12

135 15 1
                                    

Hari ini, seperti biasanya, Morgan menjemput Aelke di kost-annya dan mengantarkan Aelke pergi ke kampusnya. Setelah itu, Morgan berangkat ke kampusnya sendiri yang memang tidak begitu jauh dari kampus Aelke. Lalu, Morgan akan menjemput Aelke nanti saat Aelke telah menyelesaikan kelasnya.

Hal seperti itu selalu saja terulang setiap hari. Terkadang, Aelke tak enak hati pada Morgan yang bertingkah layaknya supir untuk Aelke. Tetapi, Morgan mengatakan pada Aelke bahwa ini semua kewajibannya dan dia senang melakukan semua ini.

Aelke melirik dari melalui jendela kost-annya. Mobil Morgan sudah terparkir di depan sana dan Morgan tampak menunggu di dalam mobil. Aelke enggan ke luar karena dia malas menemui Morgan akibat kejadian kemarin. Tetapi, melihat Morgan sudah menunggu seperti itu, Aelke tak enak hati.

Aelke ragu-ragu untuk ke luar dari kamarnya sampai akhirnya handphonenya berbunyi. Pesan masuk dari Morgan yang isinya sebuah pertanyaan nan singkat, yaitu: masih lama?

Aelke juga membalas dengan cepat. Sungguh, dia malas menemui Morgan saat ini. Aelke butuh waktu sendiri untuk lebih membuat dirinya sendiri senang. Tidak tersiksa atau membeku karena kedinginan sikap Morgan.

Aelke membalas : gak usah jemput aku. Aku naik taksi.

Tak lama kemudian, Morgan membalas : okay.

Setelah itu, Aelke dapat mendengar deru mesin Morgan yang hidup dan berjalan menjauhi area kost-an Aelke. Aelke terdiam dan rasanya, dia ingin menangis saat ini. Bagaimana tidak? Dia sudah tidak tahan atas semua sikap Morgan. Sikap Morgan berubah sejak 2 tahun lalu. Saat semuanya itu terjadi.


--FlashBack--


"MORGAN!!"

Teriakkan itu tergema dalam pikiran Morgan. Bersamaan dengan itu, Morgan yang awalnya hanya diam dalam silau cahaya kendaraan yang melaju ke arahnya, tiba-tiba saja terdorong oleh sesuatu, atau bisa dikatakan seseorang.

Tak lama setelah itu, terdengar suara tabrakan yang cukup kencang dan yang Morgan lakukan saat tabrakan itu hanya diam. Diam melihat sahabatnya-lah yang menggantikan posisinya dalam tabrakan itu. Sahabat sejatinya, Bisma.

Morgan melihat sendiri saat mobil itu menerjang tubuh Bisma yang baru saja mendorongnya agar segera menepi. Mobil itu menerjang dengan sangat kasar sehingga tubuh Bisma terpental beberapa meter.

Dengan cepat, Morgan berlari seperti orang kesetanan menghampiri Bisma. Morgan memangku kepala Bisma yang tampak sulit untuk bernafas. Belum sempat mengatakan sepatah katapun, Bisma sudah memejamkan mata namun, nadinya masih terasa.

Morgan juga masih bisa melihat pria yang memukulnya itu masuk ke dalam mobil yang menabrak Bisma. Morgan berteriak dan hendak mengejar mobil itu tapi, dia tidak mungkin meninggalkan Bisma. Bisma..sudah sangat sekarat.

Beberapa puluh menit kemudian, ambulan datang dan hendak membawa Bisma menuju ke rumah sakit. Morgan berada di ambulan itu dan terus berusaha membangunkan Bisma yang kesadarannya telah hilang.

Padahal, belum ada setengah jalan menuju ke rumah sakit, saat seorang perawat memeriksa Bisma, dia menyatakan bahwa Bisma sudah tewas dan tidak berhasil di selamatkan.


-----------------


Aelke masih ingat kejadian itu karena dia juga berada di sana. Menyaksikan itu semua. Padahal, beberapa menit sebelumnya, dia tengah berbahagia atas hubungannya dengan Morgan. Dan kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Berbulan-bulan setelah kecelakaan itu, Morgan menjadi penyendiri. Dia sering menghabiskan banyak waktu di ruang musik sekolahnya daripada berada di kelasnya. Lalu, setelah ujian nasional berakhir dan Morgan di terima di salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia, Morgan juga masih Morgan yang sama. Masih Morgan yang penyendiri. Hingga saat ini.

Tetapi, Morgan masih menjaga hubungannya dengan Aelke. Morgan masih menghubungi Aelke. Morgan masih mengunjungi Aelke. Walaupun, tidak membawa kebahagiaan seperti dulu, saat awal-awal mereka bertemu.

Dan sekarang, Aelke makin tidak tahan oleh semua itu. Dia sudah cukup sabar selama dua tahun ini menghadapi tingkah Morgan yang benar-benar sulit untuk dipahami. Terkadang, Morgan bertingkah seakan-akan dia butuh tempat untuk sendiri namun, terkadang, dia bertingkah seakan-akan dia benci kesendirian. Semua itu membingungkan. Menyebalkan untuk Aelke.

Aelke meraih handphone-nya dan menghubungi Nina. Saat sudah tersambung, dengan cepat, Aelke berkata, "gue mau kenalan sama kenalan loe. Starbucks HI. Satu jam lagi." Sebelum mengakhiri telepon dan beranjak untuk berganti pakaian.


***


Aelke dan Nina sudah sampai di Starbucks. Nina mengedarkan pandangannya mencari 'kenalan'nya itu sedangkan, Aelke masih sibuk dengan pikirannya. Aelke masih merasa ini bukan hal yang baik karena sama saja dengan mengkhianati Morgan. Tetapi, di lain sisi, Aelke berusaha meyakinkan diri bahwa dengan cara ini, mungkin dia bisa melupakan semua kesedihannya untuk sementara waktu.

"Itu dia!" Nina menunjuk ke arah meja yang bernomorkan 15. Ada dua pemuda di sana. Yang satu pemuda dengan rambut hitam pekatnya dan yang satunya lagi pemuda dengan rambut kecokelatannya, hasil pewarnaan. Tapi, wajah kedua pria itu sama-sama tampan. Menarik.

"Yuk, ke sana," Nina mengapit lengan Aelke dan berjalan menghampiri tempat kedua pria itu berada.


"Hai,"

Nina menyapa kedua pria itu terlebih dahulu saat sampai di dekat meja yang di tempati kedua pria itu. Salah satu pria yang berambut hitam lekat segera bangkit berdiri dan memeluk Nina sejenak sambil berkata, "long time no see, Nin," setelah melepaskan pelukannya.

"Long time no see, juga, Ky. Udah lama, ya?" Tanya Nina menarik kursi untuk dia sendiri. Aelke melakukan hal yang sama.

"Enggak, kok. Sekalian ngobrol juga sama temen aku, ini. Oh, iya, kenalin, ini namanya Dicky." Pria berambut hitam itu memperkenalkan temannya yang duduk di sampingnya. Yang berambut kecokelatan itu.

"Eh, kenalin, juga. Ini temen aku. Namanya Aelke. Aelke, ini namanya Rizky, temen aku." Nina memperkenalkan Aelke kepada pria berambut hitam pekat bernama Rizky itu.

"Nama kalian beda tipis, ya?" Aelke akhirnya buka suara sambil menatap Rizky dan Dicky secara bergantian.

Rizky dan Dicky terkekeh. "Loe yang ngikutin gue, Dick!" Ujar Rizky menatap Dicky. Dicky balas menatapnya dan tak mau kalah. "Nama gue sama loe, bagusan nama gue kemana-mana, kali." Ujar Dicky.

"Enggak, lah. Bagusan gue. Rizky. Pantes, gue banyak rizki dari Tuhan." Rizky menyombongkan dirinya.

"Rizki apaan? Jomblo selama kurang lebih tiga tahun loe bilang rizki?" Aelke dan Nina terkekeh mendengar ucapan Dicky itu.

Rizky dan Dicky akhirnya saling adu bicara. Tanpa ada yang mau mengalah. Aelke terus memperhatikan mereka hingga gadis itu menyadari sesuatu yang ada di antara Rizky dan Dicky.

Persahabatan. Persahabatan Rizky dan Dicky. Persahabatan mereka sama seperti persahabatan Morgan dan Bisma.

Aelke menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk mengusir bayangan Morgan dari dalam benaknya. Astaga, bahkan di acara seperti ini saja, Aelke masih sempatnya memikirkan Morgan. Belum tentu Morgan mau memikirkan Aelke juga. Morgan itu egois dan menyebalkan.


***


Morgan memarkirkan mobilnya di depan sebuah bandar udara. Morgan meraih handphone dari dalam saku celananya dan melihat banyak missed call di sana. Panggilan tak terjawab. Ada sekitar 10 panggilan itu. Dari orang yang sama. Dari seorang gadis.

Morgan mengirimkan pesan kepada gadis itu: aku di bandara. Setelah mengirimkan pesan itu, Morgan kembali memasukkan handphonenya. Morgan menunggu di dalam mobil, seseorang yang ditunggunya saat ini.

Sampai akhirnya, orang itu datang. Tampil cantik dengan dress berbahan levisnya dan kacamata berlensa hitam di matanya. Gadis itu membawa sebuah koper berwarna hitam. Morgan menghela nafas sebelum ke luar dari dalam mobil dan di sambut senyuman oleh gadis itu.

Gadis itu menyeret kopernya mendekati Morgan dan sesampainya di dekat Morgan, hal pertama yang dia lakukan adalah memeluk Morgan sambil berkata, "I miss you so so so so much!" Morgan tersenyum tipis, membalas pelukan gadis itu sambil menjawab, "I miss you more."

Gadis itu melepaskan pelukannya dan melepaskan kacamatanya. Dia menatap Morgan dari atas ke bawah sebelum tersenyum. "Gak banyak yang berubah. Masih Morgan yang cuek dan simple." Komentar gadis itu akan penampilan Morgan. Morgan terkekeh sebelum balas mengomentari gadis itu. "Masih berpenampilan classy walaupun, sedikit lebih simple."

Gadis itu tertawa sebelum mendorong kopernya ke arah Morgan. "Sebagai cowok, tega, gak, biarin cewek bawa barang berat?" Sindir gadis itu. Morgan dengan tatapan menggoda menjawab, "tega aja. Asal ceweknya itu kamu." Namun, pada akhirnya, Morgan membantu meraih koper itu dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil bagian belakangnya.

"Thank you, Prince." Gadis itu menyilangkan kakinya dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Khas putri-putri kerajaan.

"Still believe in fairytale?" Morgan bertanya kepada gadis itu yang sudah berdiri tegak kembali. Gadis itu menganggukkan kepalanya.

"Well, gak banyak berubah. Pecinta dongeng. Masih percaya adanya tokoh-tokoh fiktif. Astaga, aku pikir lama di Australia buat kamu dewasa. Tapi, sama aja, tuh." Morgan menyindir sambil membukakan pintu mobilnya kepada gadis itu. Gadis itu tertawa kecil dan masuk ke dalam mobil Morgan.

Morgan masuk ke dalam mobilnya setelah itu. Sebelum Morgan melajukan mobil, Morgan sempat berkata kepada gadis itu. "Still not growing up. But, that's why I miss you." Gadis itu tersenyum manis. "You don't know how much I miss you, too!" Balas gadis itu.

Morgan ikut tersenyum sebelum melajukan mobilnya menjauhi area bandar udara. Di tengah perjalanan, Morgan berbincang banyak dengan gadis yang sudah sekitar tiga tahun tidak ia lihat itu.

"Udah dapet tempat tinggal yang cocok buat kamu?" Tanya Morgan. Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Belum. Makanya, kemarin, aku udah telepon Mama kamu buat minta izin tinggal di rumah kamu untuk sementara sampai aku nemuin tempat tinggal yang cocok buat aku." Jawab gadis itu yang membuat Morgan tercekat. Sialnya itu adalah saat Morgan sadar, Aelke sering datang ke rumahnya.

"Hm, berapa lama?" Tanya Morgan lagi.

"Tergantung, sih. Kalo dapet tempat tinggal yang cocok besok, besoknya aku langsung pindah ke sana. Makanya, aku mau langsung cari rumah. Kamu temenin aku. Aku gak mau tinggal juga serumah sama kamu. Kita kan belum ada ikatan apapun. Kalo udah nikah, baru, deh." Jawab gadis itu.

Morgan tersenyum tipis dan berkata, "gak banyak berubah, ya? Masih Aura yang terlalu terikat dengan peraturan."

Gadis bernama Aura itu terkekeh. "Lupa, ya? Kita, kan, hidup dengan banyak aturan. Tanpa aturan, hidup kita itu gak akan berjalan lancar alias amburadul."

"Ya, begitulah. Hidup aku tanpa kamu juga amburadul, kok," Morgan mengedipkan sebelah matanya dan membuat Aura memutar bola matanya. "Gak usah ngerayu gitu, deh. Males liatnya. Mending cakep."

"Maksud kamu aku jelek gitu?" Morgan mengerucutkan bibirnya.

"Iya. Jelek banget di mata aku dan aku heran kenapa cuma aku yang liat kamu jelek? Kenapa yang lainnya liat kamu itu cakep? Gak adil banget, kan? Padahal, seharusnya, yang bisa liat kamu cakep itu cuma aku. Bukan mereka."

"Sok, ngegombal! Dasar ratu kejelekkan!" Morgan mencubit pipi Aura dengan tangan kirinya yang bebas.

Don't Walk AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang