Pluviophile

854 68 3
                                    

Pagi ini ayura dibangunkan oleh suara rintikan hujan. Matahari masih mengumpat takut akan kehadiran awan gelap. Pukul 04.30 WIB Ayura sudah berada di balkon kamarnya untuk sekadar menikmati aroma petrichor dan hembusan angin kala hujan serta secangkir green tea hangat yang sedang ia nikmati kini.

Hujan pagi ini membuat Ayura mengingat hujan kemarin sore. Hujan yang menjadi saksi perkenalannya dengan Gema. Bibir tipisnya ia biarkan melengkung seperti bulan sabit kala mengingat kembali perkenalannya dengan Gema kemarin. Sampai saat ini ia tak menyangka bisa sedekat itu dengan Gema.

Sedang hanyut dalam ingatan tentang Gema, tiba-tiba saja ponsel Ayura berdering. Panggilan masuk dari Rega Fandika Wiratama. entah apa yang ingin dibicarakan Rega, dengan malas Ayura mengangkat panggilan masuk dari laki-laki itu.

"selamat pagi Ayura."

"pagi, ada apa Re telepon pagi-pagi?"

"mau dengerin suara kamu dong," jawab Rega dengan nadanya yang terdengar menggombal.

"pilih to the poin atau aku matiin teleponnya?"

"eehh jangan dong, masa telepon dari aku mau dimatiin? Aku cuma mau ingetin kamu aja supaya nggak lupa bawa laptop untuk presentasi angkatan kita hari ini."

"iya nanti mau disiapin," nada bicara ayura sangat terdengar malas namun Rega masih saja terus mengajaknya berbicara.
"terus nggak bilang terima kasih?"

"makasih," entah terdengar seperti apa kata-kata Ayura ditelinga Rega sampai ia belum memutuskan teleponnya padahal sudah semalas itu nada bicara Ayura, "sudah dulu ya, aku mau siap-siap."

"okey, mau dijemput nggak."

"nggak perlu, makasih atas tawarannya."

Ayura mematikan teleponnya begitu saja tak peduli Rega menganggap apa. Mengangkat teleponnya saja sudah malas bagaimana bertemu dengan sosoknya nanti di sekolah. Ingin sekali Ayura terlepas dari Rega namun ia tak bisa.

Menolak cintanya saja sudah membuat hati Rega terluka, ia tak mau membuat Rega semakin terluka karena ia menjauh dari laki-laki itu. Ayura merasakan betul bagaimana ia tidak bisa dekat dengan orang yang di cintainya, itulah mengapa hingga saat ini Ayura tidak bisa menjauh dari Rega sekesal apapun ia.

***

Waktu sudah menunjukan pukul 06.25, suara hujan di luar pun kini tak terdengar lagi. Mentari sudah tak mengumpat dibalik awan, sinarnya kini telah memancarkan bumi dan memberikan kehangatan.
Untuk kesekian kalinya Ayura rela datang lebih awal kesekolah hanya untuk menikmati puisi yang Gema tulis. Puisi kemarin berbeda dengam puisi hari ini. Jika Ayura tidak pernah tahu untuk siapa puisi Gema ditunjukan selama ini, namun tidak untuk kali ini. Ia sudah tahu siapa orang yang dituju dalam puisi Gema kali ini.

Gumpalan awan hitam perlahan menyebar di atas langit sore itu. Hembusan angin datang mengajak daun-daun menari sendu seolah mengikuti ketukan angin, bersamaan dengan kepergian daun gugur yang menjauh. Rintikah hujan perlahan turun membasahi tanah, aroma petrichor seketika menyengat di indera penciuman hingga membawaku berada di dekatmu.
Ada cahaya sore itu di hadapanku. Bukan cahaya senja pun cahaya kilat, melainkan cahaya sendu yang keluar dari matamu. Hingga pada akhirnya aku tahu bahwa kamu adalah gadis pluviophile.
Teruntuk gadis pluviophile
-Gema Giffari Danuega-

Pipi ayura memerah kala membaca kata demi kata yang tertulis dalam puisi Gema. Bibirnya terus dibiarkan menebar senyuman pada puisi tulisan laki-laki yang dicintainya. untuk kesekian kalinya tubuh Ayura terasa hangat usai membaca puisi Gema.

Come BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang