Gadis itu berjalan tergesa gesa menyusuri koridor lantai dua sambil membawa tumpukan map di tangannya. Guratan wajahnya menampakan kelelahan yang abadi. Kecemasan perlahan mampir menelusup ke celah celah garis muka. Ia sampirkan pashmina hitamnya kebelakang bebarengan dengan hembusan nafas pendek. Ada sesuatu yang mengganjalnya sejak siang tadi.Langkahnya semakin cepat setelah ia melihat jam tangan melingkar di pergelangan tangan kanannya menunjukan pukul 4 sore. Ini jam pulang kerja. Seharusnya ia sudah berada di rumah. Sedang dia masih harus menyelesaikan laporan laporan ini. Laporannya selama beberapa bulan terakhir ini yang sempat terbengkalai. Belum lagi data input yang sudah seminggu ini belum terjamah. Lalu berkas berkas lainnya yang menunggu dikerjakan.
Akhir akhir ini Tsabit disibukan dengan beberapa tugas kantornya sebagai assisten manager di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang produksi elektronik. Belum lagi tugas tambahan lain yang terpaksa ia ambil alih, yakni laporan dari salah satu rekan kerjanya yang sedang mengambil cuti beberapa hari ini.
"Semua sudah di selesaikan. Bapak tinggal baca lalu tanda tangani saja" begitu kata Tsabit setelah memasuki ruang utama kepala manager perusahaan, Azka Syandana Prama. Ia duduk manis menyodorkan tumpukan map di atas meja.
"Sudah semuanya?"
Tsabit mengangguk.
"Bagus" komentar pak Dana--begitu Tsabit menyapanya. Pria maskulin itu mulai sibuk membolak balik map. Menelusuri point point terpenting dari tiap laporan. Suara berisik yang ditimbulkan dari lembaran kertas di tangannya menjadi pengisi keheningan keduanya.
"Ada kesulitan?"
Tsabit memainkan jemari di atas meja. Bibir tipisnya tertarik sedikit. "Ada, pak. Terutama pada laporan milik pak Idzar. Ada beberapa point yang saya bingung"
Alis Dana terangkat. "Apa saja?"
"Pada laporan rekapitulasi kehadiran karyawan pertahunnya. Seharusnya disana dicantumkan jumlah absensi secara keseluruhan. Tapi, saya tidak menemukan. Akhirnya saya coba input manual dari laporan absensi perbulan" jelas Tsabit.
"Sudah coba hubungi Idzar?" Dana meletakan map map itu di atas meja. Menatap Tsabit serius.
"Belum, pak"
"Sebaiknya setelah ini kamu hubungi Idzar. Konfirmasi ke dia tentang kesulitan tadi. Biar nanti setelah dia selesai cuti, segera diperbaiki. Dia harus tahu problem ini. Karena ini masih tugas dia"
Memang niatnya mau seperti itu. Malah bukan hanya membicarakan pekerjaan, tapi Tsabit juga ingin menginterogasi Idzar dan Aufa--yang kini resmi menjadi suami istri--tentang pernikahan mereka yang dilakukan mendadak dan diam diam. Betapa kagetnya Tsabit waktu mendapat telepon dari Diana, Sang ibu tiri, bahwa putrinya Aufa telah menikah dua hari yang lalu. Diana mengabari Tsabit sehari setelah pernikahan.
Dia merasa tidak dianggap. Padahal Tsabit juga salah satu orang yang berperan penting dalam perjalanan cinta Idzar dan Aufa. Mungkin bisa disebut mak comblang. Ya, walaupun pada akhirnya sang mak comblang juga harus merasa patah hati merelakan sang pria idaman. Ia sempat menaruh hati pada Idzar. Sejak pertemuan pertamanya di jalan besar kala itu. Ia juga harus berterimakasih kepada kemacetan dan mobilnya yang mogok. Karena dua moment menyebalkan itu membawanya bertemu sosok pria dewasa nan elegant seperti Idzar. Ketertarikannya bermula ketika ia hendak memberi uang tip atas bantuan Idzar memperbaiki mobilnya di tengah kemacetan yang luar biasa. Belum lagi teriakan serta umpatan para pengemudi mobil yang tidak sabaran. Tapi Idzar tetap tenang. Masa bodoh dengan mereka. Yang penting mobilku beres, begitu pikir Tsabit. Idzar menolak uang 100ribu pemberian Tsabit dengan alasan,
"mba cukup berterimakasih sama Allah, biar Allah yang memberi saya imbalan pahala dariNya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsabita Ilana
EspiritualDitengah kegalauannya menjomblo di usia yang udah gak setengah mateng lagi, Tsabit dihadapkan dalam situasi rumit. Menikah sama cowok ganteng, famous, anak konglomerat, tajir, siapa yang gak mau? Meskipun dia brondong sekalipun? Sayangnya Tsabit har...