Setelah mengantarkan Aura ke rumah dan membantu Aura membawakan barang-barangnya, Morgan berangkat ke rumah Aelke. Entahlah, Morgan merasa dia butuh bicara empat mata dengan Aelke.
Mobil Morgan berhenti di depan kost-an Aelke dan Morgan segera ke luar dari mobilnya. Morgan berjalan ke teras dan mengetuk pintu kamar Aelke. Morgan menunggu Aelke yang tak kunjung membukakan pintunya. Morgan menghela nafas dan meraih handphone-nya. Berusaha menghubungi Aelke tapi, Aelke tak mengangkat panggilan darinya.
Morgan menunggu Aelke selama kurang lebih tiga puluh menit sebelum akhirnya, Aelke datang. Aelke baru saja pulang setelah seharian penuh bersenang-senang dengan Nina dan dua sahabat barunya.
Morgan menatap Aelke yang baru saja datang dengan dingin. Aelke juga tak kalah dingin menatapnya.
"Ada apa kemari?" Tanya Aelke sesampainya di hadapan Morgan.
"Abis dari mana?" Morgan malah balik bertanya.
"Jawab pertanyaan aku dulu." Aelke berujar cuek.
"Aku mau ngomong sama kamu. Penting." Morgan menjawab.
"Kapan? Di mana? Sekarang?"
Morgan menganggukkan kepalanya sebelum meraih tangan Aelke dan mengajak gadis itu pergi menjauh.
***
Morgan duduk di hadapan Aelke yang berusaha setengah mati untuk menghindari Morgan. Morgan menghela nafas dan membuka percakapan. "Ini tentang kita." Aelke masih terdiam mendengar suara Morgan itu.
"Aku mau jujur satu hal ke kamu. Pertama, tentang awal kita pacaran. Kita cuma pacaran selama tiga hari, kan? Itu semua karena taruhan antara aku dan Bisma. Bisma kalah dan dia harus menyatakan perasaan kepada Sari di depan banyak orang saat upacara rutin hari Senin. Ya, itu semua taruhan antara aku dan dia." Morgan menjelaskan dan Aelke membulatkan matanya.
"A-apa? Jadi, itu benar?"
Morgan menganggukkan kepalanya sebelum kembali meneruskan bercerita. "Mungkin tiga hari itu cukup buat aku yakinin perasaan aku yang sebenarnya ke kamu. Tapi, aku gak bohong tentang perasaan aku setelahnya. Di taman malam itu, aku serius saat aku bilang aku sayang kamu dan mau kamu kembali ke aku." Aelke terdiam mendengarkan penjelasan Morgan.
"Aku sayang kamu tapi, ada banyak perbedaan di antara kita dan sepertinya, kita memang hanya menunggu waktu agar perbedaan itu benar-benar membuat jarak di antara kita." Aelke menatap Morgan tak percaya. "Mak-maksud kamu?"
Morgan menghela nafas. "Ada banyak jurang di antara kita dan aku yakin, kamu pun ngerasain hal itu. Kamu pasti mulai ngerasa gak nyaman atas semua perubahan yang aku alami. Aku sadar itu."
"Oke. Aku paham. Maksudnya, kamu mau kita putus dan kamu mau pergi ninggalin aku begitu aja, kan?" Aelke bertanya dengan lesu. Berusaha untuk tidak menangis. Aelke tidak mau menangis karena Morgan untuk kesekian kalinya.
Morgan menganggukkan kepalanya. "Ya. Aku harap, ini perpisahan terakhir kita. Setelah ini, kamu gak harus ngehadepin cowok kayak aku lagi. Kamu bebas. Tanpa harus tertekan sama sikap aku. Semoga kamu bahagia."
Dan setelah malam itu, semuanya berlangsung sangat cepat. Sangat amat cepat.
***
"Morgan?"
Morgan yang baru saja pulang dan menutup pintu rumahnya terkejut mendengar suara itu. Morgan mendapati Aura yang sudah memakai piyamanya tengah berdiri menatap Morgan lekat. Morgan tersenyum kepada gadis itu dan berjalan menghampirinya.
"Belum tidur?" Tanya Morgan. Aura menjawab dengan anggukkan kepala. "Belum bisa tidur. Jalan-jalan, yuk?" Ajak Aura. Morgan menggelengkan kepalanya. "Udah malam. Entar sakit kena angin malam. Mending sekarang kamu tidur. Besok kita, kan, mau cari apartemen buat kamu." Ujar Morgan dengan lembut.
"Gak bisa tidur, Gan. Harus cari angin dulu." Aura merengek. Morgan menghela nafas sebelum menganggukkan kepalanya. "Tiga puluh menit, ya? Setelah itu, kamu harus tidur." Aura menganggukkan kepalanya.
Morgan meraih tangan Aura dan mengajak gadis itu berjalan-jalan ke luar dari rumah.
Morgan dan Aura tidak berjalan jauh dari rumah Morgan. Hanya berkeliling. Walaupun, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Cuaca juga semakin dingin. Morgan melepaskan jaket yang dia kenakan dan memakaikannya ke tubuh Aura sehingga, dia hanya mengenakan kaus hitam lengan panjang.
"Selama tiga tahun belakangan ini, apa kamu masih setia sama aku?" Tiba-tiba saja Aura bertanya pertanyaan yang membuat Morgan terdiam selama beberapa saat. "Kalo aku gak setia, udah pasti aku akan putusin kamu beberapa tahun yang lalu." Jawab Morgan dengan santai. Berbohong? Ya.
"Entah kenapa, aku gak begitu percaya sama kamu." Ucapan Aura itu membuat Morgan terdiam.
"Aku gak bohong, Aura." Morgan berusaha meyakinkan Aura.
"Terus, tadi kamu ke mana kalo bukan nemuin cewek?" tanya Aura curiga atas kepergian Morgan tadi setelah menjemput dan mengantarkannya ke kediaman keluarga Winata.
"Aku ketemuan sama temen aku. Iya, temen aku." Morgan tampak gugup. Bagaimana tidak? Teman? Morgan bahkan tidak memiliki teman. Teman sejati dan teman terakhirnya adalah Bisma. Andai Bisma masih ada di dunia ini, mungkin Bisma akan membantu Morgan menghadapi Aura.
"Temen? Siapa namanya? Kenapa kamu gak pernah cerita sama aku?" Aura bertanya kembali dengan nada menyelidik.
"Ya, ada, lah. Temen aku di kampus. Eh, iya, udah malem banget, nih. Mending kita kembali ke rumah dan istirahat di sana, oke?" tanpa menunggu balasan dari Aura, Morgan mendorong bahu Aura agar ikut melangkah pulang bersamanya.
***
Keesokan harinya, Morgan hendak berangkat menuju ke kampusnya namun, dia sendiri bingung kenapa mobilnya malah melaju dan sampai di dekat kost-an Aelke. Pria itu dengan cepat membalikkan mobilnya dan di saat bersamaan, dia bisa melihat Aelke yang baru saja ke luar dari kamarnya.
Aelke berjalan menuju ke jalan raya untuk mencari angkutan umum yang akan mengantarnya menuju ke kampusnya. Namun, Aelke sempat melihat mobil Morgan yang berjalan menjauh itu. Aelke berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu bukan mobil Morgan. Mobil itu hanya mirip. Banyak mobil yang seperti itu. bukan hanya Morgan yang punya.
Sebuah bus berhenti di hadapan Aelke dan Aelke segera naik bus tersebut.
Sesampainya di kampus, orang pertama yang Aelke cari adalah Nina. Nina sudah menunggu Aelke di dekat pintu masuk. Nina tersenyum melihat Aelke yang berjalan ke arahnya dengan lesu.
"Eh, jadi, loe putus sama Morgan?" tanya Nina kepada Aelke. Aelke menganggukkan kepalanya. "Semalem. Di restoran."
"Alasannya?" tanya Nina lagi.
"Dia sadar akan sikapnya yang kelewat dingin sama gue dan dia gak mau buat gue gak nyaman. Dia mau gue bebas." Jawab Aelke sangat lesu.
"Gue gak ngerti." Nina melipat tangannya di depan dada.
"Gue juga." Aelke berjalan mendahului Nina masuk ke dalam kampusnya.
***
Morgan tadinya hendak menuju ke kampus—setelah dia malah pergi ke kost-an Aelke—namun, Morgan mengurungkan niatnya dan segera berbalik menuju ke rumahnya lagi. Morgan ke luar dari dalam mobil dan melangkah masuk begitu saja ke dalam rumahnya. Rumah Morgan memang sepi karena Morgan hanya tinggal sendiri saat ini. Orang tua Morgan akan datang menemui Morgan setiap Natal dan Tahun Baru.
Morgan melangkah menuju ke kamar yang di tempati Aura. Morgan mengetuk pintu kamar tersebut sambil memanggil Aura.
"Aura, kamu udah bangun belum?"
Tidak ada balasan dari dalam kamar itu. Morgan menghela nafas. Mungkin Aura masih tertidur karena kelelahan. Dia baru saja menempuh perjalanan yang cukup panjang, kan, dari Australia ke Indonesia?
Morgan memutuskan untuk berjalan menuju ke belakang rumahnya sambil membawa sebuah buku novel yang dulu dia dapatkan saat dia berulang tahun yang ke 17 dari Aelke. Morgan tersenyum melihat tulisan yang berada di belakang cover buku tersebut. Tulisan tangan Aelke yang sangat rapih, berbunyi:
"Happy 17th Birthday, My Unique Boyfriend. Can i ask you something? It's so easy. I just want you to stay with me, forever. Dont walk away, just stay. Hope you have a wonderful year. I love you, with all of my heart –Your Beautiful Girlfriend :p"
Novel itu sudah beberapa bulan berada di genggaman Morgan. Bulan demi bulan berlalu dan tak terasa, tiga bulan lagi, Morgan akan berusia 18 tahun. Tapi, Morgan belum dapat memutuskan bagaimana isi hatinya.
Morgan menyukai Aelke, tentu saja. Tetapi, di lain sisi, Morgan tak bisa terus bersama dengan Aelke karena kehadiran Aura. Aura adalah kekasih Morgan sejak SMP. Dan Aura sampai saat ini masih menganggap dia berpacaran dengan Morgan walaupun, sejujurnya, Morgan masih tak yakin harus melanjutkan hubungannya dengan Aura atau tidak.
Aura lebih membutuhkan Morgan daripada Aelke. Aelke sendiri bahkan mulai jenuh akan sikap Morgan yang tak menentu. Morgan menyadari semua itu.
Morgan sadar akan perubahan sikapnya. Morgan sadar akan ketidak tentuannya. Morgan menyadari semua itu dan Morgan tak bisa berbuat apapun atas hal itu. Morgan berubah semenjak dia kehilangan Bisma. Bisma adalah sosok paling berpengaruh untuk Morgan. Bisma adalah satu-satunya orang yang dapat mengerti Morgan luar dalam.
Saat Bisma pergi, tiada lagi yang bisa mengerti Morgan. Semuanya menuntut Morgan untuk kembali menjadi Morgan yang dulu. Tapi, mereka tak sadar bahwa merubah semua itu sangatlah sulit.
"Morgan?"
Morgan menoleh saat mendengar suara itu. Morgan menutup buku novelnya dan meletakkan di atas kursi yang dia duduki sebelum bangkit berjalan mendekati Aura yang tampak berdiri di dekat pintu kaca rumah Morgan.
"Hai. Udah bangun?" tanya Morgan. Aura menganggukkan kepalanya.
"Kamu gak pergi ke kampus?" tanya Aura. Morgan menggelengkan kepalanya. "Aku mau ngabisin waktu sama kamu dan aku belum ada niat ke kampus." Jawab Morgan dengan santainya.
"Ih, kok, gitu? Pendidikan, kan, nomor satu." Ujar Aura.
"Enggak. itu nomor dua. Yang nomor satunya, kan, kamu." Morgan merangkul Aura dan mengajak gadis itu masuk ke dalam.
"Dasar tukang gombal!"
"Lebih baik jadi tukang gombal, kan, daripada jadi tukang nangisin anak orang?" Aura terkekeh mendengar ucapan Morgan itu.
Morgan dan Aura duduk berdampingan di ruang keluarga rumah Morgan.
"Aura, kamu tinggal di sini aja, ya?" tanya Morgan tiba-tiba.
"Ih, mau digerebek warga kalo aku tinggal di sini?" Aura balik bertanya sambil tertawa kecil.
"Ini bukan desa, Ra. Ini kota. Kita bebas melakukan apapun karena kita hidup secara individual." Morgan berujar sambil memasang wajah serius.
"Ta..tapi...,"
"Aku gak mau tau. Pokoknya, kamu tinggal di sini. Titik."
***
Aelke melalui harinya dengan tidak bersemangat. Apalagi saat dia, Nina, Rizky dan Dicky kembali mengobrol bersama di sebuah cafe. Yang bicara hanya Nina, Rizky dan Dicky. Sedangkan, Aelke hanya diam dengan pikiran yang terus menerus tertuju pada Morgan.
"Aelke!" Nina menepuk pelan bahu Aelke dan membuat lamunan Aelke buyar.
"Ya?" Aelke bertanya.
"Jangan diem aja. Ngomong, kek. Atau apa, kek. Udahlah, lupain si dia. Mending have fun. Masih banyak cowok di luar sana yang mau sama loe." Nina seakan berceramah. Aelke tersenyum tipis. "Terserah, lah. Gue pulang duluan, ya?" Aelke tiba-tiba saja bangkit berdiri sambil meraih tasnya. Di saat bersamaan, Dicky juga ikut berdiri.
"Mau ke mana, Ke?" tanya Dicky. Nina dan Ricky menatap Dicky dan Aelke bergantian sebelum saling tersenyum satu sama lain.
"Tadi gue kan udah bilang kalo gue mau pulang," jawab Aelke ketus.
"Mau gue anter?" Dicky menawarkan jasa. Aelke menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gue bisa pulang sendiri." Aelke kembali menjawab dengan sangat ketus.
"Judes banget, sih?" Dicky menyindir.
"Masalah?" Aelke bertanya sinis sebelum berjalan berlalu begitu saja ke luar dari cafe itu. Meninggalkan Nina, Rizky dan terlebih lagi Dicky yang tercengang menatap kepergian Aelke.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Walk Away
FanfictionBeda dua tahun tak akan menghalangi perasaan mereka, kan?