11

131 14 0
                                    

Bulan demi bulan berlalu dengan cepatnya. Tahun demi tahun juga demikian. Gadis itu masih duduk di sana. Di hadapan pria-nya yang masih diam saja. Padahal, mereka berdua sudah sekitar tiga puluh menit berada di tempat itu. Di cafe itu. Tetapi, tak ada satupun perkataan yang ke luar dari mulut keduanya.

"Gan,"

Akhirnya, ada yang mau mengalah dari keheningan itu. Sang gadis lah yang memulai percakapan. Walaupun, masih ragu-ragu untuk membuka percakapan di antara mereka.

"Ya?"

Pria itu membalas dengan nada dingin dan menatap sang gadis dengan lekat.

"Udah dua tahun, ya?" Tanya si gadis dan pria itu menganggukkan kepalanya.

"Mau ke sana kapan? Ajak Nina juga, ya?" Tanya gadis itu dan kembali di jawab oleh si pria dengan anggukkan kepala sebelum bangkit berdiri dan meraih tangan gadis itu.

Kedua sejoli itu berjalan meninggalkan cafe menuju ke mobil yang sudah terparkir di halaman parkir. Mereka masuk ke dalam mobil sebelum melajukannya menjauhi area parkir cafe tersebut.


***


Morgan dan Aelke sampai di rumah Nina. Keduanya berjalan menuju ke teras dan mengetuk pintu rumah Nina. Rumah Nina tampak sepi. Ya, seperti biasanya.

"Nina..," Aelke menyebutkan nama sahabatnya itu dengan suara cukup kencang supaya ada yang mendengar suaranya dan membukakan pintu. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah.

"Apa gak ada orang, ya?" Tanya Aelke menoleh kepada Morgan. Morgan mengedikkan bahunya. Aelke kembali beralih pada pintu rumah Nina dan terus-menerus memanggil sahabatnya itu hingga akhirnya, pintu rumah Nina itu terbuka. Namun, yang membuka pintu rumah itu bukan Nina, melainkan pembantu rumah tangga.

"Non Nina-nya gak ada, Mbak. Mungkin pulang sore." Ujar pembantu rumah tangga itu.

"Kira-kira kemana, ya, Bi?" Tanya Aelke.

"Katanya, sih, mau ada peringatan dua tahunan. Gak tau, sih, di mana." Jawab pembantu rumah tangga itu. Aelke menganggukkan kepalanya paham sebelum berkata, "terima kasih," dan menarik tangan Morgan untuk segera pergi ke tempat di mana Nina berada.

"Kita ke sana langsung, ya?" Tanya Aelke setelah masuk ke dalam mobil Morgan. Morgan hanya menganggukkan kepalanya sebelum mulai melajukan mobilnya.


***


Morgan dan Aelke sampai di tempat yang mereka tuju. Di sebuah pemakaman. Pemakaman umum yang tertata dengan rapi.

Aelke mengedarkan tatapannya mencari keberadaan sahabatnya, Nina, hingga akhirnya, Aelke berhasil menemukan di mana Nina. Nina berdiri di sisi kanan sebuah makam yang berada di blok G. Aelke tersenyum tipis sebelum, meraih lengan Morgan dan mengajak Morgan mendekati Nina.

"Yuk, ke sana!"

Namun, Morgan sama sekali tak menggerakkan kakinya. Pria itu masih diam di sana, menundukkan kepalanya. Tampak enggan menuju ke makam itu.

"Morgan, ayo, ke sana!" Aelke menarik lengan kemeja yang Morgan kenakan dengan lembut namun, Morgan masih diam.

"Gan," Aelke memanggil Morgan dengan nada sangat memohon tetapi, Morgan masih tak bergeming. Aelke menghela nafas dan berkata, "ya, udah. Kamu tunggu di mobil, ya? Nanti kalo udahan, aku ke sana."

Aelke berjalan meninggalkan Morgan dan menghampiri Nina. Saat Aelke berjalan, Morgan menegakkan posisi kepalanya lagi dan menatap punggung Aelke yang menjauh. Morgan menghela nafas sebelum berbalik menuju ke mobilnya dan masuk ke dalam mobil itu.


"Nina!" Aelke memanggil Nina saat jarak mereka hanya berkisar 2 meter. Nina menoleh dan tersenyum tipis. Aelke berhasil menjangkau tempat Nina dan tersenyum. "Gue yakin, loe pasti ke sini. Udah lama, ya?" Tanya Aelke. Nina menganggukkan kepala, "enggak, kok. Baru dua jam yang lalu."

"Hah? Dua jam yang lalu? Astaga, lama banget! Ngapain aja loe di makam?" Tanya Aelke lagi.

Nina tersenyum tipis. "Gue cuma merenung dan menyesali semua kebodohan gue sama dia. Sekarang, gue menderita setelah dia gak ada." Aelke terdiam mendengar jawaban Nina sebelum merangkul Nina. "Nin, jangan terlalu dipikirin. Pasti ada sisi positif dari kejadian ini. Lagian, dua tahun udah berlalu, kan?"

"Iya, Ke. Tapi, tetep aja. Gue masih gak percaya, dulu gue jutek setengah mati sama dia. Waktu dia minta nomor handphone gue, gue malah ngasih nomor handphone Rafael. Gue..gue punya banyak salah sama dia."

Tanpa terasa, Nina menangis di pundak Aelke sambil menatap batu nisan bertuliskan nama : Bisma Karisma itu.


***


"Kamu gak capek begini terus?" Aelke bertanya kepada Morgan yang tengah menyetir. Morgan menghela nafas dan sedikit menoleh kepada Aelke. "Capek gimana maksudnya?" Morgan balas bertanya.

"Capek nyalahin diri kamu sendiri karena kecelakaan yang Bisma alami." Jawab Aelke. Morgan kembali menghela nafas dan tersenyum tipis.

"Kamu gak tau gimana rasanya kehilangan salah satu orang paling berharga dalam hidup kamu, Ke. Apalagi penyebab orang itu pergi adalah diri kamu sendiri." Morgan berujar dengan lembut dan sedikit muram.

"Tapi, semuanya udah mulai bisa nerima kenyataan bahwa itu semua takdir. Sedangkan kamu? Kamu masih sibuk nyalahin diri kamu sendiri." Aelke berbicara halus namun, dengan nada menyindir Morgan. Jelas saja, Morgan memang berubah. Bukan Morgan yang dulu. Padahal, sudah dua tahun dia bersama dengan Aelke. Namun, hubungan mereka berjalan datar.

"Can we stop talking about this shit?" Tanya Morgan sinis. Aelke menatap Morgan kesal sebelum berkata, "berhentiin mobilnya di sini. Aku bisa pulang sendiri naik taksi."

"Enggak." Morgan menekankan.

"Berhentiin mobilnya. Sekarang." Aelke kembali memerintahkan Morgan namun, Morgan tak bergeming sedikitpun.

"Berhentiin atau aku..." Aelke mulai hendak membuka pintu mobil Morgan dan dengan cepat, Morgan menepikan mobilnya. Setelah mobil berhenti, Aelke dengan cepat ke luar dari mobil Morgan begitupun Morgan.

Aelke berjalan dengan cepat meninggalkan mobil Morgan dan Morgan mengejarnya.

"Aelke, tunggu!"

Morgan berhasil mendahului Aelke dan memblokir jalan Aelke. Aelke menatap Morgan dengan raut wajah kesal. "Mau apa lagi, sih? Aku mau pulang! Awas!" Aelke berusaha untuk menyingkirkan Morgan dari hadapannya namun, Morgan tidak mau pergi dan tetap bertahan untuk memblokir jalan Aelke.

"Maaf." Hanya itu yang ke luar dari mulut Morgan. Morgan meraih tangan Aelke dan menggenggamnya.

Aelke menyentakkan tangan Morgan dari tangannya. "Maaf? Udah berapa kali kamu ngomong maaf sama aku? Udah ratusan kali, Gan! Aku udah capek. Kita pacaran udah hampir dua tahun dan selama dua tahun itu, semuanya berjalan datar dan beku karena kedinginan kamu! Aku udah gak tahan lagi. Kamu bukan Morgan yang dulu! Aku lebih suka Morgan yang dulu daripada Morgan yang sekarang!"

Morgan hanya terdiam dan menatap lembut Aelke. Aelke mengatur nafas sebelum kembali berujar, "mungkin, kamu emang butuh waktu sendiri dan aku gak akan ganggu kamu."

Aelke berjalan melewati Morgan dan menghentikan taksi yang baru saja melintas. Aelke masuk ke dalam taksi dan taksi berjalan begitu saja dari tempat itu. Meninggalkan Morgan yang masih berdiri mematung.


***


"Gue ngerasain apa yang Morgan rasain. Pasti sakit, sakit banget. Apalagi, Bisma meninggal karena nyelamatin Morgan saat itu, kan?" Nina bertanya kepada Aelke. Keduanya kali ini tengah berada di kamar kost Aelke. Ya, Aelke memutuskan untuk menjadi 'anak kost' karena kedua orang tuanya sudah menjual rumah lamanya di Jakarta untuk pindah ke Taiwan.

Aelke menganggukkan kepalanya. "Iya, tapi, dia jadi gitu, Nin. Gak pernah merhatiin perasaan gue. Dia jadi kayak robot. Setiap gue suruh, pasti mau. Tanpa ada perlawanan. Tanpa ada canda tawa kayak dulu. Gue gak suka dia yang kayak gini." Aelke kembali mencurahkan isi hatinya.

"Kalo loe gak tahan, ya, tinggal loe tinggalin. Gampang, kan?" Ujar Nina dengan wajah polos.

"Gampang? Urgh, loe gak tau apa, Nin? Gue udah nyantol banget sama dia dan gue gak bisa gitu aja lupain dia setelah bertahun-tahun bersama. Loe tau sendiri, gue pacaran paling lama, ya, sama Morgan!" Aelke berkata panjang lebar.

"Makanya jangan suka sama brondong, Cin!"

"Cerewet loe! Bukannya ngasih saran malah tambah mojokin gue. Ah, males gue curhat sama loe!" Aelke berpura-pura buang muka di hadapan Nina. Nina terkekeh.

"Gue punya kenalan, nih. Kalo loe mau, gue bisa kenalin ke loe. Kalo loe lebih nyaman sama dia daripada Morgan ya, loe putusin Morgan dan jadi sama dia. Tapi, kalo loe gak nyaman sama dia, loe bisa tetap sama Morgan. Gimana?" Nina menawarkan. Aelke memicingkan matanya. "Maksudnya, loe ngajarin gue buat selingkuh?"

Nina terkekeh. "Ya, enggak, lah, Ke. Gue malah ngajarin loe buat lebih bergaul. Gue tau kalo temen loe itu dikit banget. Masih bisa dihitung pake jari. Makanya, kalo loe gak berhasil jatuh cinta sama kenalan gue kali ini, loe bisa temenan, kan, sama dia."

"Gue gak yakin sama itu semua." Aelke memiringkan bibirnya menatap Nina.

"Justru itu. Makanya, sekali aja, loe terbuka dikit sama orang lain. Jangan nunggu terus. Sekali-kali, loe yang harus mulai pertama." Ujar Nina.

"Tapi, kalo Morgan tau gimana?" tanya Aelke.

"Gue yang tanggung. Gampang, kok. Kan, loe gak nyari pengganti Morgan. Loe cuma cari seseorang yang lebih baik dari Morgan. Kalo Morgan sayang sama loe, dia pasti ngerti dan nantinya, dia bakal berubah dengan sendirinya biar loe cinta lagi sama dia." Nina menjelaskan.

"Gimana kalo dia gak berubah dan terkesan cuek?"

"Loe tinggalin dia. Capek jalanin hubungan sama orang kayak gitu. Bukannya dari awal, gue udah peringatin loe tentang Morgan?" tanya Nina. Aelke menganggukkan kepalanya. "Tapi, Morgan bukan playboy kayak apa yang loe peringatin ke gue dulu."

"Aelke, nanti loe juga akan tau fakta tentang Morgan. Untuk saat ini, mending loe istirahat dan berhenti mikirin Morgan yang gak jelas itu. Mikirin dia bisa bikin loe stres dan sakit kalo berlebihan. Gue sebagai sahabat loe, gak mau liat loe sakit cuma gara-gara seorang cowok." 

Don't Walk AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang