 cm. Pantas saja dia meledekku seperti itu. Ngeselin banget sih nih anak satu. Aku yang kesal dengan pertanyaannya itu langsung menghampirinya.

"Lah iya dong. Gue udah hampir nyamain elu nih tingginya", jawabku.

"Dih biasa aja kali, Mbak. Galak banget", tukasnya dengan muka ngeledek.

Saat aku ingin pergi meninggalkan kelas, Tama kembali memanggil aku. Entah apa yang akan dia katakan padaku kali ini. Tapi kalau sampai dia meledekku lagi, aku akan melemparnya dengan sepatu ini.

"Akting lu bagus banget, Vit. Pas lu marah ke Nida, gue jadi takut sama elu. Elu tuh kayak ibu tiri yang jahat beneran tau", katanya.

Belum sempat aku membalas perkataannya, dia sudah bicara lagi.

"Elu juga cantik hari ini", tambahnya seraya pergi meninggalkan aku yang hanya bisa terbengong mendengar perkataannya tadi.

Dia pergi meninggalkan aku begitu saja dengan kata-katanya yang berhasil membuat aku tidak konsentrasi dan lupa untuk bernafas. Yang aku lihat dari dia saat pergi tadi hanyalah sebuah senyuman tulus. Ya, senyuman yang selalu bisa membuat aku lupa untuk bernafas. Senyuman manis dari bibirnya. Aku rindu sekali senyuman itu. Setidaknya senyuman itu bisa membuat aku merasa tenang dan nyaman. Tak lama setelah dia pergi, Nida datang ke kelas sambil membawakan aku minuman. Nida yang sempat melihat aku senyum-senyum sendiri itu pun langsung bertanya padaku.

"Kenapa, Vit? Kok senyum-senyum sendiri?", tanya Nida yang membuat aku tersadar dari lamunanku.

"Eh, Nida. Gapapa kok. Anu itu tadi... Gue abis ngerasa puas aja sama hasil tadi. Semoga aja nilainya bagus", jawabku yang terbata-bata.

"Gausah bohong sama gue. Gue udah kenal lama sama elu. Kalo gini, itu tandanya elu lagi berbunga-bunga kan?", goda Nida padaku.

Nida yang paling tahu tentang diriku, akhirnya merasa curiga padaku. Apa boleh buat, akhirnya aku kasih tau semuanya ke dia. Semuanya, termasuk kedekatan aku dengan Tama. Dan dugaanku benar, Nida pasti meledekku. Dia senang sekali mengetahui aku dekat dengan Tama. Awalnya dia kaget mendengarnya, seolah tak percaya dengan perkataanku itu. Tapi lama kelamaan dia mengerti.

"Terus elu udah jadian belum sama dia?", tanya Nida.

Pertanyaan yang cukup membuat aku terkejut sampai-sampai aku tersedak saat sedang meminum air pemberian Nida. Nida pun melihat tingkah aku yang aneh. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanda aku sudah menjawab pertanyaannya dia. Jujur untuk saat ini, aku tidak memikirkan hal itu. Sudah bisa dekat dengan Tama saja aku sudah senang, gimana kalau aku jadian sama dia? Wah pingsan kali ya aku? Hahaha...

Dua minggu telah berlalu, begitu juga dengan Ujian Praktiknya. Hari ini adalah hari Sabtu. Malam Minggu nih, asikk. Hari ini aku sudah sedikit lega, karena minggu-minggu yang melelahkan sudah selesai. Sekarang aku bisa beristirahat sejenak, menyegarkan otakku yang sudah hampir terbakar. Seperti biasa, aku dan Tama sedang saling berbalas pesan. Hari ini kami membicarakan masalah sekolah yang akan kami pilih saat sudah lulus nanti. Tama memilih untuk melanjutkan ke SMA, tapi belum tau mau SMA mana. Akupun juga memutuskan untuk melanjutkan ke SMA saja. Saat sudah hampir pukul 10 malam, tiba-tiba SMS dari Tama berubah menjadi serius. Entah apa yang akan dia bicarakan padaku.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang