1. Sahabat Terbaik

13K 312 237
                                    

Sudah hampir setengah jam kami berdua berada di cafe dekat kampus. Bersama malam yang muram, kulihat dia menyeka air mata yang turun untuk yang kesekian kalinya. Aku tahu persis hal apa yang membuatnya menangis sesenggukan seperti ini.

Ya ... siapa lagi kalau bukan karena kekasihnya?

"Gue gak nyangka dia tega banget sama gue, Zal," racaunya.

Aku mencoba tersenyum, "Udah, Ris. Lo jangan berburuk sangka sama dia, siapa tahu mereka emang cuma temenan?" Hiburku. Meski aku tahu, dia tidak akan terhibur. Dia malah akan semakin tenggelam dalam sakit hatinya.

Riska menggeleng. Isak tangisnya masih sama seperti setengah jam yang lalu. Tidak ada yang berubah. Hanya matanya yang menjadi semakin merah, dan hidungnya yang terus mengeluarkan ingus. Jujur, pemandangan seperti ini bukan hal yang baru lagi untukku. Karena sudah kesekian kalinya Riska menangisi kekasih bodohnya itu. Riska juga bodoh, kenapa masih mencintai laki-laki yang hanya menyakitinya saja? Kenapa dia tidak beralih saja padaku? Aku pasti tidak akan menyakitinya, karena aku sangat menyayanginya.

Tapi itulah cinta. Meski sudah disakiti berkali-kali, rasa itu tidak akan bisa menghilang dengan mudah.

"Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri dia jalan sama perempuan lain!" Riska marah. Tentu saja. Tapi bukankah lebih baik amarahnya itu ia simpan dan ia berikan pada kekasihnya?

Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak boleh egois, Riska saat ini membutuhkanku. Karena dia percaya kalau aku bisa menyembuhkan patah hatinya, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya, "Perempuan lain itu masih saudaranya, kali. Positive thinking, lah ... jangan membebani hal-hal yang gak penting yang malah buat lo makin sedih kayak gini."

Riska masih terisak. Meski air mata sudah tidak turun lagi ke pipinya, "Dia bukan saudaranya! Buktinya gue gak pernah lihat dia ada di rumahnya Zafran."

Zafran adalah kekasih Riska. Sudah satu tahun mereka menjalin hubungan. Setelah mendengar kenyataan itu dulu, hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Melihat Riska yang lebih memilih Zafran ketimbang aku yang selalu ada ketika dia membutuhkan.

Ah. Sudahlah. Biarkan saja.

Kembali ke dunia nyata, aku melihat Riska masih tenggelam dalam lamunannya. Mungkin dia sedang mengingat kejadian yang membuatnya menangis seperti tadi.

"Udah ya, Ris. Nih minum dulu, terus abis itu makan. Lo belum makan 'kan?" Riska mengangguk. Sebelum kemudian dia menuruti perintahku untuk meminum cappuccino-nya.

Setelah menyelesaikan makan dan minumnya, Riska tersenyum sangat manis, senyum yang selalu berhasil membuat degub jantungku berpacu kencang, "Makasih ya, Zal. Makasih karena selalu ada buat gue. Lo emang sahabat terbaik gue."

Entah kenapa senyuman Riska yang sangat manis itu sekarang menjadi hambar. Bahkan jantung inipun sama, berdetak menyakitkan begitu sadar dengan status yang dia sematkan untuk hubungan kita.

Aku tersenyum kecut. Berusaha tidak terpengaruh dengan ucapannya barusan, "Itulah gunanya sahabat, iya 'kan?" Aku meringis dalam hati.

Namun kebalikan dariku, Riska malah semakin melebarkan senyumannya sambil menatapku. Dia terlihat bahagia dengan hubungan kami. Yasudah, jika itu membuat Riska senang, aku akan membiarkannya. Meski itu artinya aku harus terus tersakiti agar bisa melihatnya bahagia.

¤¤¤

Aku terdiam. Dari kejauhan aku melihat sepasang kekasih tengah bergandengan tangan dengan mesra. Tak peduli jika salah satu dari mereka semalam sudah menangis dengan ditemani seorang laki-laki.

Kedai CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang