10

143 13 1
                                    

Keesokan harinya, Morgan datang ke sekolahnya dengan wajah sangat ceria. Berbanding terbalik dengan Bisma yang tampak sangat lesu. Morgan menyadari kelesuan Bisma itu.

"Loe gak apa-apa, kan, Bis?" Tanya Morgan duduk di bangku yang ada di depan bangku Bisma.

Bisma menghela nafas. "Gak apa-apa gimana? Gak liat apa, gue lagi kesel gini?!"

"Kesel kenapa, sih, loe?" Tanya Morgan.

"Nina bohongin gue! Dia gak ngasih nomor handphonenya ke gue. Dia nyimpen nomor handphone mantannya dan semalem, gue sampe diancem-ancem sama mantannya itu." Jawab Bisma. Morgan terkekeh. "Mantannya? Rafael maksud loe?" Tanya Morgan. Bisma menganggukkan kepalanya.

"Iya, si Rafael. Duh, untung dia udah lulus bentar lagi. Gue males ketemu sama dia. Najis, kesel banget gue sama dia!" Bisma berujar dengan wajah sangat kesal. Morgan sedari tadi hanya tertawa mendengar kekesalan Morgan.

"Udah, deh, gue bakal nularin virus kebahagiaan ke loe!" Ujar Morgan dengan ceria.

"Virus apaan? Emangnya kenapa? Wah, gue yakin ada something, nih, yang terjadi!" Bisma menerka-nerka.

"Cewek gue gak jadi balik ke Indonesia, bro! Dia baliknya nanti, kalo udah lulus-lulusan. Berarti itu sekitar setahun lagi buat gue!" Ujar Morgan. Bisma diam sejenak sebelum tersenyum lebar.

"Berarti loe bantuin gue, dong?" Bisma menaik-turunkan alisnya. Morgan mengangkat sebelah alisnya. "Bantuin apa?"

"Loe deketin Aelke lagi dan gue bisa deketin Nina."


***


Pesta perpisahan untuk angkatan Aelke, Rafael dan Nina akhirnya dilaksanakan. Setelah menerima hasil kelulusan mereka. Ternyata SMA St. Petrus tahun ini sukses dengan meluluskan semua siswanya. Dengan rata-rata yang cukup baik pula. Oleh karena itu, sebagai hadiah, kepala sekolah mengizinkan diadakannya pesta perpisahan. Di sekolah. Pukul 7 malam dimulainya.

Aelke datang mengenakan pakaian pesta yang tidak terlalu terbuka, seperti lainnya. Nina juga demikian. Mereka datang berdua. Dengan mobil Nina yang baru. Hei, Nina dan Aelke sudah hampir menginjak usia 18 tahun dan mereka sudah dibebaskan menyetir, kan?

Baru sampai di depan pintu aula, Morgan dan Bisma sudah menjegat jalan Aelke dan Nina. Morgan dengan santainya mengajak Aelke ke tempat lain dan Aelke menyetujuinya. Sehingga hanya tinggal Bisma dan Nina yang berada di depan pintu aula itu diam dalam keheningan malam.

"Kenapa gak ngasih nomor handphone yang beneran kemaren?" Tanya Bisma memecah keheningan.

"Males." Jawab Nina cuek.

"Gak suka sama aku, ya?" Tanya Bisma lagi.

"Kita baru kenal jadi, ya, aku gak tau." Jawab Nina.

Bisma menghela nafas sebelum berjalan menjauhi aula. Meninggalkan Nina yang berdiri di depan aula seorang diri. Entah kenapa, Nina mulai merasa simpati pada Bisma. Mungkin, karena Nina yang sejujurnya, masih belum bisa melupakan Rafael.


***


Morgan mengajak Aelke ke taman belakang sekolah yang tampak terang namun, sepi. Morgan berdiri berdampingan dengan Aelke. Berdiri sejajar. Dalam keheningan malam sebelum akhirnya Morgan mulai mencairkan suasana.

"Aelke,"

"Ya?"

"Aku mau ngomong tapi, gak bisa. Terus harus gimana, dong?"

Pertanyaan Morgan itu membuat Aelke terkekeh dan menoleh ke arah Morgan. Morgan balas menatapnya sambil tersenyum ragu-ragu. "Kalo gitu, gak usah nanya!" Ujar Aelke.

"Tapi, aku harus nanya sebelum kamu mulai kuliah dan jarang ke sini lagi."

"Gimana mau nanya tapi, kamunya aja gak bisa ngomongin pertanyaan itu?" Aelke balas bertanya setengah kesal. Morgan terkekeh. "Enggak, deng. Becanda doang. Bisa, kok, ngomongnya."

"Ngomong apa, sih?"

"Bukan apa-apa, sih. Aku cuma pengen kamu jadi pacar aku lagi. Mau gak?" Morgan bertanya dengan gaya santainya sementara Aelke hanya diam tercekat.

"Enggak, ah. Aku udah move on." Jawab Aelke tak kalah santai. Morgan mengerucutkan bibirnya. "Yah, kok, gitu, sih? Emang move on ke siapa?" Tanya Morgan heran.

"Aku udah move on dari Rafael ke adek kelas yang nyebelin banget. Yang hobi pulang terlambat buat ke ruang musik dan hobi bikin hati gondok!"

Morgan tertawa mendapat jawaban dari Aelke sebelum melingkarkan lengannya di pinggang Aelke. "Makasih, ya." Ujar Morgan tersenyum senang. Aelke balas tersenyum dan menjawab, "makasih juga atas semuanya. You made my life complete."

"Tuh, kan, plagiator! Jangan copast ucapan aku yang dulu, dong!" Morgan melepaskan rangkulannya sambil menatap Aelke dengan wajah pura-pura kesal. Aelke memutar bola matanya. "Jangan mulai, deh, Gan."


***


Morgan dan Aelke berjalan kembali menuju ke aula sambil bercanda tawa. Baru hendak melangkah masuk ke dalam aula, tiba-tiba saja seseorang menerjang Morgan dan menyeret pria itu agar menjauh dari aula. Aelke yang sangat terkejut hanya dapat menjerit meminta seseorang itu melepaskan cengkramannya dari Morgan.

Orang itu terus menerus memukuli Morgan tanpa ampun sambil mendorong tubuh Morgan agar ke luar dari sekolah itu. Aelke berusaha untuk menolong Morgan tetapi, orang itu mendorong Aelke hingga Aelke jatuh tersungkur dan mengerang kesakitan.

Tak sampai situ, Morgan yang melihat Aelke terjatuh dengan cepat balas memukul orang asing tersebut bertubi-tubi dan saat Morgan hendak menghampiri dan menolong Aelke, orang itu mendorong Morgan lebih ke luar dari sekolah. Lebih tepatnya ke jalan raya karena sekolah mereka memang berada tepat di tepi jalan.

Morgan terdorong dengan posisi berdiri ke tengah jalan raya. Morgan hendak berjalan kembali masuk ke aula namun, di saat bersamaan, sebuah cahaya terang menghantam penglihatan Morgan. Cahaya itu datang beriringan dengan bunyi deru kendaraan yang semakin lama semakin kencang memekakkan telinga.

Hal terakhir yang Morgan lakukan hanya menghalangi sinar tersebut dan tak lama kemudian, semuanya berubah gelap untuk Morgan. Namun, dia bisa merasakan sebuah dorongan dan dia masih bisa mendengar sebuah teriakan.

"MORGAN!!"

Don't Walk AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang