Ruangan itu tak ubahnya seperti kapal pecah. Meski ia sendiri belum pernah melihat langsung bagaimana rupa kapal yang pecah, tapi bisa dipastikan kondisinya tidak jauh berbeda dengan kamar ini. Kamar nuansa pink itu tidak terlihat seperti kamar yang dihuni seorang gadis. Nampak berantakan. Sprei mulai berpindah ke lantai, tidak lagi menutup rapenpat tidur berukuran king size itu. Majalah majalah yang berserakan di tempat tidur. Belum lagi kondisi laptop masih dalam keadaan menyala. Sepasang sepatu tidak lagi bersanding bersebelahan. Mereka harus terpisah oleh barang barang lain yang turut meramaikan kamar itu.Jika kamar itu bisa berbicara, mungkin ia akan meneriaki si penghuni berkat keteledorannya hari ini. Gadis si pemilik kamar itu sedang berada di kamar mandi. Tak sampai lima menit ia keluar dengan langkah tergesa gesa. Berganti pakaian dengan gerak cepat, kemudian memoleskan wajah dengan pelembab tanpa memakai bedak padat. Setelah itu ia memberi sentuhan terakhir berupa olesan lip balm pada bibirnya yang sudah merah sejak bayi. Itu berkat sang mama rutin mengolesinya madu alami. Ia juga tidak perlu memakai maskara. Sebab sejak lahir, Liana rajin menjilati bulu matanya dengan ludah basi, sehingga bulu mata Tsabit lentik dengan sendirinya. Selain itu Liana juga mengolesi kedua alis Tsabit dengan kemiri yang dibakar sebelumnya. Itu berguna agar alis bisa tumbuh lebat dan tebal. Dan masih banyak perlakuan rutin sang mama kepada Tsabit sehingga putrinya memiliki kecantikan yang alami.
"Alarm kamu kemana, emang? Kok bisa kesiangan gini?" Liana menyambut putrinya dari arah kamar menghampirinya. Ia dan suaminya sedang menikmati sarapan di ruang makan.
"Aktif, kok ma. Tapi tadi abis sholat subuh aku tidur lagi. Gak tahu kenapa tumben banget deh aku kayak gini" ungkap Tsabit agak ngos ngosan sambil mengambil dua tangkup roti tawar, satu buah apel, dan susu yang ia tuang ke dalam kantung plastik ukuran prapatan. Semua makanan itu ia taruh ke dalam tas, kecuali Roti. Liana dan James melihatnya terheran heran. Meski dalam keadaan terlambat, Tsabit tidak pernah melewatkan sarapan pagi sedikitpun. Baginya sarapan pagi adalah Raja.
"Mau pake sopir?" Tawar Liana.
"Boleh. Eh, tapi engga usah deh, ma. Pak Doyo gak bisa ngebut. Aku bawa mobil sendiri aja" Tsabit menyalami kedua orang tuanya tak lupa memberinya ciuman pipi kanan dan kiri.
"Boleh ngebut, asal pelan pelan" celetuk James menahan tawa. Tsabit mengelos sambil berkata, "kalo pelan pelan, bukan ngebut namanya, pa. Aku berangkat, Assalamualaikum"
Di awal perjalanan, Tsabit lega karena kondisi jalanan tidak begitu macet seperti biasa. Ia pun bebas menaikan kecepatan lalu melaju cepat menyusuri jalanan Raya Bogor. Sambil menikmati perjalanan, ia menyetel musik bernuansa islami lewat saluran radio. Kepalanya mengangguk menggeleng mengikuti irama lagu kesukaannya. Tak lupa dua roti yang ia siapkan sedang dinikmatinya. Kalau sedang tidak di buru buru, biasanya Tsabit iseng membuat video lalu mengunggahnya di media sosial. Anggaplah sebagai pengisi kemacetan. Tapi tidak untuk hari ini.
Sayangnya, kebebasan Tsabit tidak berlangsung lama. Tepat di 5km menuju kantor, kemacetan mulai terlihat. Justru ditempat yang jarang sekali macet. Tsabit berdecak dalam kemudi lalu melirik jam tangannya.
"Gak keburu ini mah" gerutunya sambil celingak celinguk menatap jalanan di hadapannnya. Untungnya, Idzar sedang berhalangan bekerja. Kalau tidak, mungkin ini menjadi keterlambatan kedua baginya. Dan sesuai janjinya waktu itu, jika Tsabit mengulangi keterlambatannya, SP II akan menyapanya lalu tersenyum manis.
Selagi menunggu pun, mobil tak kunjung maju. Ada apa sih? Semoga tidak ada kecelakan lalu lintas atau semacamnya yang menyebabkan kemacetan luar biasa ini. Tsabit melirik jam tangannya lagi.
"Hah! Udah jam segini aja" Tsabit terkejut melihat waktu menunjukan pukul 07:44, sedang apel dimulai pukul 8. Oke, Tsabit tidak bisa berdiam diri. Dimana mana menunggu itu selain membosankan, juga menyebalkan. Tsabit langsung menghubungi pak Wardoyo, sopirnya. Bukan untuk mengambil alih kemudi lalu mengantarnya, tapi untuk membawa mobil ini pulang. Tsabit butuh kendaraan roda dua alias sepeda motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsabita Ilana
EspiritualDitengah kegalauannya menjomblo di usia yang udah gak setengah mateng lagi, Tsabit dihadapkan dalam situasi rumit. Menikah sama cowok ganteng, famous, anak konglomerat, tajir, siapa yang gak mau? Meskipun dia brondong sekalipun? Sayangnya Tsabit har...