Gadis itu dengan wajah cerianya berjalan masuk ke dalam kelasnya sendiri. Sesekali dia menyapa teman-temannya yang dia lewati dengan kalimat, "selamat pagi," sebelum sampai di bangkunya. Gadis itu meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di bangkunya dengan tenang. Dia gadis yang selalu ceria. Tapi, tak ada yang tau, kan, apa yang ada dibalik keceriaannya itu?
Gadis itu baru berniat meletakkan tasnya yang semula di atas meja menjadi di kolong meja saat dia menyadari ada 'sesuatu' di kolong mejanya. Gadis itu meraba-raba kolong meja untuk meraih 'sesuatu' itu yang ternyata adalah setangkai bunga mawar merah. Gadis itu menoleh ke kiri-kanan berharap pengirim bunga ini ada di sekitarnya. Tapi, kenyataannya tidak ada.
"Wah, dapet bunga lagi ya, Bu?"
Seorang gadis lainnya datang dan bertanya dengan nada menggoda kepada gadis itu. Gadis itu hanya meletakkan setangkai bunga mawar merah itu di atas mejanya dan menjawab pertanyaan temannya itu.
"Iya, bunga lagi. Gak tau dari siapa. Ini bunga ketiga yang gue terima selama tiga hari belakangan."
Teman gadis itu tertawa kecil dan berkata kembali dengan nada menggoda. "Cie, yang punya penggemar rahasia."
"Penggemar rahasia? Kayaknya gak mungkin, deh. Paling cuma orang iseng." Jawab gadis itu dengan santainya memasukkan tasnya ke dalam kolong mejanya yang sudah kosong.
Nama gadis yang tampak selalu ceria itu adalah Aelke Mariska atau biasa dipanggil Aelke, sementara teman Aelke yang sedari tadi menggodanya adalah Nina Zatulini atau biasa dipanggil Nina. Mereka berteman dekat sejak Masa Orientasi Siswa sekitar 2 tahun lalu. Sekarang, mereka berdua sama-sama duduk di bangku kelas 3 SMA dan sebentar lagi mereka akan lulus SMA.
Sudah tiga hari belakangan Nina sibuk menggoda Aelke yang mendapat kiriman setangkai bunga mawar merah tiap harinya. Tak ada jejak sama sekali tentang siapa pengirim bunga mawar itu. Setidaknya, jika dia penggemar Aelke, dia tidak usah merahasiakan identitasnya karena bunga mawar kirimannya itu tidak akan mendapat balasan dari Aelke.
Nina duduk di bangkunya yang ada di samping bangku Aelke dan meletakkan tasnya asal di atas meja. Berbeda dengan Aelke yang sangat 'cewek', Nina lebih terkesan 'tomboy'. Tapi, itulah gunanya Aelke dan Nina berteman. Mereka bisa saling melengkapi walaupun, tak jarang mereka bertengkar hanya karena masalah sepele.
"Ini udah bunga ketiga, loh, Ke," ujar Nina tiba-tiba kepada Aelke yang terus memperhatikan setangkai bunga mawar merah yang berada di atas mejanya.
"Terus kalo udah bunga ketiga, kenapa emangnya?" tanya Aelke.
"Kalo dapet satu lagi, pasti dapet bonus piring cantik," ucapan Nina itu membuat dia sendiri tertawa. Sementara Aelke hanya memasang wajah muram dan berakting berpura-pura tertawa dengan nada sangat datar.
"Males, ah, gue ngomong sama loe. Nyebelin!" Aelke berkata tanpa menoleh ke arah Nina sedikitpun. Aelke meraih bunga mawar tersebut dan memasukkannya dengan sangat berhati-hati ke dalam kolong mejanya lagi.
"Mau gue bantu selidiki?" Nina menawarkan bantuan kepada Aelke namun, Aelke menggelengkan kepala. Menolak bantuan Nina.
"Enggak. Minta bantuan loe itu sama aja kayak minta bantuan sama setan. Gak ada untungnya, lebih banyak buntung."
Nina mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Aelke. "Tapi, berkat bantuan gue, loe bisa deket sama Rafael, kan?" Nina menaik-turunkan alisnya. Seakan meminta Aelke menghargai kemampuannya dalam hal mendekatkan seorang wanita dengan seorang pria. Bisa dikatakan 'mak comblang'.
"Deket gimana, maksud loe? Gue sama dia itu datar, Nin. Datar banget! Gue gak yakin kalo sekarang gue udah jadian sama dia. Dia aja gak pernah ngajak gue kencan atau semacamnya. Dia cuma ngajak gue ke kantin bareng doang beberapa kali." Kini, giliran Aelke yang mengerucutkan bibirnya dan membuat Nina terkekeh.
"Kan loe demen sama cowok kayak gitu, Ke!"
"Ya, awalnya gue emang demen sama gayanya Rafael itu tapi, setelah gue berhasil dapetin dia dan dia jadi pacar gue, entah kenapa gue malah ilfeel sama sikapnya yang sok banget gitu. Dia kan udah punya pacar, yaitu gue tapi, masih aja ngeladenin adek kelas yang naksir sama dia dan genit sama dia." Aelke melipat tangannya di depan dada.
"Putusin aja, deh, kalo begitu." Nina menyarankan dengan nada sangat santai.
"Nanti, deh, gue putusin dia kalo dia gak mau berubah."
"Kelamaan. Mending secepatnya biar loe bisa cepet cari penggantinya dia." Nina kembali menyarankan.
"Loe pikir mutusin orang itu gampang? Nanti, lah. Gue masih punya hati kali. Gue gak mau aja bikin dia galau gara-gara gue." Aelke menyandarkan punggungnya pada sandaran kayu bangkunya.
"Dia mah gak bakal galau kali. Udah tau penggemarnya banyak. Dia tinggal pilih salah satu buat jadi pengganti loe dan semuanya selesai." Ucapan Nina itu membuat Aelke menoleh ke arahnya dan melayangkan tatapan tajam kepadanya.
***
"Kalo loe mau deketin kakak kelas, loe gak malu apa disamain sama Raffi Ahmad yang demen sama ibu-ibu?" pertanyaan itu mengalir ke luar dari mulut seorang pria berambut berantakan yang tengah duduk mengangkat kaki ke atas kursinya di dalam kelas. Pria itu bernama Bisma Karisma atau dipanggil Bisma.
"Jangan samain gue sama Raffi Ahmad, dong! Kalo Raffi Ahmad, kan, pacaran sama wanita yang lebih tua sepuluh tahunan sama dia. Lah, gue, kan, mau deketin kakak kelas yang lebih tua cuma dua tahun dari gue," timpal pria berwajah oriental yang duduk di samping Bisma. Pria berwajah oriental itu bernama Morgan. Morgan dan Bisma duduk di bangku kelas satu SMA saat ini. Satu SMA dengan Aelke dan Nina yang adalah kakak kelas mereka.
"Kalo begitu, loe sama kayak Justin Bieber! Dia beda dua tahun, kan, sama Selena Gomez?" Bisma bertanya sambil memasang wajah polosnya. Morgan mengedikkan bahunya. "Mana gue tau. Bukan urusan gue juga."
"Tapi, loe gak beda jauh sama si Justin Bieber itu, kan? Suka sama yang lebih tua dua tahun dari dia?" Bisma kembali bertanya.
"Ah, bawel loe! Ngapain bawa-bawa Justin Bieber, sih? Sebenarnya, gue bahas apa, sih, sama loe?" Morgan malah balas bertanya dengan kesal. Bisma menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal sambil terkekeh. "Maaf, deh, Pak. By the way, emangnya tadi kita bahas apa?" Bisma lagi-lagi bertanya sambil memasang wajah polos.
Morgan sudah memasang wajah kesal dan hendak mencengkram Bisma jika saja dia tidak bisa menahan emosinya. Morgan mengatur nafas dan mengelus dadanya sebelum tersenyum tipis kepada Bisma.
"Gue mau deketin kakak kelas di sini," Morgan menjawab pertanyaan Bisma.
"Udah punya target yang mana?" tanya Bisma. Morgan bersyukur karena akhirnya, Bisma bisa menanyakan hal yang jauh lebih berguna daripada membahas tentang hubungan Justin Bieber dan Selena Gomez tadi.
"Nah, makanya itu. Loe harus bantuin gue tentuin yang mana yang menurut loe cocok buat gue." Morgan berharap-harap cemas kepada Bisma. Semoga Bisma mengerti dan tidak 'lemot' seperti tadi.
"Yang itu aja, tuh," Bisma menunjuk ke arah dua orang gadis yang baru saja berjalan melewati depan kelasnya. Tidak, Bisma tidak menunjuk kedua gadis itu. Yang Bisma tunjuk hanyalah satu orang, yang berada di paling kanan. Itu Aelke.
Morgan mengikuti arah jari dan pandangan Bisma hingga akhirnya Morgan melihat Aelke yang tengah berjalan bersama Nina sambil mengobrol. Morgan hanya melihat Aelke sekilas saat Aelke tiba-tiba saja menghilang terhalang oleh tembok kelas Morgan.
"Kenapa loe milihin yang itu ke gue?" tanya Morgan kepada Bisma.
"Karena dia sipit sama kayak loe. Kalo loe berdua punya anak, mungkin anak loe berdua punya mata segaris." Ucapan Bisma itu berhasil melayangkan sebuah toyoran dari Morgan ke kepala Bisma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Walk Away
FanfictionBeda dua tahun tak akan menghalangi perasaan mereka, kan?