3

175 16 1
                                    

Keesokan harinya, di sekolah, baru sampai di depan gerbang, Aelke sudah disambut oleh Rafael yang sengaja datang pagi untuk menjelaskan semuanya kepada Aelke. Aelke berusaha mengabaikan Rafael dengan cara berjalan cepat meninggalkannya. Namun, Rafael tetap mengejarnya.

"Aelke, please, maafin aku. Dia bukan siapa-siapa aku. Seriusan, deh." Ujar Rafael yang berusaha mengimbangi langkah kakinya dengan Aelke. Aelke tak merespon apapun dan memilih untuk diam.

Sesampainya di depan kelas, Aelke menghentikan langkahnya dan menatap Rafael yang masih setia menguntitnya. "Raf, loe dan gue itu udah gak ada apa-apa lagi. So, jangan deket-deket sama gue lagi! Sana kembali ke asal loe!" Aelke mendorong punggung Rafael agar menjauh dari kelasnya sebelum berlari masuk ke dalam kelas.

Rafael tidak masuk ke dalam kelasnya dan menguntit Aelke di dalam kelas Aelke karena Rafael masih ingat dulu saat dia hampir habis dipukuli anak kelas Aelke saat dia bertengkar dengan Aelke dulu dan Aelke meminta teman-temannya untuk melarang Rafael masuk ke dalam kelas. Saat itu, Rafael nekat masuk ke dalam kelas Aelke dan alhasil, Rafael ke luar dengan luka bonyok di pipinya. Rafael tidak mau kejadian itu terulang lagi jadi, Rafael menyerah untuk sementara.

Aelke duduk di kursinya dan hal pertama yang Aelke lakukan adalah meraba kolong mejanya. Aelke kembali mendapati setangkai bunga mawar merah di dalam sana. Aelke mengeluarkan bunga itu dan meletakkannya kembali di atas mejanya. Nina tampak belum datang. Nina memang seringkali datang saat menit-menit akhir sebelum bel masuk berbunyi.

"Serius, deh, bunga. Pengirim loe siapa, sih? Terus bunga ini ditujuin buat siapa? Buat gue atau emang ini bunga nyasar? Jangan bikin gue penasaran apa!" Aelke berujar sendiri sampai akhirnya Nina datang dengan wajah sangat ceria. Nina melihat bunga mawar yang ada di depan Aelke dan tertawa setelah itu.

"Kenapa loe ketawa?" tanya Aelke bingung.

"Bunga keempat, kan? Ada piring cantiknya juga gak?" tanya Nina yang membuat Aelke berdecak kesal. "Udah, deh, Nin. Jangan becanda, terus. Gue lagi serius ini!"

"Oke, deh, oke. Ini bunga keempat, ya? Gue juga gak ngerti maksudnya, sih. Tapi, kayaknya pengirim bunga ini itu penggemar rahasia loe, deh, Ke!" ujar Nina antusias.

"Tapi, kenapa gak ada surat gitu, sih, buat ngejelasin bunga ini dari siapa dan buat siapa?" Nina menjawab pertanyaan Aelke itu dengan mengedikkan bahunya. "Gue juga gak tau kenapa. Coba loe berdoa sepanjang malem biar dikasih pencerahan." Nina duduk di kursinya dan mengarahkan kursinya menghadap ke Aelke.

"Eh, iya, gimana sama loe dan Rafael? Lancar?" Pertanyaan Nina kali ini membuat Aelke melemas. Lesu.

"Gue udah putus sama Rafael." Jawab Aelke.

"Gimana? Gimana? Ceritain ke gue!" pinta Nina.

"Rafael selingkuh dari gue, Nin. Di dompetnya ada foto dia sama cewek. Mesra banget lagi." Aelke bercerita dengan singkat, padat dan jelas.

"Serius?" Nina memasang wajah tak percaya.

"Dua rius. Gue gak nyangka dia selingkuh dari gue. Gue kira dia setia." Aelke menundukkan kepalanya. Nina merasa simpati dan segera merangkul Aelke. "Sabar, Ke. Mungkin, dia bukan yang terbaik buat loe. Masih banyak yang baik buat loe di luar sana," Nina menenangkan sahabatnya itu. Aelke menganggukkan kepalanya setuju namun, tiba-tiba saja Aelke teringat sebuah hal yang membuatnya terlonjak.


***


Morgan datang terlambat untuk yang pertama kalinya dan sialnya, hanya dia yang saat itu datang terlambat jadi, dengan sangat terpaksa, pria itu diharuskan berdiri di depan tiang bendera sambil hormat sampai bel istirahat berbunyi.

Morgan menurut dan berdiri di sana. Sebelum memasang posisi hormat, Morgan terlebih dahulu memasang earphone di telinganya dan menyetel lagu-lagu kesukaannya sebelum benar-benar pasrah akan hukumannya. Lagipula, hukuman itu tidak terasa saat musik sudah menguasai seorang Morgan.


Di tengah pelajaran ke dua, Aelke berpamitan ke toilet kepada gurunya. Saat melintas di lorong yang berhadapan langsung dengan lapangan, Aelke terkejut melihat Morgan berada di sana. Di hukum tetapi, tidak ada penyesalan sama sekali di wajahnya. Morgan tampak memejamkan mata dan bibirnya bergerak. Dia sepertinya tengah bernyanyi dan menikmati musik yang terdengar di telinganya.

Namun, setelah beberapa menit Aelke memperhatikannya dan lupa akan tujuan awalnya ke toilet, Morgan membuka matanya dan menatap Aelke dengan santai. Morgan melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. Dan entah, kenapa, Aelke seakan membalas lambaian tangan Morgan itu dan juga tersenyum.

Aelke berjalan sedikit lebih dekat dengan Morgan dan bertanya, "loe kenapa dihukum? Telat, ya?"

"Enggak telat, kok. Cuma menghabiskan waktu lebih lama aja di jalan dan sampe di sekolah, bel-nya bunyi lebih cepat." Jawaban Morgan itu membuat Aelke tertawa. Morgan adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Aelke terus menerus tertawa saat ini.

Aelke sebenarnya masih ingin mengobrol dan menemani Morgan namun, guru piket itu berhasil membuat Aelke menahan keinginannya itu.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya guru itu yang ternyata sudah berada di belakang Aelke sejak tadi. Morgan dengan cepat melepaskan earphone-nya dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

"Maaf, Bu. Saya tadi mau ke toilet. Ya, ke toilet. Permisi, Bu." Aelke dengan cepat berjalan berlalu menuju ke arah toilet. Meninggakan Morgan yang tengah menahan tawanya.


***


"Loe ke toilet lama banget. Ngapain aja, sih? Ketiduran, ya?" tanya Nina sekembalinya Aelke dari toilet. Aelke yang sudah duduk kembali di kursinya menjawab sambil tersenyum. "Gue abis ngobrol sama seseorang tapi, sialnya, gue ketauan guru piket. Jadi, cuma sebentar, deh, ngobrolnya."

"Siapa?" tanya Nina penasaran.

"Adek kelas." Jawab Aelke sebelum bertopang dagu dan memandang lurus ke depan kelas. Padahal, pikiran gadis itu sedang tidak berada di dalam kelas saat ini.

"Siapa, sih? Jangan bikin gue penasaran, deh!" Nina mendesak Aelke untuk menjawab pertanyaannya. Belum sempat Aelke menjawab pertanyaan Nina itu, guru yang tengah mengajar di kelas mereka berdua menoleh ke arah Nina dan dengan wajah galaknya berkata, "saudari Nina, silahkan kerjakan soal nomor 3 di papan tulis."

Nina dengan wajah panik menoleh ke kiri kanannya meminta bantuan tapi, semua mengedikkan bahu. Tak mengerti dengan apa yang Pak Bayu kerjakan di depan kelas tadi, begitupun dengan Aelke. Aelke mana mungkin memperhatikan pelajaran saat ini.

"Bantuin gue!" ujar Nina kepada Aelke. Aelke mengedikkan bahunya tidak tau.

"Saudari Aelke, anda bisa mengerjakan soal nomor 4 di papan tulis bersamaan dengan saudari Nina juga." Aelke menggerutu kesal mendengar perintah itu sedangkan, Nina tersenyum penuh kemenangan. Setidaknya jika Nina dihukum, dia tidak akan sendirian.

Aelke dan Nina mengerjakan dengan sangat asal-asalan sehingga, mereka dihukum berdiri di luar kelas oleh Pak Bayu. Berbanding terbalik dengan Nina yang kesal karena dihukum, Aelke malah tampak bahagia. Gadis itu bahkan bersenandung ria sambil menatap lurus ke arah dekat bendera lapangan. Morgan masih di sana. Dihukum tetapi, menjalani hukumannya dengan sangat rileks.

"Aelke," Aelke mengalihkan pandangannya dari Morgan saat mendengar suara Nina.

"Kenapa?" tanya Aelke kepada Nina yang menatapnya dengan wajah mengintimidasi.

"Loe naksir Morgan?" tanya Nina yang membuat Aelke terdiam dan merapatkan bibirnya.

"Kenapa loe nanya kayak gitu?" Aelke bertanya balik.

"Loe seneng banget disuruh ke luar kelas dan ternyata, sampe di luar kelas, loe sibuk merhatiin Morgan." jawab Nina.

"Enggak, kok. Cuma liat doang gak berarti naksir, kan?"

"Kalopun naksir, gue, sih cuma mau peringatin loe kalo si Morgan itu punya banyak cewek di mana-mana."

"Kok loe tau?"

"Nanti juga loe liat sendiri."   

Don't Walk AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang