Tsabit nampak mengaduk ngaduk bubur kacang hijau di hadapannya. Sambil menopang kepalanya di atas meja, ia nampak tidak berselera pagi ini. Buktinya, dari bubur itu hangat sampai menjadi dingin tetap tidak sesuap pun tersentuh ke mulutnya.
Sesekali ia menguap sampai matanya berair. Pemandangan itu menimbulkan tanda tanya Liana. Alih alih menanyakan keadaan Tsabit, malah menanyakan orang yang tidak menampakan dirinya.
"Arsa mana? Kenapa gak kamu ajak turun sarapan bareng kita" tanya Liana menyiapkan semangkuk bubur kacang hijau dengan tambahan santan tepat di meja yang kosong. Meja tersebut di sediakan khusus untuk menantu kesayangannya.
"Masih tidur" jawab Tsabit tak bersemangat.
"Ya dibangunin dong, sayang"
"Udah, ma. Tapi aku baru tahu, dia itu kalau tidur kayak orang mati" gerutu Tsabit masih mengaduk ngaduk bubur.
"Banguninnya kurang mesra kali" James ikut bersuara sambil terkekeh kecil. Tsabit memanyunkan bibirnya. Selera makannya semakin hilang pagi ini.
Jangan suruh Tsabit memperlakukan Arsa dengan perlakuan mesra nan menjijikan itu. Karena itu sama saja membunuhnya secara perlahan. Iya lah. Buktinya saja, sewaktu Tsabit membangunkan Arsa untuk sholat subuh berjamaah. Cara membangunkannya sih standard. Cukup dengan memberi guncangan di lengan sambil berkata "bangun. Sholat subuh". Alih alih bangun, ia malah membalik badan sambil merapatkan selimut.
Tsabit tidak menyerah, ia terus membangunkan Arsa setidaknya sampai pria itu membuka mata sedikit saja. Hasilnya sama saja. Tidak ada pergerakan sedikitpun. Wajar, kan kalau Tsabit mengatakan tidurnya seperti orang mati.Dan yang membuatnya gondok pagi ini adalah, ketika Tsabit memutuskan sholat subuh sendirian di kamar. Arsa bangun, lalu dengan entengnya dia berkata, "lo ngapain masuk kamar gue? Ngintip lo ya". Sambil melepas mukena, Tsabit berusaha acuh. Ia menganggap Arsa sedang mengigau.
"Eh, jawab. Lo ngapain sholat di kamar gue" Arsa duduk di tepi ranjang menghadap Tsabit. Tsabit menoleh. Menatapnya lama.
"Udah ngigonya?"
"Lo yang ngigo" tuduhan Arsa memancing Tsabit untuk berdiri sambil memeluk mukena beserta sajadah di tangan.
"Kamu" sahut Tsabit tidak terima. "Makanya kalau tidur jangan kayak orang mati. Sekalinya bangun, nyawa masih kemana tau. Pakai acara ngaku ngaku kamar orang lagi. Hellow, sejak kapan Arsa jadi penyuka warna pink?"
Arsa mengucek mata sekali lagi lalu menatap sekeliling kamar. Tak lama kemudian, ia kembali menatap Tsabit. "Terus kenapa gue bisa tidur disini?" Tsabit berdecak. Ini orang ngigo atau apa sih?
"Kayaknya pas tidur otak kamu ketinggalan di alam lain, deh. Atau nyawa kamu masih berhamburan dimana mana. Kamu perlu ke psikiater" Tsabit berjalan menuju rak menaruh mukena disana.
"Gue nanya apa dijawab apa. Gue serius ini"
"Kamu ini lupa atau apa sih? Kita sudah menikah. Dan semalam kamu tidur di kamar saya. Puas?" Tsabit berjalan keluar kamar. Meninggalkan Arsa ditengah kebingungan dengan wajah bodoh.
"Dan kita tidur satu ranjang?" Tsabit berhenti dalam keadaan menarik handle pintu lalu menoleh.
"Engga. Saya tidur di karpet" setelah menjawab, Tsabit pergi menutup pintu kencang. Arsa tersentak lalu mengusap wajah.
Dan itu semua alasan mengapa Tsabit nampak tidak bersemangat pagi ini. Setelah Arsa meninggalkannya tidur, Tsabit tidak berani merebahkan diri di samping pria itu. Keberadaan Arsa dikamarnya sungguh membuatnya risih. Melupakan status baru mereka, akhirnya mau tidak mau ia memutuskan tidur di bawah beralaskan karpet, ditemani satu bantal dan selimut. Jangan harap ia bisa tidur nyenyak disana. Semalaman Tsabit tidak bisa tidur. Alhasil pagi ini, ia tidak berhenti menguap di atas meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsabita Ilana
EspiritualDitengah kegalauannya menjomblo di usia yang udah gak setengah mateng lagi, Tsabit dihadapkan dalam situasi rumit. Menikah sama cowok ganteng, famous, anak konglomerat, tajir, siapa yang gak mau? Meskipun dia brondong sekalipun? Sayangnya Tsabit har...