*
"Baru tiga hari masuk kerja, udah kesiangan aja penganten baru." sahut suara dari balik ponsel yang dikepit antara telinga dan bahu.
"Ya maaf, Dzar. Tolong banget ya." jawab si penelepon sedang sibuk mengaduk nasi goreng pada wajan di atas kompor.
"Iya iya. Mau datang jam berapa sampai sini?"
Tsabit mengambil sesendok nasi untuk dicicipi, lidahnya mengecap-ngecap. "Jam sembilan atau jam sepuluh deh, kira-kira."
"Yaudah, aku catet ya. Lebih dari jam yang ditentukan, itungannya jadi Alfa, ngerti?"
"Ngerti, bos." Ada senyum merekah mengakhiri pembicaraan mereka. Tsabit melanjutkan kegiatannya di dapur membuat nasi goreng.
Pagi ini ia sengaja menyandera Sari dan Bu yati lagi di kamar lalu menyewa dapur untuknya. Sejak tiga hari ia masuk kerja, Tsabit merutinkan membuat sarapan pagi untuk keluarga. Ya, walaupun menunya tidak jauh dari nasi goreng, roti panggang sosis, dan nasi goreng lagi. Terlebih Arsa, untuk urusan makanan, dia bukan orang yang pemilih. Selama makanan tersebut bersahabat dengan lidahnya, tentu ia tidak menolak.
Berbeda dengan Kartika. Wanita itu tidak sembarangan dalam memilih makanan. Untuk pertama kali memang ia menikmati nasi goreng buatan Tsabit, tapi untuk seterusnya. Ia lebih memilih menkonsumsi oatmeal atau sereal sebagai menu sarapan paginya. Bukan karena tidak enak. Tapi Kartika menghindari sarapan berbahan nasi.
Pernah suatu hari, Kartika menemani bahkan membantu Tsabit memasak di dapur. Kejadian itu berlangsung sepulang Tsabit dan Arsa dari lapangan usai berolahraga. Awalnya Tsabit berinisiatif membuatkan Arsa sup kacang merah. Kemudian Kartika datang tibatiba melibatkan dirinya di dapur bersama gadis itu. Ia ingat sekali banyak wejangan serta nasehat yang dilontarkan Kartika pada saat itu.
"Nanti, kalau Arsa sudah bekerja di kantor papanya, sepulang dia bekerja, kamu sambut dia. Perbanyak senyum, lalu suguhkan air putih. Buat suami betah di rumah. Saya pernah mendengar istilah 'Rumahku surgaku'. Apa bahasa islaminya?" Tanya Kartika selagi mengaduk sup.
"Baiti Jannati, Ma." jawab Tsabit menyempatkan menoleh sambil tersenyum.
Kartika mengangguk. "Jadikan rumah sebagai surga. Dan seorang istri adalah bidadari penghuni surga tersebut. Arsa orang yang gampang kok. Dia makan apa aja mau. Makanya dia jarang sakit. Tapi sekalinya sakit, udah susah deh ngebujuk dia minum obat. Kamu ngerasain sendiri kan kemarin itu?"Bahkan masih terekam jelas di otaknya bagaimana perjuangan Tsabit membujuk Arsa minum obat. Sebagai seorang istri, Tsabit selalu berdoa agar Arsa tidak boleh sakit. Kalau Arsa sampai sakit, bencana besar untuknya.
"Kalau Arsa nya suka ngeselin? Aku harus gimana, Ma?" Celetuk Tsabit tanpa sadar. Ia buru-buru menutup mulut sambil menatap takut wajah Kartika yang sontak saja menoleh. "Maksud aku, kadang-kadang Arsa suka ngeselin gitu, Ma." Tawa kecil menahan malu menyertai.
Alih-alih tersinggung, Kartika malah tersenyum hangat. Ada yang berbeda dari wanita itu. Sosok Kartika tidak lagi menjadi sosok yang dingin dan menyeramkan bagi Tsabit. Malah, ia sudah seperti ibu keduanya setelah Liana. Semua interaksi yang menyatukan keduanya pun, berasal dari inisiatif Kartika sendiri. Dia yang memulai duluan mendekati Tsabit, menemaninya memasak hari ini, bahkan ia pernah meminta Tsabit mengajarkannya mengaji. Terakhir, Kartika terbangun tengah malam mengajak Tsabit Qiyamul lail di kamarnya. Tsabit menganggap bahwa hidayah tidak harus ditunggu. Tapi dijemput.
"Dari kecil, Arsa dimanja sekali sama mama dan papanya. Semua apa yang dia inginkan pasti diturutin. Sekali nggak diturutin, dia ngamuk. Jadi jangan heran kalo sikapnya kayak gitu. Mama aja kadang suka gak kuat sama keras kepalanya dia. Yang penting kamu banyakin sabar aja." Kartika melirik Tsabit sekilas, tangannya masih sibuk mengaduk. "Tapi, dia punya sisi berbeda. Di balik itu semua, Arsa adalah anak yang baik. Peduli sama orang. Kalau orang yang belum mengenal betul, pasti beranggapan Arsa itu kasar lah, sombong lah. Padahal dia kalau sudah sayang sama orang, apapun dia lakuin demi melindungi orang tersebut. Bedanya, kalau kebanyakan orang bilang, bahagia adalah dengan melihat orang disayangi bahagia meski bersama orang lain, bukan begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsabita Ilana
SpiritualitéDitengah kegalauannya menjomblo di usia yang udah gak setengah mateng lagi, Tsabit dihadapkan dalam situasi rumit. Menikah sama cowok ganteng, famous, anak konglomerat, tajir, siapa yang gak mau? Meskipun dia brondong sekalipun? Sayangnya Tsabit har...